"Kamu pikir apa yang kamu katakan, Cisa?" Cisa terdiam dengan tangan mengepal, perempuan itu merutuki mulutnya yang tak bisa di rem. Tamatlah riwayatnya jika Jenala langsung mengadu pada Abimana."Sorry, aku tidak bermaksud apapun. Jadi jangan coba-coba mengadu pada Kak Vier." Jenala menyunggingkan senyum, perempuan itu mencoba mengatur emosinya. Dia tak boleh lepas kendali, apalagi ada Sera serta Abimana. "Dengar Cisa,"tekan Jenala"jika kamu tidak menjaga mulutmu lagi, saya sendiri yang akan memberimu pelajaran. Saya diam bukanya takut, tapi hanya kasihan padamu." Setelah melontarkan kalimat ejekan itu, Jenala menuruni undakan tangga dengan santai. Tak menghiraukan wajah memerah Cisa yang menahan amarah. ***Miranda : [ Kak Vier, boleh aku main ke kantor? ]Kening Abimana berkerut, tumben sekali perempuan itu ingin ke kantornya. Abimana : [ Silahkan. ] Sesudah mengirim balasan, Abimana kembali mempusatkan atensinya pada benda persegi di hadapannya. Laporan yang Rendra berikan b
Jenala sedang sibuk membantu Raquel di dapur, karena keluarga Miranda akan berkunjung. Sebenarnya bukan hanya keluarga perempuan itu—tapi seluruh keluarga Dominico. Namun, yang bisa datang hanya keluarga dari Miranda. Selebihnya masih di luar kota, serta liburan ke negara tetangga. "Kamu langsung bawa ke meja makan saja, nanti ambil lagi sisanya." Jika dalam mode seperti ini, mereka memanglah akur. Dan Jenala baik-baik saja mau bagaimanapun sifat Raquel padanya—lebih tepatnya tidak peduli. "Baik, Ma." Jenala bergegas ke arah meja makan, tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Abimana yang melangkah mendekat padanya, bukankah baru pukul empat sore? Lantas mengapa Abimana sudah di rumah saja."Mas, cepat sekali pulangnya. Karena ada acara ini, ya?" Abimana memeluk Jenala, lalu mengecup singkat kening sang istri. "Tidak, aku memang sengaja pulang cepat. Karena ingin membantu istriku ini, pasti kamu kelelahan di dapur. Apalagi Mama yang mempunyai prinsip jika menjamu keluarga harus
"Saya dan Miranda sudah resmi menjadi sepasang kekasih, dan—""Dan Kak Marlo berencana mau melamarku bulan depan!" Sontak saja seruan Miranda membuat semua orang yang ada di meja makan menjadi tersedak. Bahkan Marlo sendiri tak menyangka Miranda akan mengatakan hal seperti itu. Bukankah mereka akan tunangan terlebih dahulu, lalu berlanjut ke tahap berikutnya. Lantas mengapa Miranda mengatakan Marlo akan melamarnya? Bukan berarti Marlo tak siap, ya. Pria itu hanya kaget, Miranda memang selalu mengejutkannya. Jadi jangan salahkan Marlo jika nanti ia akan lebih agresif dari perempuan itu. "Apa maksudmu, Mira!" Vivian menekan setiap kalimatnya, dia menatap anak semata wayangnya tajam. Emosi Vivian sedari tadi selalu dipermainkan oleh Miranda. "Aku pikir Mama mendengarkannya," balas Miranda ceria, sama sekali tak ada raut tegang pada wajah jelita itu. Vivian semakin geram, dia menyapu semua orang yang ada di meja makan. Jika ini di rumahnya, pasti Miranda sudah habis dicecar. "Mirand
Abimana baru sampai di hotel bintang lima yang ada di pusat kota tempatnya ini. Pria itu bahkan belum sempat mengganti bajunya karena terlalu lelah setelah perjalanan udara yang begitu panjang. DIa merentangkan tangan sambil merebahkan tubuhnya, lega sekali. Badannya yang kaku seketika terasa rileks kembali. Baru saja mencoba memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar hotelnya.Abimana menggeram kesal, padahal sudah dia katakan pada Rendra untuk jangan mengganggu waktu istirahatnya. Ia dengan malas membuka pintu, seketika itu juga keningnya berkerut heran saat tahu bahwa bukan Rendra yang berdiri di hadapannya. "Malam, Javier. Maaf ya ganggu kamu. Aku ke sini cuma mau nawarin makan malam." Zendaya tersenyum manis. Sementara Abimana terlihat masih mengumpulkan nyawanya. "Makan malam?" Ulang pria itu, dan diangguki oleh Zendaya. "Yap, kamu mau? Sekalian menikmati suasana Kuala Lumpur di malam hari." Abimana yang awalnya ingin menolak terhenti kala mengingat
Dua hari berlalu, Jenala mulai dilanda rasa rindu pada sang suami, sesekali Abimana memang menghubunginya, tapi tak seintens itu. Dikarenakan juga jadwal Abimana yang begitu padat, dan Jenala mengerti akan kesibukan sang suami. Jenala mengaduk-ngaduk pasta yang ada di hadapannya, entah mengapa dia tak ada nafsu makan. Perempuan itu menghela nafas sembari mengangkat wajah, melihat sekeliling restoran yang terlihat ramai, maklum saja karena sudah jam makan siang. “Jena?” Jenala tersentak ketika merasakan tepukan pada bahunya, dia menoleh ke belakang dan menemukan Miranda yang melempar senyum manis sembari mengambil duduk di depannya. “Aku duduk di sini ya?”Jenala tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala singkat. “Aku lagi galau hari ini, makanya pesan banyak makanan.” Miranda menunjuk pasta serta ayam goreng yang dia bawa. “Ini semua gara-gara Mama tahu! Huh, tidak bisa apa ya lihat anaknya senang?”“Memangnya Bibi Vivian, kenapa?” tanya Jenala mulai tertarik pada pembahasan Mira
“Jena!” Jenala menoleh ketika mendengar seruan dari belakang punggungnya. “Ih, suka sekali melamun. Tidak baik tahu!” Melisa mengambil duduk di samping Jenala, melihat sekeliling taman yang tampak ramai pada sore hari. Lalu kembali memfokuskan atensinya pada Jenala yang terlihat murung. “Mau cerita?”Jenala tersenyum tipis──melempar pandangan jauh ke depan. “Apa menurutmu aku terlalu cemburuan?”Melisa terdiam sejenak, meneliti ekspresi Jenala yang tampah sendu. “Mengenai?” “Rekan kerja serta masalalu, Mas Javier.” “Sebentar, bukankah kamu pernah cerita jika Om Javier Jomblo dari lahir?” Kini Jenala menatap penuh ke arah Melisa. “Aku pikir juga begitu, soalnya Papa bilang dia tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Tapi …. “Jenala mengangkat bahu, entah mengapa perasaan tak nyaman kembali melingkupinya ketika Abimana mematikan telepon secara sepihak. “Kata Miranda, Mas Javier pernah dekat dengan perempuan, dan sekarang mereka adalah rekan kerja.”“Miranda model cantik itu
Jenala tidak pernah berpikir jika semua peraturan yang dibuat membebankan Sera. Dia hanya ingin Sera menjadi disiplin serta belajar dari hal-hal kecil, tapi ternyata Jenala salah. Sera justru sangat tertekan dengan semua itu. Jenala mengusap wajah kasar, menimang-nimang apakah harus masuk ke kamar Sera atau tidak. Tetapi Jenala harus berbicara perihal ini dengan Sera. Tak ingin semakin berlarut-larut. Agar ia juga tahu harus mengambil sikap apa kedepannya.Setelah menghembuskan nafas Panjang, Jenala membuka pintu kamar Sera perlahan, perempuan itu memasang senyum menawan kala melihat sang putri sedang menghitung pensil warnanya. “Sera sudah bersihkan bibirnya?” tanya Jenala sambil duduk di pinggir kasur, tepat di samping Sera. Sera menoleh, mengangguk kuat seraya tersenyum lebar ke arah Jenala—memperlihatkan deretan giginya yang terlihat ompong bagian atas. “Sudah, Mama. Sera juga langsung sikat gigi.” Jenala terkekeh, tangannya terangkat untuk mengacak lembut surai bergelombang ya
Abimana merasa aneh beberapa hari ini, pasalnya Jenala terlihat menjauh, bahkan tak jarang dia mendapatkan sikap dingin sang istri. Ada apa sebenarnya dengan perempuan itu, apakah Abimana mempunyai salah? Terhitung saat dirinya pulang dari Malaysia.Pernah sekali Abimana mengeluh sakit perut, yang hanya direspon datar oleh Jenala, biasanya perempuan itu pasti sangat khawatir, dan langsung memanggilkan dokter pribadi keluarga mereka.Abimana mendesah berat, melihat lurus ke arah gedung-gedung pencakar langit dari balik jendela ruangannya. Padahal sudah jam makan siang, tapi dia sama sekali tidak mood untuk hanya sekedar mengisi perut.“Vier.”Abimana seketika menoleh ke sumber suara, melihat Marlo yang sudah mendudukkan bokongnya di sofa yang terdapat pada pojok ruangan. Kening Abimana mengkerut, sejak kapan pria itu di sini?“Ck, kamu melamun siang-siang seperti ini? Padahal aku panggil dari tadi.” Abimana tak menjawab, di bangkit dari duduknya seraya melangkah menuju Marlo, lalu menga