Tak terasa, pernikahannya dengan Abimana sudah menginjak setengah tahun. Banyak sekali pelajaran yang Jenala dapatkan. Keikhlasan serta rasa sabar yang teramat besar. Tapi Jenala bersyukur, karena dia bisa melewati itu semua. Sifat Raquel maupun Cisa sudah tak tertolong. Kedua perempuan itu pada dasarnya memang sudah tertutup pintu kebaikan dalam hatinya. Jenala tak tahu lagi harus menyikapinya seperti apa. Hubungan Jenala dengan mereka stuck di tempat. Jenala juga malas jika membangun hubungan baik. Jadi dia hanya acuh tak acuh menghadapinya.Abimana juga sempat menawarkan tinggal di apartemen, sembari menunggu rumah mereka jadi. Tapi Jenala menolak, karena kasihan pada Sera—yang pasti akan kesepian jika kedua orang tuanya pergi bekerja."Kamu tidak bekerja hari ini?" Jenala menggeleng, lalu memfokuskan kembali atensinya pada dasi Abimana. "Aku sudah berjanji pada Sera, kita mau quality time hari ini. So, yeah. Mumpung musih semi. Menghabiskan waktu berdua dengan putriku adalah hal
Marlo melenggang santai ke arah parkiran, niatnya mau ke rumah Abimana malam ini. Tetapi apa mau dikata? Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.Suara seruan itu menyentak atensi Marlo, dia menoleh. Dan menemukan eksistensi kedua perempuan cantik yang berjalan mendekat ke arahnya."Kak Marlo buru-buru sekali, aku sampai lelah manggilnya." Marlo tersenyum simpul, dia menatap adik dari sahabatnya itu dengan tatapan tak biasa. "Cisa, kamu di sini?" Cisa tersenyum lebar, dia menebak jika Marlo tak tahu mengenai masalahnya dengan Jenala. Untuk itu sikap Marlo masih seperti biasa. "Iya nih, Miranda lagi ngidam makan bakmi."Seketika raut Marlo berubah, dia menatap Miranda sekilas, lalu membuang kembali pandangannya ke arah Cisa."Kalau begitu aku duluan ya, setelah ini mau balik ke studio soalnya." Cisa berdehem, dia menatap Marlo ragu-ragu. "Cepat sekali, eh tapi aku boleh minta tolong, tidak?" Marlo mengangguk tak keberatan."Antarkan Miranda ke studio juga, kalian bukanya satu gedung, ya
Hangatnya sinar mentari menerpa wajah manis itu, sang empu merasa terganggu dalam tidurnya. Namun, tak jua membuka mata. Tidak lama dari itu, terasa jemari panjang menelusuri wajahnya. Mulai dari kening, hidung. Dan berakhir di bibir. Alih-alih menepisnya, dia justru tersenyum dalam tidurnya. "Hei Putri tidur, bangunlah. Sudah pagi."Kelopak mata itu mulai terbuka secara perlahan, butuh beberapa saat untuk menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Jenala menguap sambil menutup mulutnya, lalu menoleh ke samping. Seketika pipinya merona kala melihat tatapan dalam dari sang suami. "Mas, sudah bangun?" "Menurutmu?" Jenala mencebik, Abimana yang gemas langsung mencubit pipi yang sudah chubby itu. Memang porsi makan Jenala kembali seperti dulu, tentunya diimbangi oleh olahraga rutin."Kamu semakin berisi, dan aku suka." Jangan pikir Jenala tersanjung akan hal itu, dia justru menatap Abimana kesal. "Bilang saja jika aku gendutan! Tidak usah diperhalus!" Jenala memberi jarak, selimut berukur
"Kamu pikir apa yang kamu katakan, Cisa?" Cisa terdiam dengan tangan mengepal, perempuan itu merutuki mulutnya yang tak bisa di rem. Tamatlah riwayatnya jika Jenala langsung mengadu pada Abimana."Sorry, aku tidak bermaksud apapun. Jadi jangan coba-coba mengadu pada Kak Vier." Jenala menyunggingkan senyum, perempuan itu mencoba mengatur emosinya. Dia tak boleh lepas kendali, apalagi ada Sera serta Abimana. "Dengar Cisa,"tekan Jenala"jika kamu tidak menjaga mulutmu lagi, saya sendiri yang akan memberimu pelajaran. Saya diam bukanya takut, tapi hanya kasihan padamu." Setelah melontarkan kalimat ejekan itu, Jenala menuruni undakan tangga dengan santai. Tak menghiraukan wajah memerah Cisa yang menahan amarah. ***Miranda : [ Kak Vier, boleh aku main ke kantor? ]Kening Abimana berkerut, tumben sekali perempuan itu ingin ke kantornya. Abimana : [ Silahkan. ] Sesudah mengirim balasan, Abimana kembali mempusatkan atensinya pada benda persegi di hadapannya. Laporan yang Rendra berikan b
Jenala sedang sibuk membantu Raquel di dapur, karena keluarga Miranda akan berkunjung. Sebenarnya bukan hanya keluarga perempuan itu—tapi seluruh keluarga Dominico. Namun, yang bisa datang hanya keluarga dari Miranda. Selebihnya masih di luar kota, serta liburan ke negara tetangga. "Kamu langsung bawa ke meja makan saja, nanti ambil lagi sisanya." Jika dalam mode seperti ini, mereka memanglah akur. Dan Jenala baik-baik saja mau bagaimanapun sifat Raquel padanya—lebih tepatnya tidak peduli. "Baik, Ma." Jenala bergegas ke arah meja makan, tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Abimana yang melangkah mendekat padanya, bukankah baru pukul empat sore? Lantas mengapa Abimana sudah di rumah saja."Mas, cepat sekali pulangnya. Karena ada acara ini, ya?" Abimana memeluk Jenala, lalu mengecup singkat kening sang istri. "Tidak, aku memang sengaja pulang cepat. Karena ingin membantu istriku ini, pasti kamu kelelahan di dapur. Apalagi Mama yang mempunyai prinsip jika menjamu keluarga harus
"Saya dan Miranda sudah resmi menjadi sepasang kekasih, dan—""Dan Kak Marlo berencana mau melamarku bulan depan!" Sontak saja seruan Miranda membuat semua orang yang ada di meja makan menjadi tersedak. Bahkan Marlo sendiri tak menyangka Miranda akan mengatakan hal seperti itu. Bukankah mereka akan tunangan terlebih dahulu, lalu berlanjut ke tahap berikutnya. Lantas mengapa Miranda mengatakan Marlo akan melamarnya? Bukan berarti Marlo tak siap, ya. Pria itu hanya kaget, Miranda memang selalu mengejutkannya. Jadi jangan salahkan Marlo jika nanti ia akan lebih agresif dari perempuan itu. "Apa maksudmu, Mira!" Vivian menekan setiap kalimatnya, dia menatap anak semata wayangnya tajam. Emosi Vivian sedari tadi selalu dipermainkan oleh Miranda. "Aku pikir Mama mendengarkannya," balas Miranda ceria, sama sekali tak ada raut tegang pada wajah jelita itu. Vivian semakin geram, dia menyapu semua orang yang ada di meja makan. Jika ini di rumahnya, pasti Miranda sudah habis dicecar. "Mirand
Abimana baru sampai di hotel bintang lima yang ada di pusat kota tempatnya ini. Pria itu bahkan belum sempat mengganti bajunya karena terlalu lelah setelah perjalanan udara yang begitu panjang. DIa merentangkan tangan sambil merebahkan tubuhnya, lega sekali. Badannya yang kaku seketika terasa rileks kembali. Baru saja mencoba memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar hotelnya.Abimana menggeram kesal, padahal sudah dia katakan pada Rendra untuk jangan mengganggu waktu istirahatnya. Ia dengan malas membuka pintu, seketika itu juga keningnya berkerut heran saat tahu bahwa bukan Rendra yang berdiri di hadapannya. "Malam, Javier. Maaf ya ganggu kamu. Aku ke sini cuma mau nawarin makan malam." Zendaya tersenyum manis. Sementara Abimana terlihat masih mengumpulkan nyawanya. "Makan malam?" Ulang pria itu, dan diangguki oleh Zendaya. "Yap, kamu mau? Sekalian menikmati suasana Kuala Lumpur di malam hari." Abimana yang awalnya ingin menolak terhenti kala mengingat
Dua hari berlalu, Jenala mulai dilanda rasa rindu pada sang suami, sesekali Abimana memang menghubunginya, tapi tak seintens itu. Dikarenakan juga jadwal Abimana yang begitu padat, dan Jenala mengerti akan kesibukan sang suami. Jenala mengaduk-ngaduk pasta yang ada di hadapannya, entah mengapa dia tak ada nafsu makan. Perempuan itu menghela nafas sembari mengangkat wajah, melihat sekeliling restoran yang terlihat ramai, maklum saja karena sudah jam makan siang. “Jena?” Jenala tersentak ketika merasakan tepukan pada bahunya, dia menoleh ke belakang dan menemukan Miranda yang melempar senyum manis sembari mengambil duduk di depannya. “Aku duduk di sini ya?”Jenala tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala singkat. “Aku lagi galau hari ini, makanya pesan banyak makanan.” Miranda menunjuk pasta serta ayam goreng yang dia bawa. “Ini semua gara-gara Mama tahu! Huh, tidak bisa apa ya lihat anaknya senang?”“Memangnya Bibi Vivian, kenapa?” tanya Jenala mulai tertarik pada pembahasan Mira