Sikap Abimana kembali seperti dulu, tak ada sapaan hangat—atau bahkan pelukan seperti biasanya. Raquel takut, apa yang Viktor utarakan menjadi kenyataan. Wanita itu juga resah, pasalnya Cisa tak bisa dihubungi, anak gadisnya pergi entah ke mana."Javier, Mama buatin espresso sama biscotti untuk sarapan." Abimana melirik sekilas, lalu kembali mengalihkan atensinya pada Jenala. "Sayang, mau makan apalagi?" Jenala tersenyum kikuk, dia menggeleng seraya melirik Raquel sekilas."Tidak usah, Mas. Ini saja sudah cukup." "Mama! Sera mau apel juga sebagai cemilan, nanti Sera bagi ke teman-teman." Jenala tersenyum simpul, dia mengusap pipi gembul kemerahan itu. "Siap sayangku, nanti ya. Sera habiskan dulu sarapannya, jangan ada yang tersisa okay?" Sera mengacungkan jempol, Jenala memang lembut dan penuh kasih sayang. Tapi juga tegas disaat yang bersamaan. Jika dia tahu Sera membuang-buang makanan. Perempuan itu langsung menegur serta menceramahinya. Sementara itu, Raquel mengepalkan tanga
"Aku tahu kamu memang selalu mengagum—" Perkataan Zendaya terhenti ketika terdengar suara grasak-grusuk dari arah belakang punggungnya. "Sorry, Kak. Lama." Malvin melemparkan cengiran khas pada Abimana, tanpa diminta pria itu langsung mengambil duduk di samping sang sepupu. "Oh, hai. Ada rekan kerja Kak Vier rupanya." Abimana memijat keningnya. Dia sudah menebak jika Malvin pasti akan menggoda Zendaya. "Namanya siapa, Cantik?" Betul, bukan? Prediksi Abimana memang tak pernah meleset. "Eum … Zendaya." Zendaya tersenyum kecil melihat pria yang memiliki mata seperti Abimana. Bedanya pria yang di hadapannya ini terlihat bersahabat. Sementara Abimana—sedikit kaku. "Nama yang cantik, persis seperti orangnya." Malvin berkedip lucu, membuat Zendaya tak tahan mengeluarkan kekehan gelinya. "Mau apa ke sini?" Pertanyaan dengan nada malas itu mengalihkan atensi Malvin. "Ah—Kak Vier selalu mengganggu. Aku sedang pendekatan nih, bosan melihat Miranda sama Cisa. Sekali-kali biarkan sepupumu
Tak terasa, pernikahannya dengan Abimana sudah menginjak setengah tahun. Banyak sekali pelajaran yang Jenala dapatkan. Keikhlasan serta rasa sabar yang teramat besar. Tapi Jenala bersyukur, karena dia bisa melewati itu semua. Sifat Raquel maupun Cisa sudah tak tertolong. Kedua perempuan itu pada dasarnya memang sudah tertutup pintu kebaikan dalam hatinya. Jenala tak tahu lagi harus menyikapinya seperti apa. Hubungan Jenala dengan mereka stuck di tempat. Jenala juga malas jika membangun hubungan baik. Jadi dia hanya acuh tak acuh menghadapinya.Abimana juga sempat menawarkan tinggal di apartemen, sembari menunggu rumah mereka jadi. Tapi Jenala menolak, karena kasihan pada Sera—yang pasti akan kesepian jika kedua orang tuanya pergi bekerja."Kamu tidak bekerja hari ini?" Jenala menggeleng, lalu memfokuskan kembali atensinya pada dasi Abimana. "Aku sudah berjanji pada Sera, kita mau quality time hari ini. So, yeah. Mumpung musih semi. Menghabiskan waktu berdua dengan putriku adalah hal
Marlo melenggang santai ke arah parkiran, niatnya mau ke rumah Abimana malam ini. Tetapi apa mau dikata? Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.Suara seruan itu menyentak atensi Marlo, dia menoleh. Dan menemukan eksistensi kedua perempuan cantik yang berjalan mendekat ke arahnya."Kak Marlo buru-buru sekali, aku sampai lelah manggilnya." Marlo tersenyum simpul, dia menatap adik dari sahabatnya itu dengan tatapan tak biasa. "Cisa, kamu di sini?" Cisa tersenyum lebar, dia menebak jika Marlo tak tahu mengenai masalahnya dengan Jenala. Untuk itu sikap Marlo masih seperti biasa. "Iya nih, Miranda lagi ngidam makan bakmi."Seketika raut Marlo berubah, dia menatap Miranda sekilas, lalu membuang kembali pandangannya ke arah Cisa."Kalau begitu aku duluan ya, setelah ini mau balik ke studio soalnya." Cisa berdehem, dia menatap Marlo ragu-ragu. "Cepat sekali, eh tapi aku boleh minta tolong, tidak?" Marlo mengangguk tak keberatan."Antarkan Miranda ke studio juga, kalian bukanya satu gedung, ya
Hangatnya sinar mentari menerpa wajah manis itu, sang empu merasa terganggu dalam tidurnya. Namun, tak jua membuka mata. Tidak lama dari itu, terasa jemari panjang menelusuri wajahnya. Mulai dari kening, hidung. Dan berakhir di bibir. Alih-alih menepisnya, dia justru tersenyum dalam tidurnya. "Hei Putri tidur, bangunlah. Sudah pagi."Kelopak mata itu mulai terbuka secara perlahan, butuh beberapa saat untuk menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Jenala menguap sambil menutup mulutnya, lalu menoleh ke samping. Seketika pipinya merona kala melihat tatapan dalam dari sang suami. "Mas, sudah bangun?" "Menurutmu?" Jenala mencebik, Abimana yang gemas langsung mencubit pipi yang sudah chubby itu. Memang porsi makan Jenala kembali seperti dulu, tentunya diimbangi oleh olahraga rutin."Kamu semakin berisi, dan aku suka." Jangan pikir Jenala tersanjung akan hal itu, dia justru menatap Abimana kesal. "Bilang saja jika aku gendutan! Tidak usah diperhalus!" Jenala memberi jarak, selimut berukur
"Kamu pikir apa yang kamu katakan, Cisa?" Cisa terdiam dengan tangan mengepal, perempuan itu merutuki mulutnya yang tak bisa di rem. Tamatlah riwayatnya jika Jenala langsung mengadu pada Abimana."Sorry, aku tidak bermaksud apapun. Jadi jangan coba-coba mengadu pada Kak Vier." Jenala menyunggingkan senyum, perempuan itu mencoba mengatur emosinya. Dia tak boleh lepas kendali, apalagi ada Sera serta Abimana. "Dengar Cisa,"tekan Jenala"jika kamu tidak menjaga mulutmu lagi, saya sendiri yang akan memberimu pelajaran. Saya diam bukanya takut, tapi hanya kasihan padamu." Setelah melontarkan kalimat ejekan itu, Jenala menuruni undakan tangga dengan santai. Tak menghiraukan wajah memerah Cisa yang menahan amarah. ***Miranda : [ Kak Vier, boleh aku main ke kantor? ]Kening Abimana berkerut, tumben sekali perempuan itu ingin ke kantornya. Abimana : [ Silahkan. ] Sesudah mengirim balasan, Abimana kembali mempusatkan atensinya pada benda persegi di hadapannya. Laporan yang Rendra berikan b
Jenala sedang sibuk membantu Raquel di dapur, karena keluarga Miranda akan berkunjung. Sebenarnya bukan hanya keluarga perempuan itu—tapi seluruh keluarga Dominico. Namun, yang bisa datang hanya keluarga dari Miranda. Selebihnya masih di luar kota, serta liburan ke negara tetangga. "Kamu langsung bawa ke meja makan saja, nanti ambil lagi sisanya." Jika dalam mode seperti ini, mereka memanglah akur. Dan Jenala baik-baik saja mau bagaimanapun sifat Raquel padanya—lebih tepatnya tidak peduli. "Baik, Ma." Jenala bergegas ke arah meja makan, tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Abimana yang melangkah mendekat padanya, bukankah baru pukul empat sore? Lantas mengapa Abimana sudah di rumah saja."Mas, cepat sekali pulangnya. Karena ada acara ini, ya?" Abimana memeluk Jenala, lalu mengecup singkat kening sang istri. "Tidak, aku memang sengaja pulang cepat. Karena ingin membantu istriku ini, pasti kamu kelelahan di dapur. Apalagi Mama yang mempunyai prinsip jika menjamu keluarga harus
"Saya dan Miranda sudah resmi menjadi sepasang kekasih, dan—""Dan Kak Marlo berencana mau melamarku bulan depan!" Sontak saja seruan Miranda membuat semua orang yang ada di meja makan menjadi tersedak. Bahkan Marlo sendiri tak menyangka Miranda akan mengatakan hal seperti itu. Bukankah mereka akan tunangan terlebih dahulu, lalu berlanjut ke tahap berikutnya. Lantas mengapa Miranda mengatakan Marlo akan melamarnya? Bukan berarti Marlo tak siap, ya. Pria itu hanya kaget, Miranda memang selalu mengejutkannya. Jadi jangan salahkan Marlo jika nanti ia akan lebih agresif dari perempuan itu. "Apa maksudmu, Mira!" Vivian menekan setiap kalimatnya, dia menatap anak semata wayangnya tajam. Emosi Vivian sedari tadi selalu dipermainkan oleh Miranda. "Aku pikir Mama mendengarkannya," balas Miranda ceria, sama sekali tak ada raut tegang pada wajah jelita itu. Vivian semakin geram, dia menyapu semua orang yang ada di meja makan. Jika ini di rumahnya, pasti Miranda sudah habis dicecar. "Mirand