Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.
Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.
Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.
Kini Tian Long yang dianggap paling berbakat selama ratusan tahun telah mempelajari hingga tingkat keenam ilmu ini. Hari ini ia akan menyempurnakan kekuatan tersebut. Sebelum mencapai tingkatan ketujuh, ia akan melalui masa paling menentukan, keadaannya akan menjadi sangat lemah sebelum kesempurnaan. Itu sebabnya ia memilih tempat paling rahasia dan dijaga
Ruang pelatihan itu hanya diterangi cahaya lilin kecil, namun seolah memancar cahaya lebih terang akibat pancaran energi dari tubuh Tian Long. Matanya terpejam, nafasnya dalam, sementara aliran energi berputar hebat dalam dirinya, menciptakan lingkaran tenaga yang memutar sekelilingnya.
Sekujur tubuhnya mengeluarkan uap tipis, tanda bahwa ia hampir mencapai puncak latihan. Namun, di tengah-tengah latihan itu, sekelebat suara berderak terdengar dari luar ruangan.
Tian Long membuka mata, tapi sebelum ia sempat menyesuaikan diri, ia merasakan hawa panas dan kekuatan mematikan mendekat. Dalam sekejap, beberapa sosok berbaju hitam muncul di sekelilingnya.
“Ketua Tian,” salah satu dari mereka berbisik, suaranya berat dan penuh ketegangan. “Maafkan kami… Kau terlalu muda untuk menjadi pemimpin. Dengan kekuatan sebesar ini, akan sangat beresiko bagi kami berada di bawah kepemimpinanmu.”
Kata-kata itu belum sempat sepenuhnya meresap di benak Tian Long, ketika serangan-serangan mematikan mulai meluncur ke arahnya. Mereka adalah orang-orang yang selama ini dipercayanya, namun sekarang berdiri dengan mata penuh kebencian dan dendam.
Tian Long, yang belum sadar sepenuhnya dari meditasi, hanya bisa mengelak seadanya, menangkis beberapa serangan dengan kekuatan yang belum terhimpun. Namun, karena latihan yang belum selesai dan terganggu di tengah jalan, tenaga itu malah berbalik melemahkannya.
Satu pukulan keras menghantam punggungnya, membuatnya tersungkur. Tian Long menggigit bibirnya, menahan sakit yang luar biasa. Saat itu, sosok lain muncul, pria bertopeng berpakaian serba hitam, yang memancarkan aura dingin mematikan.
“Bakatmu terlalu menakutkan, anak muda. Kau ancaman terbesar kami,” katanya dengan nada tajam. “Terpaksa aku harus mengirimmu ke neraka.”
Sosok bertopeng itu melepaskan pukulan terakhir yang membuat Tian Long muntah darah. Pandangannya mulai buram, tubuhnya lunglai, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Ketika ia jatuh, orang-orang yang mengkhianatinya mulai berbisik.
“Buang dia ke laut,” perintah pria bertopeng. “Kita tidak boleh meninggalkan jejak.”
“Tapi, bukankah lebih mudah jika kita membawa mayatnya?” salah satu dari mereka bertanya ragu.
“Bodoh!” sosok bertopeng itu membalas dengan dingin. “Jika kita membawa mayatnya, Sekte Istana Langit akan menduga ada pengkhianatan. Aku sudah menyiapkan penggantinya, yang berada di bawah kendali kita. Itu artinya Sekte Istana Langit dalam genggamanku.”
Orang-orang itu mengangguk, dan dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Tian Long yang tak sadarkan diri. Mereka membawanya menuju tebing yang menghadap ke laut. Dengan satu dorongan, tubuh Tian Long jatuh bebas ke dalam gelombang laut yang gelap, tak ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali.
***
Tiga tahun berlalu sejak malam kelam di Tian Gong Pai.
Di ujung negeri, terdapat sebuah desa yang ramai bernama Desa Hongye, atau Desa Daun Merah, sebuah desa yang terkenal dengan para pedagang serta peziarah yang sering datang untuk berdoa di kuil kuno. Suasana pagi itu cerah, sinar matahari menyinari setiap sudut desa, sementara penduduk bersiap dengan kegiatan sehari-hari mereka.
Di ujung desa berdirilah sebuah perguruan yang terkenal, Kim Kiam Pay atau Perguruan Pedang Emas. Perguruan ini dipimpin oleh Ji Bao Oek, seorang pendekar berusia paruh baya yang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Angin. Ilmu pedang yang ia miliki merupakan hasil gubahan teknik dari perguruan Butong, tempat ia dulu belajar sebelum memutuskan untuk mendirikan perguruan sendiri.
Ji Bao Oek memiliki dua orang anak, satu orang putra bernama Ji Liong dan putrinya bernama Ji Xiu Yan. Keduanya merupakan anak berbakat mewarisi kemampuan sang ayah. Karena kemampuan mereka itu, terkadang untuk mengajar para murid, Ji Bao Oek menyerahkan kepada mereka berdua.
Hari ini Ji Bao Oek bersama rombongan menuju desa Yushi, atau desa batu giok yang melewati dua desa dari desa Hongye. Mereka berencana melakukan lamaran kepada Hu Ling Lian, putri Hu Chuan Kepala keluarga Hu yang juga pendekar ternama bergelar Pendekar Tombak Sakti.
Setibanya di kediaman keluarga Hu, Ji Bao Oek dan rombongan disambut dingin oleh para pelayan keluarga. Wajah-wajah tak ramah itu menatap rombongan dengan penuh tanya, seolah-olah mereka tidak mengharapkan kedatangan Ji Bao Oek dan para pengikutnya. Salah seorang pelayan bahkan berani mempertanyakan tujuan kedatangan mereka.
"Apa keperluan kalian datang ke sini?" tanya pelayan itu tanpa basa-basi, mengerutkan keningnya menatap Ji Bao Oek.
Ji Bao Oek tertegun, merasa harga dirinya tersinggung. Dengan nada suara setengah membentak, ia berkata, "Kami datang sesuai dengan janji untuk melamar Nona Hu Ling Lian. Apa kalian tidak tahu siapa aku?"
Pelayan itu tampak ragu-ragu, lalu berkata, "Maaf, Tuan Ji. Akan tetapi, Nona dan Tuan Hu tidak berada di kediaman saat ini. Kami tidak menerima pemberitahuan apa pun mengenai lamaran hari ini."
Ji Bao Oek mendengar itu dengan perasaan campur aduk antara marah dan heran. "Tidak berada di kediaman? Apa maksudmu? Kami telah berjanji pada keluarga Hu untuk mengadakan lamaran ini. Sampaikan kepada Pendekar Hu Chuan bahwa kami ada di sini untuk menyelesaikan urusan keluarga kita!"
Pelayan itu menunduk, terlihat ragu, tetapi akhirnya ia masuk ke dalam untuk menyampaikan pesan itu. Ji Bao Oek dan rombongannya menunggu dengan perasaan yang tidak menentu. Beberapa waktu kemudian, seorang pria paruh baya dengan wajah serius keluar, Hu Chuan, Kepala keluarga Hu dan ayah dari Hu Ling Lian.
"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Ji?" tanya Hu Chuan dengan nada suara dingin.
"Pendekar Hu , aku datang untuk melamar putrimu, Hu Ling Lian, sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya," jawab Ji Bao Oek tegas.
Hu Chuan menggelengkan kepala perlahan, raut wajahnya tidak berubah. "Perjanjian kita telah batal, Tuan Ji. Aku tak bisa mengizinkan putriku menikah dengan putramu, Ji Liong yang cacat itu."
Kata-kata itu seakan petir yang menggelegar di telinga Ji Bao Oek. Ia tidak menyangka akan mendapatkan penolakan mendadak seperti ini. Terlebih lagi ucapan Hu Chuan yang mengatakan anaknya cacat, padahal keadaan Ji Liong tidak kekurangan sedikitpun.
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.K