Di ujung negeri, terdapat sebuah desa yang ramai bernama Desa Hongye, atau Desa Daun Merah, sebuah desa yang terkenal dengan para pedagang serta peziarah yang sering datang untuk berdoa di kuil kuno. Suasana pagi itu cerah, sinar matahari menyinari setiap sudut desa, sementara penduduk bersiap dengan kegiatan sehari-hari mereka.
Tak jauh dari desa itu terdapat sebuah gunung terpencil yang tersembunyi di antara kabut tebal, sepasang remaja, Ji Liong dan Hu Ling Lian berdiri di tengah hutan pinus yang sunyi. Pepohonan menjulang tinggi seakan menjadi saksi dari latihan mereka. Langit sore berwarna jingga kemerahan, memberikan suasana damai yang menipu.
Hu Ling Lian, mengenakan pakaian latihan berwarna hijau zamrud, tengah duduk bersila dengan konsentrasi penuh. Kedua tangannya terangkat, perlahan mengatur aliran napas dan tenaga dalam. Udara di sekitarnya bergetar samar, tanda bahwa ia sedang melatih Sin Kang ilmu warisan keluarga Hu yang terkenal sebagai salah satu ilmu langka di dunia persilatan.
Di depannya, Ji Liong berdiri tegak, memperhatikan dengan seksama. Wajah pemuda itu mencerminkan perpaduan rasa kagum dan kasih sayang yang tulus. Ia adalah putra dari ketua Perguruan Pedang Emas (Kim Kiam Pai), salah satu perguruan besar yang dihormati dalam dunia persilatan. Hari ini, ia hanyalah seorang kekasih yang dengan sabar membantu tunangannya mencapai potensi terbaiknya.
“Liang Koko,” suara Hu Ling Lian terdengar gemetar, memecah kesunyian. “Sepertinya aku tidak sanggup lagi melanjutkan. Tenagaku hampir habis…”
Mendengar keluhan itu, Ji Liong segera melangkah mendekat. “Lian Moi, jangan menyerah sekarang. Ini adalah tahap penting. Jika kau berhenti di sini, tenaga dalammu bisa kacau,” ucapnya dengan nada lembut namun tegas.
Hu Ling Lian menunduk, menampilkan ekspresi lemah yang membuat hati Ji Liong terenyuh. “Aku tidak bisa… sungguh tidak bisa,” ujarnya dengan napas terengah-engah.
Ji Liong terdiam sejenak, lalu mengambil keputusan. “Baiklah. Aku akan membantumu.”
Ia duduk bersila di belakang Hu Ling Lian, menyatukan telapak tangannya dengan punggung gadis itu. Dengan konsentrasi penuh, ia mulai menyalurkan tenaga saktinya ke tubuh Hu Ling Lian.
Pada awalnya, semuanya tampak normal. Aliran tenaga dalam Ji Liong terasa hangat dan stabil, membantu menenangkan aliran energi di tubuh Hu Ling Lian. Namun, tak lama kemudian, senyuman kecil muncul di sudut bibir Hu Ling Lian. Sebuah senyuman licik yang tidak dilihat oleh Ji Liong.
Di balik tampilan lembutnya, Hu Ling Lian menyimpan niat busuk. Ilmu Sin Kang yang ia pelajari membutuhkan pengorbanan besar untuk mencapai puncaknya. Dan Ji Liong, dengan tenaga dalam yang murni dan kuat, adalah sumber sempurna untuk mempercepat latihan tersebut.
Ketika tenaga dalam Ji Liong mulai mengalir deras, Hu Ling Lian tiba-tiba mengubah tekniknya. Ia mulai menarik aliran tenaga dari tubuh Ji Liong dengan cara yang memaksa. Ji Liong merasakan keanehan itu. Ia mencoba menarik kembali tangannya, tetapi tidak bisa.
“Lian Moi… apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan nada panik.
Namun, Hu Ling Lian tidak menjawab. Ia terus menghisap tenaga dalam Ji Liong dengan kecepatan yang meningkat, membuat pemuda itu merasakan sakit luar biasa. Wajah Ji Liong memucat, tubuhnya mulai gemetar, dan nafasnya semakin lemah.
“Lian Moi! Hentikan ini! Kau akan membunuhku!” serunya dengan sisa tenaga.
Hu Ling Lian akhirnya melepaskan tangannya dengan sebuah hentakan kuat, menyebabkan Ji Liong terlempar ke belakang dan terkapar di tanah. Tubuh pemuda itu lemas, wajahnya basah oleh keringat dingin.
“Kenapa… kenapa kau melakukan ini?” Ji Liong bertanya dengan suara serak, matanya penuh keterkejutan dan kesedihan.
Hu Ling Lian berdiri, menatapnya dengan senyuman sinis. “Maaf, Ji Liong. Kau memang berguna bagiku. Namun, setelah ini, kau bukan siapa-siapa lagi. Kau hanyalah orang cacat dalam dunia persilatan. Jangan harap aku akan bersanding denganmu.”
Ji Liong menatap Hu Ling Lian yang berbalik pergi, meninggalkan dirinya dalam keadaan hancur, bukan hanya fisik tetapi juga hati dan kepercayaan yang pernah ia berikan sepenuhnya.
Di tengah rasa sakit dan kehancurannya, tekad perlahan tumbuh di dalam hati Ji Liong. “Aku akan membalasmu!”
***
Di ujung desa Hongye, berdiri sebuah perguruan yang terkenal, Kim Kiam Pai atau Perguruan Pedang Emas. Perguruan yang dipimpin oleh Ji Bao Oek, seorang pendekar berusia paruh baya dikenal dengan julukannya Pendekar Pedang Angin. Ilmu pedang yang ia miliki merupakan hasil gubahan teknik dari perguruan Butong, tempat ia dulu belajar sebelum memutuskan untuk mendirikan perguruan sendiri.
Ji Bao Oek memiliki dua orang anak, satu orang putra bernama Ji Liong dan putrinya bernama Ji Xiu Yan. Keduanya merupakan anak berbakat mewarisi kemampuan sang ayah. Karena kemampuan mereka itu, terkadang untuk mengajar para murid, Ji Bao Oek menyerahkan kepada mereka berdua.
Hari ini Ji Bao Oek bersama rombongan menuju desa Yushi, atau desa batu giok yang melewati dua desa dari desa Hongye. Mereka berencana melakukan lamaran kepada Hu Ling Lian, putri Hu Chuan Kepala keluarga Hu yang juga pendekar ternama bergelar Pendekar Tombak Sakti.
Setibanya di kediaman keluarga Hu, Ji Bao Oek dan rombongan disambut dingin oleh para pelayan keluarga. Wajah-wajah tak ramah itu menatap rombongan dengan penuh tanya, seolah-olah mereka tidak mengharapkan kedatangan Ji Bao Oek dan para pengikutnya. Salah seorang pelayan bahkan berani mempertanyakan tujuan kedatangan mereka.
"Apa keperluan kalian datang ke sini?" tanya pelayan itu tanpa basa-basi, mengerutkan keningnya menatap Ji Bao Oek.
Ji Bao Oek tertegun, merasa harga dirinya tersinggung. Dengan nada suara setengah membentak, ia berkata, "Kami datang sesuai dengan janji untuk melamar Nona Hu. Apa kalian tidak tahu siapa aku?"
Pelayan itu tampak ragu-ragu, lalu berkata, "Maaf, Tuan Ji. Akan tetapi, Nona dan Tuan Hu tidak berada di kediaman saat ini. Kami tidak menerima pemberitahuan apa pun mengenai lamaran hari ini."
Ji Bao Oek mendengar itu dengan perasaan campur aduk antara marah dan heran. "Tidak berada di kediaman? Apa maksudmu? Kami telah berjanji pada keluarga Hu untuk mengadakan lamaran ini. Sampaikan kepada Pendekar Hu Chuan bahwa kami ada di sini untuk menyelesaikan urusan keluarga kita!"
Pelayan itu menunduk, terlihat ragu, tetapi akhirnya ia masuk ke dalam untuk menyampaikan pesan itu. Ji Bao Oek dan rombongannya menunggu dengan perasaan yang tidak menentu. Beberapa waktu kemudian, seorang pria paruh baya dengan wajah serius keluar, Hu Chuan, Kepala keluarga Hu dan ayah dari Hu Ling Lian.
"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Ji?" tanya Hu Chuan dengan nada suara dingin.
"Pendekar Hu , aku datang untuk melamar putrimu, Hu Ling Lian, sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya," jawab Ji Bao Oek tegas.
Hu Chuan menggelengkan kepala perlahan, raut wajahnya tidak berubah. "Perjanjian kita telah batal, Tuan Ji. Aku tak bisa mengizinkan putriku menikah dengan putramu, Ji Liong yang cacat itu."
Kata-kata itu seakan petir yang menggelegar di telinga Ji Bao Oek. Ia tidak menyangka akan mendapatkan penolakan mendadak seperti ini. Terlebih lagi ucapan Hu Chuan yang mengatakan anaknya cacat, padahal keadaan Ji Liong tidak kekurangan sedikitpun.
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandang
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan-
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Suasana di perguruan Pedang Emas terasa damai, dengan para murid yang sibuk berlatih di lapangan luas yang terbuka. Ji Bao Oek, ketua perguruan, sedang duduk di beranda dekat ruang latihan, matanya memandangi para muridnya yang tengah berlatih dengan tekun. Meskipun cuaca cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi, suasana dalam dirinya tampak tegang, seperti ada yang mengganjal.Suara pelan dari Ji Liong yang berdiri di sampingnya terdengar nyaris tak terdengar, "Ada orang yang datang untuk mengacau."Ji Bao Oek menoleh sejenak. Suara putra angkatnya yang terdengar begitu ringan hampir tak membuatnya merasa waspada. Namun, dengan ketajaman indera yang dimilikinya, ia menatap ke arah pintu gerbang perguruan. Tak ada yang tampak mencurigakan."Apakah kau yakin?" Ji Bao Oek bertanya, sedikit mengernyitkan dahi. "Aku tidak mendengar apa-apa."Namun, meskipun suara Ji Liong pelan, entah mengapa ada ketegangan yang menggelayuti hati Ji Bao Oek. Ia menganggap dirinya lebih berpengalaman, lebih t
Di tengah lapangan, ketegangan terasa begitu mencekam. Mata Yu Lang menyorotkan rasa puas sekaligus angkuh, merasa dirinya lebih unggul. Dengan ilmu dan pengalaman yang jauh melampaui kebanyakan ahli persilatan, terlebih kemampuan seratus tahunnya dalam dunia pedang aliran hitam, ia memandang rendah Ji Bao Oek yang masih berani menantangnya.Ji Bao Oek paham betul betapa berbahayanya Tiga Hantu Pedang Sungai Kuning ini. Ia sudah mendengar kisah bahwa bahkan murid-murid utama aliran Butong sekalipun merasa gentar menghadapi mereka. Namun, demi harga diri Perguruan Pedang Emas dan perlindungan murid-muridnya, ia tak punya pilihan lain. Hatinya menguatkan tekadnya untuk bertahan, apapun yang terjadi.Yu Lang menyeringai, lalu mengangkat pedangnya, menyulut aura pedang tajam yang langsung menyasar ke arah Ji Bao Oek. Hawa pedang yang menakutkan melesat cepat, menghantam bagaikan gelombang badai. Ji Bao Oek mengangkat pedang pusakanya, mencoba menahan kekuatan itu. Namun, sambaran hawa pe
Langit malam menyelimuti perbukitan, membiaskan cahaya bintang yang seolah-olah menyaksikan pertemuan tak terduga di bawahnya. Di hadapan sebuah halaman terpencil Kim Kiam Pay, suasana yang mencekam terasa melingkupi saat tiga sosok berjubah hitam dengan ekspresi tegang berdiri di hadapan sosok berwibawa berpakaian merah, dialah Dewa Pedang. Seorang tokoh misterius dari Sekte Istana Langit dengan jabatannya sebagai Naga Pelindung Utara.Ketiga Hantu Pedang Sungai Kuning, Yu Lang, Guang He, dan San Pu tidak tampak seperti tiga pendekar yang pernah dikenal dunia persilatan. Mereka yang biasa mendatangkan malapetaka dengan senyuman menyeringai kini justru menunduk, keringat dingin mengalir di wajah mereka, sementara tatapan Dewa Pedang mengawasi mereka dengan tajam, memeriksa setiap detik kepatuhan yang mereka tunjukkan.“Dengarkan baik-baik,” suara Dewa Pedang terdengar dalam dan penuh kuasa. “Jika kalian tidak berjanji untuk meninggalkan Kim Kiam Pay dan bersumpah tidak akan mengganggu
Angin dingin berhembus di puncak pegunungan yang bersebelahan dengan bukit Hoasan. Kabut tipis menyelimuti tempat itu, menciptakan suasana yang suram dan penuh misteri. Ji Liong berdiri tegak di tepi jurang, memandang lurus ke arah bukit Hoasan dengan ekspresi muram. Matanya yang tajam tampak menerawang, seolah mencoba mencari jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang berputar di benaknya.Di belakangnya, empat lelaki berjubah putih berlutut dalam diam. Keempatnya adalah Empat Naga Pelindung Sekte Istana Langit, Tian Gong Pai, sosok-sosok setia kepada Tian Gong Pai, terutapa kepada Ji Liong yang nama aslinya Tian Long itu.. Mereka adalah Naga Pelindung Utara, Timur, Selatan, dan Barat pilar-pilar kekuatan Tian Gong Pai yang selama ini menjaga kehormatan sekte.Keempatnya menundukkan kepala, menunggu perintah Ji Liong. Hanya suara desir angin yang terdengar di antara mereka sebelum akhirnya Ji Liong berbicara."Sepertinya jatuhnya aku ke jurang memang disengaja," ucapnya pelan namun t
Wei Zhiang masih berlutut di hadapan Ji Liong. Matanya menatap lurus ke tanah, sementara tubuhnya sedikit gemetar, entah karena perasaan bersalah atau ketakutan yang belum sirna sepenuhnya. Hening menyelimuti tempat itu sejenak sebelum Ji Liong akhirnya berbicara dengan suara tegas."Berdirilah, Wei Zhiang," perintahnya.Tanpa ragu, Wei Zhiang segera bangkit. Matanya yang tajam kini menatap Ji Liong dengan penuh penghormatan. Ia masih belum sepenuhnya memahami bagaimana pemuda yang tampak biasa ini bisa memancarkan aura yang begitu luar biasa.Ji Liong kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Huan Sie Ji yang masih terduduk lemah. "Lam Juan, amankan dia. Kita lihat bagaimana dia masih bisa berpura-pura."Lam Juan mengangguk dan segera melangkah mendekati Huan Sie Ji. Namun, saat tangannya hendak menyentuh bahu pria tua itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.Tatapan Huan Sie Ji yang sebelumnya redup kini berubah tajam. Seketika, hawa membunuh yang sangat kuat meledak dari tubuhnya. La
Huan Sie Ji terduduk lemas, nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa begitu berat. Pedang di tangannya mulai goyah, matanya nanar menatap musuh-musuhnya yang masih mengepung dengan senyum kemenangan di wajah mereka. Racun Perampas Jiwa benar-benar telah menggerogoti kekuatannya, bahkan untuk sekadar berdiri pun kini ia kesulitan.Pria dengan bekas luka itu semakin mendekat, pedang besarnya terangkat tinggi. "Sudah waktunya mengakhiri ini, tua bangka!" serunya dengan nada penuh kemenangan.Huan Sie Ji hanya bisa pasrah, ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Ia melirik Ji Liong dan Lam Juan yang masih tak sadarkan diri. Hatinya terasa perih, tetapi ia tidak menyesali keputusannya untuk tetap bertarung. Ia hanya berharap keajaiban datang untuk menyelamatkan mereka.Tiba-tiba, sebelum pedang besar itu menghantamnya, terdengar suara ledakan dahsyat! Tanah bergetar hebat, gelombang angin kuat melesat ke segala arah. Pria bekas luka itu terhempas ke udara bersama anak buahny
Malam sudah larut, hanya suara binatang malam yang terdengar samar di kejauhan. Api unggun perlahan mengecil, hanya menyisakan bara yang memancarkan cahaya redup. Huan Sie Ji duduk bersila, matanya terpejam tetapi indranya tetap tajam, merasakan setiap gerakan di sekitar mereka. Angin dingin dari puncak gunung berhembus lembut, membawa aroma lembah yang segar. Namun, tiba-tiba, naluri Huan Sie Ji terusik. Ia mendengar suara langkah halus yang datang dari kejauhan, nyaris tidak terdengar oleh telinga biasa.“Ada sesuatu yang tidak beres,” pikirnya sambil mengatur nafasnya, bersiap untuk segala kemungkinan.Perlahan, ia membuka matanya dan merasakan pergerakan energi asing yang mendekat. Ia segera bersiaga, mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam agar tidak terdeteksi. Namun, sebelum ia sempat melakukan sesuatu, asap tebal mulai menyelimuti tempat itu. Asap itu berwarna keabu-abuan, dengan bau aneh yang membuat napas terasa berat. Huan Sie Ji langsung menutup hidung dan mulutnya
Patung Dewa Langit mulai bergetar, dan retakan-retakan muncul di permukaannya. Ji Liong segera melompat turun untuk menghindari bahaya. Saat ia mendarat, patung itu terbelah menjadi dua bagian, memperlihatkan sebuah terowongan besar di dalamnya.Lam Juan dan Huan Sie Ji mendekati Ji Liong dengan ekspresi takjub. “Ketua, kau berhasil!” seru Lam Juan.“Mari kita lihat apa yang ada di dalam terowongan ini,” kata Ji Liong sambil memimpin jalan masuk ke dalam terowongan.Di dalam terowongan, mereka menemukan tangga spiral yang terbuat dari batu. Tangga itu terlihat tua, tetapi masih kokoh. Cahaya samar dari kristal di dinding terowongan membantu mereka melihat jalan. Mereka mulai menaiki tangga dengan hati-hati, suara langkah kaki mereka bergema di ruang sempit itu.Setelah beberapa saat, mereka mencapai ujung tangga. Di sana, mereka menemukan sebuah pintu besar yang terbuat dari batu dengan ukiran-ukiran kuno di permukaannya. Ji Liong menyentuh pintu itu, merasakan energi yang mengalir me
Ji Liong menoleh dan melihat bayangan besar yang bergerak mendekati mereka dengan cepat. Ular itu memiliki tubuh yang sangat besar, dengan sisik hitam mengkilap yang memantulkan cahaya samar dari pedang yang dibawa Ji Liong. Mata ular itu bersinar merah, penuh dengan kebencian dan kekuatan yang mengintimidasi.Lam Juan dan Huan Sie Ji berenang sekuat tenaga menuju permukaan, sementara Ji Liong tetap berada di belakang, memegang Pedang Dewa Langit dengan erat. Ketika ular itu semakin dekat, Ji Liong mengarahkan pedangnya, mengerahkan Sian Jie Sin Kang untuk menciptakan penghalang energi di sekitar mereka.Ular raksasa itu menyerang dengan kecepatan luar biasa, membuka mulutnya yang dipenuhi taring tajam. Namun, energi dari pedang itu menciptakan gelombang yang menghentikan serangan ular tersebut. Ular itu tampak terguncang, tetapi tidak menyerah. Ia melingkarkan tubuhnya, mencoba mengepung Ji Liong dan menghancurkan penghalang energinya.Ji Liong menyadari bahwa waktu mereka terbatas.
Lam Juan memimpin jalan dengan langkah cepat dibawah bimbingan Huan Si Jie. Sementara Ji Liong mengikutinya dengan hati-hati. Di tengah gelapnya gua yang semakin dalam, udara menjadi lebih dingin dan lembap. Suara tetesan air yang jatuh dari dinding gua memecah keheningan, menambah nuansa misteri di tempat itu.“Ketua, kita akan menuju tempat yang lebih dalam,” ujar Lam Juan sambil menoleh ke arah Ji Liong. “Ada sebuah jalan menuju danau tersembunyi. Namun, kita harus menyelam untuk melewati jalan terakhir.”Ji Liong mengerutkan kening, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia terus melangkah, memperhatikan setiap sudut gua yang semakin gelap dan menyesakkan. Sementara itu, Huan Sie Ji berjalan di belakang, tatapannya tenang tetapi penuh kewaspadaan.Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruang besar dalam gua. Cahaya remang dari bebatuan yang bersinar samar-samar memperlihatkan sebuah danau yang luas. Permukaannya tenang, namun kegelapan airnya menyiratkan sesuatu yang misterius.
Ji Liong mengikuti langkah Lam Juan, menyusuri jalan setapak yang curam di antara tebing-tebing tinggi. Hawa dingin semakin menusuk, membuat suasana terasa semakin mencekam. Lam Juan berjalan cepat, sesekali menoleh untuk memastikan Ji Liong mengikutinya.Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon dan batu besar. Lam Juan berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum berkata, "Masuklah, Ketua. Di sini kita akan lebih aman." Ji Liong melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap. Namun, begitu ia memasuki bagian yang lebih dalam, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Di sudut gua, seorang pria tua berpakaian putih duduk bersila. Pakaian pria itu compang-camping, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, namun matanya masih menyiratkan semangat yang tidak padam."Ketua, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Anda," ujar Lam Juan dengan nada hormat. Ia membungkuk sedikit ke arah pria tua itu.
Ji Liong menatap pria tua berjubah hitam itu dengan sorot mata tajam. Nafasnya masih teratur meski benturan tenaga sebelumnya cukup keras, namun ita tak merasakannya. Ia melangkah maju, tangannya bersatu di depan dada, lalu ia berkata dengan nada merendah, "Cianpwe, mohon maaf jika tindakan saya barusan terlalu kasar. Saya hanya membela diri dari serangan Anda yang begitu mendesak."Pria tua itu mendengus, wajahnya merah padam karena amarah. Ia tidak menjawab, namun energi yang terpancar dari tubuhnya meningkat tajam. Jiwa sinis di matanya kian menyala, menandakan bahwa ia belum puas."Anak muda, kau terlalu congkak! Tenaga saktimu memang mengejutkan, tapi aku belum menunjukkan seluruh kemampuanku!" Pria itu menggeram, lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya ke arah Ji Liong.Gelombang udara di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Ji Liong dengan sigap mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan, menyambut serangan tersebut d