Ji Liong menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Thia. Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya,” jawab pemuda itu. “Memang aku merasa seperti dekat dengan orang itu, tapi sama sekali aku tidak bisa mengingatnya.”“Baiklah nak, aku percaya suatu saat kau bisa mengingat dan tahu siapa dirimu sebenarnya. Sebaiknya sekarang kau istirahat! Mungkin dalam waktu dekat, aku akan melakukan perjalanan ke Butong Pai. Aku akan mengajakmu dan Xiu Yan serta, siapa tahu guru besar di sana bisa membantumu.”Kamar Ji Liong tampak sunyi, hanya terdengar deru nafasnya yang teratur di bawah sinar rembulan yang menerobos masuk melalui jendela kayu. Cahaya itu menyorot tepat pada wajahnya yang tampak teduh namun penuh misteri. Ia memejamkan mata, berusaha keras menggapai sekilas bayangan yang melintas dalam benaknya. Sesosok pria bertubuh gagah, berambut panjang, berdiri tegak di atas puncak gunung bersalju, sembari menatap ke arah Ji Liong dengan tatapan penuh arti. Sosok itu tampak mengulurkan tangannya, se
Malam yang dingin berangsur hilang, menyisakan kabut tipis yang melayang di atas rerumputan desa Hongye. Perjalanan Ji Liong dan rombongannya menuju Butong Pai masih panjang, namun pagi itu menjadi awal dari penemuan yang tidak terduga.Mereka berhenti sejenak di bawah sebatang pohon besar. Ji Bao Oek tampak memperhatikan anak angkatnya, Ji Liong, dengan tatapan penuh pertanyaan. Ada sesuatu yang menyentak pikirannya sejak kemarin.“Liong-er,” kata Ji Bao Oek sambil menatap Ji Liong yang berdiri kokoh di hadapannya. “Aku melihat ada perubahan dalam dirimu. Sempat aku merasakan dorongan tenaga dalam dari tubuhmu ketika kemarin kau marah?”Ji Liong menunduk sesaat, seolah mencari kata yang tepat. "Thia," ucapnya lirih, “Beberapa waktu ini, aku merasa tubuhku perlahan memulihkan diri sendiri. Kini, aku bisa merasakan tenaga dalam tubuhku bergerak kembali. Aku sudah bisa mengerahkan lweekang (ilmu tenaga dalam).”Mata Ji Bao Oek melebar, sedikit terkejut dan takjub. Tanpa berpikir panjang
Ji Bao Oek segera mengenali simbol di pinggang si pengemis dan memberi hormat. “Ternyata aku berhadapan dengan petinggi partai Kaipang yang terkenal. Sungguh suatu kehormatan besar bagiku, Tuan!”Pengemis tua itu hanya tertawa lebar sambil menatap Ji Liong dengan tatapan tajam, seolah-olah menelusuri setiap detail pada anak muda itu. “Ah, jangan terlalu banyak peradatan. Kau juga bukan orang biasa, buktinya muridmu ini bisa memiliki keterampilan beladiri yang tak bisa dianggap remeh”Ji Bao Oek tersenyum senang. “Tuan terlalu memuji, mana bisa Kim Kiam Pay dibandingkan dengan Kaipang.”“Hahaha… Pendekar Ji, memang rendah hati. Kalau tidak keberatan, bolehkah aku bermain-main sedikit dengan muridmu ini?”Ji Bao Oek berubah wajahnya. Arti bermain-main yang diucapkan oleh pengemis itu adalah menguji kemampuan muridnya. Tentu sebuah kehormatan besar baginya, seorang anggota kaipang tujuh kantong menguji sang murid. Kedudukan pengemis itu tidak ada bedanya dengan murid utama sebuah pergur
Dengan hati-hati, Ji Liong memutuskan untuk meningkatkan aliran tenaga dalamnya sedikit lagi. Ia tahu, jika ingin mengimbangi Yang Di Ji, ia harus menunjukkan lebih banyak kekuatan. Perlahan, ia mulai mengalirkan sedikit sin kang tersembunyi ke dalam jurus pedangnya, membuat gerakannya semakin tajam dan bertenaga. Gerakan pedangnya kini menjadi semakin sulit diikuti mata, seolah pedangnya menghilang di balik bayangannya sendiri.Yang Di Ji mengerutkan kening, merasa tertekan oleh kekuatan besar yang kini mengalir dari setiap serangan Ji Liong. Kali ini, Ketua Kaipang benar-benar terdesak. Ia mengelak dan menghindar dengan kecepatan yang luar biasa, namun serangan Ji Liong begitu intens sehingga ia harus mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya untuk menangkis setiap serangan.Pertarungan dahsyat itu membuat mata Ji Bao Oek terbelalak. Hanya jurus kedua ciptaannya dapat mengimbangi kemampuan seorang Ketua Kaipang. Ia semakin yakin pemuda yang menjadi anak angkatnya itu memiliki latar b
Suasana hening menyelimuti gubuk sederhana sang biksu agung Zhen Tian. Para Biksu turut tenggelam dengan pemikiran mereka masing-masing. Suasana tiba-tiba berubah seketika ketika seorang biksu muda muncul tergesa-gesa, nafasnya tersengal, wajahnya pucat dan penuh ketegangan. Melihat biksu muda itu, Kong Shan langsung menatapnya dengan sorot mata tajam penuh tanya."Ada apa? Apa yang membuatmu datang dengan wajah sepucat itu?" Kong Shan bertanya, suaranya dalam dan penuh wibawa, tetapi tampak samar kekhawatiran di matanya.Biksu muda itu menundukkan kepala, suara nya bergetar. "Ketua, lima ketua perguruan besar... mereka datang. Mereka menuntut untuk bertemu Guru Agung Zhen Tian, dan mereka… mereka datang dengan amarah menyerang para murid."Sejenak, suasana hening. Wajah Kong Shan memerah, amarah terlihat terbakar. Dengan tegas, ia menggenggam tangannya di balik lengan baju panjangnya, menahan diri agar tidak meledak. "Sungguh tidak sopan mereka bertindak seperti ini terhadap seorang
"Jika kalian beranggapan hanya ilmu itu yang bisa melakukannya," jawab Zhen Tian Siansu (sebutan untuk pendeta/ biksu pengikut Budha dengan kedudukan yang sangat tinggi) dengan suara yang lembut, namun mengandung perbawa tinggi, "Apakah kalian juga yakin bahwa aku yang menculik murid-murid itu? Aku sudah berusaha menghindari segala ambisi duniawi, tidak memiliki alasan untuk melakukan tindakan rendah seperti itu."Ketua Huashan, seorang pria tua dengan tatapan tajam yang memancarkan keangkuhan, akhirnya angkat bicara. "Kami tidak menuduh Anda langsung, Siansu," katanya dengan nada kaku. "Namun hilangnya murid-murid kami yang penuh misteri dan cara mereka lenyap begitu cepat. Sebenarnya ada satu lagi alasan kami mengapa menyangka biksu agung yang melakukannya.” Zhen Tian Siansu memandang mereka, mata tajam namun penuh ketenangan. "Alasan apa yang kau maksud!” wajah Zhen Tian mulai serius.Ketua Huashan mengambil sebuah bungkusan kain. Ia kemudian membukanya. Ternyata di sana ada sebu
“Sepertinya mereka sedang membicarakan Butong Pai, Thia!” bisik Xiu Yan.Ji Bao Oek memberi isyarat agar putrinya itu diam dan mendengarkan. Perhatian mereka kini tertuju pada pembicaraan para pendekar di rumah makan itu.“Benar-benar terjadi? Lima perguruan besar menyerang Shaolin Pai?” salah satu dari mereka berbisik tegang.“Aku dengar sendiri, saudara. Katanya para ketua dari Hwasan, Kunlun, Kongtong, Butong, dan Gobi telah bersekutu. Tidak tahu apa yang membuat mereka sampai melakukan hal itu,” jawab seorang pria berwajah tirus sambil menggeleng tak percaya.Xiu Yan yang mendengar percakapan itu langsung menoleh ke ayahnya, matanya berbinar karena penasaran. “Thia, apakah benar lima perguruan besar akan menyerang Shaolin Pai?” tanyanya, setengah berbisik.Ji Bao Oek mengerutkan kening sejenak. "Aku belum pernah mendengar kabar itu dari guruku, Nak," jawabnya pelan, meskipun matanya menyiratkan sedikit kekhawatiran.“Kenapa lima perguruan besar bisa bersekutu dan menyerang Shaolin
Di tengah keheningan yang mencekam, Ji Bao Oek berlutut dengan hormat di depan Liau Li, yang dikenal sebagai Pendekar Pedang Guntur. Suasana tegang, seakan-akan setiap langkah mereka dihitung oleh waktu yang menunggu keputusan. “Jie Bao Oek, murid guru Yao Sheng menghadap paman guru, Liau Li Susiok,” kata Ji Bao Oek dengan suara yang terkontrol, namun ada ketegangan yang jelas di dalam nada suaranya.Liau Li, yang berdiri tegak di hadapannya, memandang dengan mata tajam yang penuh kebencian. Bibirnya mengerucut, wajahnya yang berkerut terlihat seperti batu karang yang tak tergoyahkan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia tiba-tiba menggeram, “Murid durhaka! Apa yang kau bawa ke sini, Ji Bao Oek? Kau membawa orang yang mencelakai murid Butong, apakah itu yang kau anggap sebagai jalan kebajikan dan pengabdian?”Ji Bao Oek terperanjat, tetapi secepat kilat, ia berusaha menenangkan situasi. “Paman Guru, saya tidak pernah berniat mencelakai murid Butong. Saya hanya berusaha menolong mere
Ji Liong mengikuti langkah Lam Juan, menyusuri jalan setapak yang curam di antara tebing-tebing tinggi. Hawa dingin semakin menusuk, membuat suasana terasa semakin mencekam. Lam Juan berjalan cepat, sesekali menoleh untuk memastikan Ji Liong mengikutinya.Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon dan batu besar. Lam Juan berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum berkata, "Masuklah, Ketua. Di sini kita akan lebih aman." Ji Liong melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap. Namun, begitu ia memasuki bagian yang lebih dalam, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Di sudut gua, seorang pria tua berpakaian putih duduk bersila. Pakaian pria itu compang-camping, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, namun matanya masih menyiratkan semangat yang tidak padam."Ketua, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Anda," ujar Lam Juan dengan nada hormat. Ia membungkuk sedikit ke arah pria tua itu
Ji Liong menatap pria tua berjubah hitam itu dengan sorot mata tajam. Nafasnya masih teratur meski benturan tenaga sebelumnya cukup keras, namun ita tak merasakannya. Ia melangkah maju, tangannya bersatu di depan dada, lalu ia berkata dengan nada merendah, "Cianpwe, mohon maaf jika tindakan saya barusan terlalu kasar. Saya hanya membela diri dari serangan Anda yang begitu mendesak."Pria tua itu mendengus, wajahnya merah padam karena amarah. Ia tidak menjawab, namun energi yang terpancar dari tubuhnya meningkat tajam. Jiwa sinis di matanya kian menyala, menandakan bahwa ia belum puas."Anak muda, kau terlalu congkak! Tenaga saktimu memang mengejutkan, tapi aku belum menunjukkan seluruh kemampuanku!" Pria itu menggeram, lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya ke arah Ji Liong.Gelombang udara di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Ji Liong dengan sigap mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan, menyambut serangan tersebut d
Ji Liong berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa berat setelah terjatuh dari ketinggian tadi. Ia melirik ke sekeliling, mencoba memahami tempat asing ini. Permukaan tanah di bawahnya tidak rata, dipenuhi bebatuan kecil yang licin oleh lapisan lumut. Dinding-dinding jurang yang menjulang tinggi terlihat berlapis-lapis, hampir tidak menyisakan celah untuk memanjat keluar. Suara gemuruh air dari kejauhan menambah suasana mencekam.Tiba-tiba, suara dingin dan berat terdengar, memecah keheningan yang melingkupi tempat itu.“Siapa namamu, anak muda? Mengapa bisa kau masuk ke jurang ini?”Ji Liong terkejut. Suara itu terdengar dekat, namun ia tidak melihat siapa pun. Refleks, ia langsung memasang kuda-kuda, mengalirkan tenaga dalam ke tubuhnya untuk berjaga-jaga. Matanya tajam menelusuri setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda kehidupan.Belum sempat ia berbicara, sebuah bayangan gelap melesat ke arahnya. Serangan itu begitu cepat dan tajam, membuat udara di sekitarnya mendesis. Dengan geraka
Kegelapan di dalam gua semakin mencekam, seolah-olah ingin menelan siapa saja yang berani memasukinya. Udara terasa berat, lembab, dan penuh dengan aroma batuan basah. Suara langkah kaki menggema di lorong yang sempit, menciptakan irama yang menggetarkan hati. Ji Liong berdiri tegak, tubuhnya memancarkan kewaspadaan. Ia tahu bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Li Yan, pria dengan reputasi mengerikan, telah membantai banyak pendekar hebat, termasuk tokoh-tokoh utama dari Hoa San Pai.“Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup, Ji Liong,” suara Li Yan menggema di antara bebatuan. Pria itu berdiri di kejauhan, tubuhnya hanya tampak sebagai bayangan samar oleh pantulan cahaya obor yang mulai redup. Nada bicaranya penuh keyakinan, seolah-olah kematian Ji Liong sudah pasti terjadi.Ji Liong tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tajam mengawasi gerakan lawannya. “Orang licik sepertimu tidak pantas untuk menyentuh sedikitpun bagian tubuhku, apalagi hendak membunuhku,” katanya dengan nad
Pagi di lembah berbatu itu terasa dingin. Kabut tipis masih melayang di antara celah-celah batu, menyelimuti tempat Ji Liong dan Mei Lin beristirahat. Ji Liong membuka matanya perlahan, mendapati Mei Lin sudah bangun dan duduk di dekat api unggun yang hampir padam. Wajahnya tampak serius, seolah memikirkan sesuatu yang berat.“Kau sudah bangun?” tanya Mei Lin dengan suara lembut. Tatapannya menunjukkan keramahan yang sulit dicurigai.“Ya,” jawab Ji Liong singkat sambil bangkit dan meregangkan tubuhnya. Matanya tetap tajam mengamati sekeliling. Ia tahu, meskipun tempat ini terlihat tenang, bahaya selalu mengintai di dunia persilatan.Mei Lin berdiri dan menyerahkan sepotong roti kering kepada Ji Liong. “Aku menemukannya di tas yang kutinggalkan kemarin. Ini mungkin tak seberapa, tapi setidaknya bisa memberi sedikit tenaga untuk perjalanan kita.”Ji Liong menerima roti itu dengan anggukan. Ia tidak berkata banyak, pikirannya masih tertuju pada misinya. Mei Lin, di sisi lain, tampak menc
Ji Liong berdiri kokoh di tengah lembah berbatu. Di hadapannya, Dewa Beruang Hitam, mengerahkan seluruh kekuatannya. Wajahnya yang dipenuhi bekas luka mencerminkan amarah dan keputusasaan. Pertarungan ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi Ji Liong tampak tetap tenang, sementara tubuhnya bersinar samar, mencerminkan Sin Kang dahsyat yang mengalir dalam dirinya.Dewa Beruang Hitam meraung dengan suara yang menggema di seluruh lembah. Ia melompat dengan gerakan yang cepat dan brutal, meskipun tubuhnya besar. Cakarnya yang besar dan tajam mengarah ke Ji Liong, seolah ingin merobek tubuh pemuda itu menjadi serpihan. Namun, Ji Liong dengan cekatan melompat ke udara, melampaui jangkauan lawannya. Saat berada di atas, ia mengerahkan Butong Sin Kang menghadapi serangan mematikan itu.Tangan kanan Ji Liong bergerak cepat membentuk formasi aneh, seolah-olah menari di udara. Dari telapak tangannya, muncul angin kuat yang mematikan. Angin itu menyapu lembah, mengguncang tanah dan memecahkan bat
"Apa kalian pikir aku datang sejauh ini hanya untuk membersihkan bukti kejahatan? Dengarkan aku baik-baik. Aku adalah Ji Liong dari Kim Kiam Pai. Aku tidak punya urusan dengan Hoa San Pai sebelumnya, dan aku bahkan tidak mengenal orang-orang yang kau sebutkan."Suasana menjadi hening. Kedua murid itu bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka berkata kepada lelaki tua itu, "Guru Agung, mungkin kita harus mendengarkan apa yang ingin dikatakannya. Jika dia benar-benar pembunuh, mengapa dia repot-repot mengubur mayat-mayat itu?"Lelaki tua itu masih tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk lemah. "Baiklah, aku akan mendengarkan. Tapi jika kau berdusta, aku sendiri yang akan menghabisimu!"Ji Liong mengangguk. "Itu lebih adil. Meskipun, jangankan menghabisiku, menyentuh rambutku saja kau tak akan mampu!”Guru Agung dari Hoa San Pai itu hanya mendengus. Ia sadar apa yang dikatakan Ji Liong itu tidak salah. Ia bahkan sudah mengerahkan semua kemampuannya, sementara pemuda yang menjadi l
Ji Liong mendaki lereng gunung Hoa San dengan hati berat. Pemandangan di sekitarnya benar-benar mengerikan. Aroma kematian menyengat di udara, disertai oleh suara angin yang menderu seperti rintihan jiwa-jiwa yang tak tenang. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan setapak menuju puncak. Beberapa mengenakan pakaian khas Hoa San Pai, menunjukkan bahwa mereka adalah murid-murid perguruan tersebut, sedangkan yang lain tampak seperti para penyusup atau penyerang.“Siapa yang tega melakukan semua ini?” gumam Ji Liong dengan suara rendah. Matanya menyapu sekitar, mencari tanda-tanda kehidupan, namun yang ia temukan hanyalah kesunyian yang mencekam.Tak ingin keadaan ini menjadi sumber penyakit bagi lingkungan sekitar, Ji Liong mengambil cangkul yang tergeletak di dekat pondok tua dan mulai menggali lubang di tanah yang keras. Setiap gundukan tanah yang ia gali terasa seperti beban moral yang ia angkat sedikit demi sedikit.Setelah beberapa jam bekerja keras, ia berhasil mengubur sebagian besar
“Mo Zai Hong…,” ucap Wu Jing Yu lirih.Kemunculan Mo Zai Hong, si Iblis Petaka Merah, benar-benar mengejutkan Wu Jing Yu. Seluruh dunia persilatan mengenal nama besar gembong iblis itu sebagai salah satu tokoh nomor satu dari aliran hitam. Sosoknya, dengan jubah merah yang tampak seperti api berkobar, memancarkan aura mengerikan. Wajah Mo Zai Hong, yang dihiasi garis-garis tegas dan mata setajam elang, menatap Wu Jing Yu dengan intensitas yang memaku langkah siapa pun.Yang lebih mengejutkan Wu Jing Yu adalah ketika Mo Zai Hong perlahan berlutut dan memberi penghormatan kepadanya. Tindakan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa ada sedikit pun kesan pura-pura. Angin dingin Gobi berembus kencang, tapi suasana di pelataran itu terasa panas membara oleh kehadiran tokoh aliran hitam yang ditakuti ini.“Wu Jing Yu, aku menghormatimu karena kau adalah ayah dari Tuan Muda Wu Kiang,” ujar Mo Zai Hong dengan suara berat yang bergema. “Aku datang bukan untuk bertarung, melainkan menyampaika