Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.
Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sisa tenaga yang nyaris habis, ia mengerahkan jurus terakhirnya, melesat ke arah pria bertopeng itu.
Akan tetapi, gerakan Xiu Yan terlalu lemah di mata lawan. Pria bertopeng itu menangkap pergelangan tangannya dengan mudah, dan tanpa belas kasihan, mendorongnya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah, kali ini tak sadarkan diri.
Kini hanya Ji Liong yang tersisa, dengan tubuh yang sudah babak belur dan hampir tidak bisa bergerak. Para murid lain yang masih tersisa mencoba bangkit untuk melawan, namun tubuh mereka terlalu lemah dan beberapa dari mereka bahkan langsung roboh ketika mencoba berdiri. Seorang dari mereka yang masih mampu bergerak, nekat maju menyerang, tetapi hanya dengan satu tendangan dari pria bertopeng itu, ia jatuh dan tidak bangun lagi.
Ji Liong hanya bisa melihat dari posisi duduknya, gemetar menahan rasa marah, malu, dan tak berdaya. Tangan dan kakinya gemetar, bukan hanya karena luka-luka yang ia derita, tetapi karena rasa takut yang tak dapat ia kendalikan. Ji Liong menatap pria bertopeng itu dengan mata penuh amarah.
"Jika kau berani mendekati adikku dan berbuat tidak senonoh padanya, aku bersumpah, akan kubuat kau menyesal," teriaknya dengan suara serak yang dipenuhi keputusasaan.
Pria bertopeng itu hanya tertawa dingin. Dengan suara yang kasar dan menghina, ia berkata, "Menyesal? Menghadapi sampah tak berguna seperti kau, apa yang harus kutakutkan? Kau hanyalah seekor cacing yang mudah kupijak kapan saja."
Pria itu kemudian menoleh ke arah Xiu Yan yang tak sadarkan diri, seolah menikmati setiap detik ketakutan yang tergurat di wajah Ji Liong. "Aku sengaja membiarkanmu tetap sadar," ujarnya sambil terkekeh, "agar kau bisa melihat bagaimana Kim Kiam Pay hancur, dan bagaimana aku menikmati tubuh adikmu di hadapanmu."
Kata-kata itu membuat darah Ji Liong mendidih. Ia menggigit bibirnya sampai berdarah, menahan amarah yang terasa seperti racun yang melumpuhkan seluruh tubuhnya. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan, tetapi batinnya berteriak, menolak untuk menyerah.
Ji Liong menguatkan hati dan mengumpulkan tenaganya. Ia menyerang lelaki bertopeng yang kian dekat kepada adiknya. Mengambil sebuah pedang dari salah seorang murid yang tergeletak di tanah, Ji Liong menyerang.
Serangan Ji Liong kali ini berhasil mengenai iga kiri lelaki bertopeng hingga membuatnya berdarah. Serangan itu berhasil bukan dikarenakan Ji Liong memiliki kemampuan hebat, melainkan karena musuh lengah tidak menyangka pemuda itu menggunakan pedang dan masih memiliki tenaga untuk menyerang.
“Bedebah, akan kubuat kau mampus dan meratap di akhirat dengan perasaan menyesal!” umpat lelaki bertopeng itu.
Bukkk!
Sebuah hantaman keras dilayangkan tepat di kepala Ji Liong oleh orang bertopeng. Pemuda itu langsung terjungkal dan jatuh terlentang dengan mulut mengeluarkan darah. Matanya terpejam tak sanggup ia buka. Anehnya ia masih dalam keadan sadar meski tubuhnya tidak bisa digerakkan.
“Sayang sekali aku tidak bisa membuatmu menjadi saksi bagaimana kami bersenang-senang dengan kehancuran Kim Kiam Pay dan bagaimana cara kami menikmati adikmu yang cantik itu!” ucap lelaki bertopeng.
Dalam keadaan rebah di tanah, Ji Liong merasakan sesuatu yang aneh. Bukannya tenggelam dalam rasa sakit, justru sebuah kekuatan misterius mulai bangkit di dalam tubuhnya. Sebuah tenaga sakti tiba-tiba bangkit. Di pusat tenaga dalamnya tiba-tiba terasa bergerak, mengalir ke seluruh nadi tubuhnya dengan deras.
Setiap aliran tenaga itu menyebar hawa hangat, menyembuhkan luka-luka dalamnya dan membuka kembali nadi-nadi yang tersumbat tertembusi. Bahkan beberapa nadi yang putus dan rusak seolah-olah tumbuh kembali dalam keadaan baru. Ji Liong merasa tubuhnya kembali segar, lebih enteng dari yang pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan lebih baik dari sebelum ia diperdaya oleh Hu Ling Lian, mantan kekasihnya.
Dalam benaknya, sebuah ingatan samar kembali muncul. Sebuah gambaran saat ia melatih tenaga sakti di ruangan tertutup. Dalam ingatannya itu tiba-tiba muncul beberapa lelaki berpakaian hitam bertopeng menghantam tubuhnya. Ingatan itu seolah-olah nyata membuat tubuhnya bergetar hebat.
Saat kesadarannya pulih sepenuhnya, Ji Liong segera menyadari bahwa Xiu Yan masih dalam bahaya. Lelaki bertopeng itu telah mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari tubuh Xiu Yan yang tak sadarkan diri. Amarah yang meledak membuat Ji Liong melesat dengan kecepatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Bummm!
Satu hantaman kuat dari telapak tangan Ji Liong langsung menghantam dada pria bertopeng. Tanpa peringatan, tubuh lelaki itu meledak, hancur berkeping-keping seketika dan menjadi debu yang lenyap tertiup angin. Suara itu membuat ku empat orang lainnya yang berada di tempat tersebut tertegun, mereka saling pandang dengan mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.
Namun naluri mereka berkata bahaya, dan segera keempatnya mencoba melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, semua sudah terlambat. Ji Liong mengibaskan lengan bajunya kearah mereka dan...
Wuuush!
Gelombang tenaga yang dahsyat melesat dari kibasan itu dengan sangat cepat, langsung menyapu keempat orang tersebut. Mereka tidak sempat menjerit, tubuh mereka hancur seketika, berubah menjadi debu dan tersapu angin, sama seperti pria bertopeng sebelumnya.
Setelah semuanya berakhir, Ji Liong berdiri di tengah-tengah bekas medan pertarungan yang kini sunyi. Ia menoleh, menatap Xiu Yan yang masih terbaring di tanah. Pemuda itu melangkah menghampiri adiknya dan memeriksa kondisinya. Xiu Yan masih bernafas, meskipun lemah, dan itu membuat Ji Liong merasa lega.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana tenaga sakti ini, bukan tenaga sakti khas perguruan Kim Kiam. dan gambaran ingatan itu?”
Sesaat beribu pertanyaan muncul di benak Ji Liong. Beberapa ingatan kembali muncul. Sebuah gambaran dimana ia hanyut di lautan lalu diselamatkan seseorang. Gambaran itu membuat sedikit sakit di kepalanya. Ia pun akhirnya rebah tak sadarkan diri.
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan-
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Suasana di perguruan Pedang Emas terasa damai, dengan para murid yang sibuk berlatih di lapangan luas yang terbuka. Ji Bao Oek, ketua perguruan, sedang duduk di beranda dekat ruang latihan, matanya memandangi para muridnya yang tengah berlatih dengan tekun. Meskipun cuaca cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi, suasana dalam dirinya tampak tegang, seperti ada yang mengganjal.Suara pelan dari Ji Liong yang berdiri di sampingnya terdengar nyaris tak terdengar, "Ada orang yang datang untuk mengacau."Ji Bao Oek menoleh sejenak. Suara putra angkatnya yang terdengar begitu ringan hampir tak membuatnya merasa waspada. Namun, dengan ketajaman indera yang dimilikinya, ia menatap ke arah pintu gerbang perguruan. Tak ada yang tampak mencurigakan."Apakah kau yakin?" Ji Bao Oek bertanya, sedikit mengernyitkan dahi. "Aku tidak mendengar apa-apa."Namun, meskipun suara Ji Liong pelan, entah mengapa ada ketegangan yang menggelayuti hati Ji Bao Oek. Ia menganggap dirinya lebih berpengalaman, lebih t
Di tengah lapangan, ketegangan terasa begitu mencekam. Mata Yu Lang menyorotkan rasa puas sekaligus angkuh, merasa dirinya lebih unggul. Dengan ilmu dan pengalaman yang jauh melampaui kebanyakan ahli persilatan, terlebih kemampuan seratus tahunnya dalam dunia pedang aliran hitam, ia memandang rendah Ji Bao Oek yang masih berani menantangnya.Ji Bao Oek paham betul betapa berbahayanya Tiga Hantu Pedang Sungai Kuning ini. Ia sudah mendengar kisah bahwa bahkan murid-murid utama aliran Butong sekalipun merasa gentar menghadapi mereka. Namun, demi harga diri Perguruan Pedang Emas dan perlindungan murid-muridnya, ia tak punya pilihan lain. Hatinya menguatkan tekadnya untuk bertahan, apapun yang terjadi.Yu Lang menyeringai, lalu mengangkat pedangnya, menyulut aura pedang tajam yang langsung menyasar ke arah Ji Bao Oek. Hawa pedang yang menakutkan melesat cepat, menghantam bagaikan gelombang badai. Ji Bao Oek mengangkat pedang pusakanya, mencoba menahan kekuatan itu. Namun, sambaran hawa pe
Langit malam menyelimuti perbukitan, membiaskan cahaya bintang yang seolah-olah menyaksikan pertemuan tak terduga di bawahnya. Di hadapan sebuah halaman terpencil Kim Kiam Pay, suasana yang mencekam terasa melingkupi saat tiga sosok berjubah hitam dengan ekspresi tegang berdiri di hadapan sosok berwibawa berpakaian merah, dialah Dewa Pedang. Seorang tokoh misterius dari Sekte Istana Langit dengan jabatannya sebagai Naga Pelindung Utara.Ketiga Hantu Pedang Sungai Kuning, Yu Lang, Guang He, dan San Pu tidak tampak seperti tiga pendekar yang pernah dikenal dunia persilatan. Mereka yang biasa mendatangkan malapetaka dengan senyuman menyeringai kini justru menunduk, keringat dingin mengalir di wajah mereka, sementara tatapan Dewa Pedang mengawasi mereka dengan tajam, memeriksa setiap detik kepatuhan yang mereka tunjukkan.“Dengarkan baik-baik,” suara Dewa Pedang terdengar dalam dan penuh kuasa. “Jika kalian tidak berjanji untuk meninggalkan Kim Kiam Pay dan bersumpah tidak akan mengganggu
Ji Liong menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Thia. Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya,” jawab pemuda itu. “Memang aku merasa seperti dekat dengan orang itu, tapi sama sekali aku tidak bisa mengingatnya.”“Baiklah nak, aku percaya suatu saat kau bisa mengingat dan tahu siapa dirimu sebenarnya. Sebaiknya sekarang kau istirahat! Mungkin dalam waktu dekat, aku akan melakukan perjalanan ke Butong Pai. Aku akan mengajakmu dan Xiu Yan serta, siapa tahu guru besar di sana bisa membantumu.”Kamar Ji Liong tampak sunyi, hanya terdengar deru nafasnya yang teratur di bawah sinar rembulan yang menerobos masuk melalui jendela kayu. Cahaya itu menyorot tepat pada wajahnya yang tampak teduh namun penuh misteri. Ia memejamkan mata, berusaha keras menggapai sekilas bayangan yang melintas dalam benaknya. Sesosok pria bertubuh gagah, berambut panjang, berdiri tegak di atas puncak gunung bersalju, sembari menatap ke arah Ji Liong dengan tatapan penuh arti. Sosok itu tampak mengulurkan tangannya, se
Malam yang dingin berangsur hilang, menyisakan kabut tipis yang melayang di atas rerumputan desa Hongye. Perjalanan Ji Liong dan rombongannya menuju Butong Pai masih panjang, namun pagi itu menjadi awal dari penemuan yang tidak terduga.Mereka berhenti sejenak di bawah sebatang pohon besar. Ji Bao Oek tampak memperhatikan anak angkatnya, Ji Liong, dengan tatapan penuh pertanyaan. Ada sesuatu yang menyentak pikirannya sejak kemarin.“Liong-er,” kata Ji Bao Oek sambil menatap Ji Liong yang berdiri kokoh di hadapannya. “Aku melihat ada perubahan dalam dirimu. Sempat aku merasakan dorongan tenaga dalam dari tubuhmu ketika kemarin kau marah?”Ji Liong menunduk sesaat, seolah mencari kata yang tepat. "Thia," ucapnya lirih, “Beberapa waktu ini, aku merasa tubuhku perlahan memulihkan diri sendiri. Kini, aku bisa merasakan tenaga dalam tubuhku bergerak kembali. Aku sudah bisa mengerahkan lweekang (ilmu tenaga dalam).”Mata Ji Bao Oek melebar, sedikit terkejut dan takjub. Tanpa berpikir panjang
Ji Bao Oek segera mengenali simbol di pinggang si pengemis dan memberi hormat. “Ternyata aku berhadapan dengan petinggi partai Kaipang yang terkenal. Sungguh suatu kehormatan besar bagiku, Tuan!”Pengemis tua itu hanya tertawa lebar sambil menatap Ji Liong dengan tatapan tajam, seolah-olah menelusuri setiap detail pada anak muda itu. “Ah, jangan terlalu banyak peradatan. Kau juga bukan orang biasa, buktinya muridmu ini bisa memiliki keterampilan beladiri yang tak bisa dianggap remeh”Ji Bao Oek tersenyum senang. “Tuan terlalu memuji, mana bisa Kim Kiam Pay dibandingkan dengan Kaipang.”“Hahaha… Pendekar Ji, memang rendah hati. Kalau tidak keberatan, bolehkah aku bermain-main sedikit dengan muridmu ini?”Ji Bao Oek berubah wajahnya. Arti bermain-main yang diucapkan oleh pengemis itu adalah menguji kemampuan muridnya. Tentu sebuah kehormatan besar baginya, seorang anggota kaipang tujuh kantong menguji sang murid. Kedudukan pengemis itu tidak ada bedanya dengan murid utama sebuah pergur
“Mo Zai Hong…,” ucap Wu Jing Yu lirih.Kemunculan Mo Zai Hong, si Iblis Petaka Merah, benar-benar mengejutkan Wu Jing Yu. Seluruh dunia persilatan mengenal nama besar gembong iblis itu sebagai salah satu tokoh nomor satu dari aliran hitam. Sosoknya, dengan jubah merah yang tampak seperti api berkobar, memancarkan aura mengerikan. Wajah Mo Zai Hong, yang dihiasi garis-garis tegas dan mata setajam elang, menatap Wu Jing Yu dengan intensitas yang memaku langkah siapa pun.Yang lebih mengejutkan Wu Jing Yu adalah ketika Mo Zai Hong perlahan berlutut dan memberi penghormatan kepadanya. Tindakan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa ada sedikit pun kesan pura-pura. Angin dingin Gobi berembus kencang, tapi suasana di pelataran itu terasa panas membara oleh kehadiran tokoh aliran hitam yang ditakuti ini.“Wu Jing Yu, aku menghormatimu karena kau adalah ayah dari Tuan Muda Wu Kiang,” ujar Mo Zai Hong dengan suara berat yang bergema. “Aku datang bukan untuk bertarung, melainkan menyampaika
Wu Jing Yu, salah satu guru utama dari Kong Tong Pai, melangkah mantap di depan lima muridnya yang mengikuti di belakang. Mereka berjalan menyusuri jalur pegunungan berbatu menuju Gobi Pai, sebuah perguruan ternama yang terkenal dengan ajaran bela diri berbasis keseimbangan dan keharmonisan.Langit senja mewarnai perjalanan mereka, dan angin dingin pegunungan menyapu wajah para murid yang penuh semangat. Wu Jing Yu, meski usianya telah memasuki setengah abad, masih tampak gagah dengan tubuh tegap dan mata tajam. Ia mengenakan jubah abu-abu dengan bordiran simbol Kongtong di bagian dadanya. “Jangan lengah,” katanya dengan suara rendah namun tegas. Para murid mengangguk serempak, menunjukkan sikap hormat mereka.Setibanya di pelataran Gobi Pai, suasana terasa berbeda dari yang mereka harapkan. Bukannya sambutan ramah, belasan murid Gobi Pai menghadang mereka dengan ekspresi tidak bersahabat.“Wu Jing Yu dari Kong Tong Pai datang untuk berbicara dengan Guru Besar Gobi Pai,” ujar Wu Jing
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Sebuah bayangan besar muncul di balik kabut medan perang. Semua mata tertuju ke arah itu. Dari balik kabut, seorang lelaki berpakaian perang merah dengan jubah bersulam naga emas muncul melayang diudara. Rambut panjangnya berkibar, dan matanya memancarkan aura kebesaran yang luar biasa."Jenderal Naga Merah!" seseorang berteriak menunjukkan keterkejutannya.Sosok itu adalah Jenderal Naga Merah Tian Gong Pai, seorang pendekar sakti yang dikenal karena kekuatannya yang luar biasa. Satu dari sepuluh pendekar terbaik di Sekte Istana Langit. "Naga meluruk bumi!" pekiknya, mengayunkan pedangnya ke udara.Seketika, sebuah gelombang energi besar melesat ke arah musuh. Gelombang itu menghantam kerumunan hewan berbisa, membubarkan mereka seperti daun-daun kering tertiup angin. Para anggota Sekte Lima Racun yang berada di dekatnya terpental jauh, beberapa dari mereka tak sadarkan diri akibat serangan itu.Kemunculan Jenderal Naga Merah mengubah
Ji Liong memandang lelaki tua itu dengan penuh kewaspadaan. Udara di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan-akan kehadiran lelaki tua itu membawa sesuatu yang berat dan penuh misteri."Namaku Yo Han Chu, seorang pengelana," kata lelaki tua itu dengan suara tenang namun tajam. Ia melangkah maju, tangannya menggenggam tongkat bambu yang terlihat sederhana, namun memancarkan aura sakti yang membuat Ji Liong merasa waspada."Yo Han Chu?" Ji Liong mengulangi nama itu, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengarnya sebelumnya. Namun, tak ada ingatan yang muncul. "Aku belum pernah mendengar namamu. Bolehkah aku tahu siapa sebenarnya dirimu dan apa gelarmu di dunia persilatan?"Yo Han Chu tersenyum tipis. "Gelarku sudah lama terkubur bersama waktu. Yang perlu kau tahu hanyalah bahwa aku adalah keturunan sepasang rajawali yang dulu pernah merajai dunia persilatan. Meskipun namaku tidak penting, apa yang akan kukatakan padamu sangatlah penting."Ji Liong memperhatikan lelaki tua itu deng
Ong Kiat dan Bu Jiaw telah menyelesaikan persiapan mereka. Dengan pekik lantang, keduanya melesat bersamaan ke arah Ji Liong, menyerang dari dua sisi dengan kekuatan penuh. Angin dari serangan mereka menciptakan tekanan besar, membuat tanah di sekitar mereka retak-retak.Namun, Ji Liong tetap tidak bergerak. Tubuhnya memancarkan hawa hangat yang perlahan mengalahkan tekanan panas dari Sin Kang Naga Langit. Tepat ketika serangan Ong Kiat dan Bu Jiaw hampir mengenainya, kekuatan sakti di tubuhnya memancar kuat bagaikan sebuah ledakan cahaya.Ledakan tenaga itu membuat Ong Kiat dan Bu Jiaw terhenti di tengah jalan. Kekuatan dahsyat itu menghantam mereka tanpa ampun, melemparkan tubuh mereka jauh ke belakang. Tubuh mereka menghantam tanah keras, menciptakan lubang besar di tempat mereka jatuh.Ong Kiat dan Bu Jiaw terkapar, napas mereka tersengal-sengal. Tubuh mereka penuh luka akibat benturan, namun yang lebih mencengangkan adalah ekspresi di wajah mereka. Mereka tidak hanya kalah secara
Ji Liong berdiri dengan tenang, menatap dua lelaki di hadapannya tanpa sedikit pun rasa gentar. Angin sore di atas bukit berembus pelan, menyibakkan ujung jubah putih yang ia kenakan, menambah kesan anggun dan tak tertandingi.Ong Kiat, si Jenderal Naga Merah, memicingkan mata. “Siapa kau, anak muda? Apa hakmu untuk melarang kami?” tanyanya dengan suara tegas namun penuh kewaspadaan. Mata tajamnya memperhatikan setiap gerakan Ji Liong, mencari celah untuk mengukur kekuatan lawannya.Ji Liong tersenyum tipis. “Aku hanyalah seorang pengembara yang tidak ingin melihat darah orang-orang tak bersalah mengalir tanpa alasan. Jika kalian membantu Sekte Lima Racun, itu berarti kalian mengkhianati kemanusiaan dan keadilan.”Bu Jiaw, si Jenderal Naga Ungu, yang sejak tadi memperhatikan dengan saksama, mengerutkan kening. “Kemanusiaan dan keadilan? Itu kata-kata besar untuk seorang pemuda sepertimu. Apa yang kau tahu tentang dunia ini?”Ji Liong melangkah maju, matanya memancarkan keteguhan. “Aku
Ruangan rumah makan mendadak menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada Ji Liong, yang kini duduk diam memandang pria muda yang terluka parah di hadapannya. Suara napas tersengal dari lelaki itu menggema, menambah suasana tegang yang memenuhi tempat tersebut.Ji Liong menghela nafas pelan, lalu berdiri dengan tenang. Langkahnya perlahan namun mantap menghampiri pria yang tergeletak di lantai. Beberapa orang menatap dengan penuh harap, sementara yang lain berdoa dalam hati. Tanpa banyak bicara, Ji Liong berlutut di samping pria itu dan meletakkan tangannya di atas dada korban.Dengan satu tarikan nafas panjang, Ji Liong mulai mengerahkan Butong Sinkang. Hawa hangat yang kuat langsung menyebar dari telapak tangannya, menyelimuti tubuh pria itu. Para pendekar di sekelilingnya dapat merasakan kekuatan yang luar biasa itu, membuat mereka terperangah. Racun dan luka dalam yang mengancam nyawa pria muda itu perlahan menghilang. Warna wajahnya yang sebelumnya pucat mulai kembali normal, dan nafas
Rumah makan itu berdiri kokoh tepat beberapa tombak dari gerbang kota Beihai. Bangunan kayunya yang sederhana namun terawat tampak mengundang siapa saja yang melewatinya. Lampu-lampu minyak menerangi ruangan dengan cahaya lembut, memantulkan bayangan hangat pada dinding-dinding yang dihiasi ukiran naga dan awan. Suasana ramai memenuhi tempat itu, dipenuhi oleh suara tawa, percakapan serius, dan denting mangkuk serta sumpit.Di salah satu sudut ruangan, tampak beberapa pendekar berbaju hitam yang duduk dengan sikap waspada. Mereka adalah anggota klan Pedang Merah, Klan kecil yang tak jauh jaraknya dari Gunung Gobi, Tempat berdirinya perguruan besar yang terkenal dengan jurus pedang kilatnya. Di meja lain, dua orang biksu dari Kongtong Pai tengah bercakap-cakap sambil menyeruput teh hangat. Ada pula seorang perempuan berusia paruh baya, mengenakan jubah ungu dengan bordiran bunga teratai, yang tampak sedang mengamati keadaan sekeliling dengan mata tajam.Guo Liang melangkah masuk ke r
“Tuan muda Ji… a-aku!” ucapan Bai Xue Ling tergagap, ia tidak menyangka pembicaraannya didengar oleh Ji Liong. Namun ucapan itu sia-sia. Ji Liong sudah tidak ada di tempat itu.Gadis itu berniat mencari Ji Liong, namun dicegah ayahnya. “Anak itu telah jauh meninggalkan tempat ini, kau tidak bisa menyusulnya,” ucap Bai Ji Cheng. “Aku memang sama sekali tidak bisa mengetahui siapa jati diri anak itu.” ucapnya lagi memberi penegasan kepada putrinya.Bai Xue Ling berdiri mematung di depan pintu rumah. Angin malam meniup lembut rambutnya yang terurai, membawa aroma rumput basah setelah hujan. Namun, ketenangan malam tidak mampu meredakan gelisah yang menggerogoti hatinya.Bayangan Ji Liong yang dingin dan penuh teka-teki terus terbayang di benaknya. Ia memutar ulang kejadian tadi sore, mencoba menemukan kata-kata yang seharusnya ia ucapkan untuk mencegahnya pergi. Tetapi semua terasa sia-sia."Xue Ling," suara lembut Bai Ji Cheng memanggilnya. Pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu,