Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.
Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."
Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan-er," katanya perlahan, berusaha tetap tenang meskipun dadanya terasa berdebar dan sedikit sesak.
"Setelah mereka menyerang, aku ingat hanya berusaha bertahan sebaik mungkin. Namun, tiba-tiba aku merasa ada angin kencang berdesir, dan segalanya menjadi gelap. Ketika aku sadar, semua orang sudah tidak ada di sana," cerita Xiu Yan sambil menggigit bibirnya, berusaha mengingat detail-detail samar yang masih membingungkannya.
Ji Bao Oek menahan napas. Ia tahu bahwa Xiu Yan adalah pendekar tangguh yang tidak mudah tertekan. Namun, melihat putrinya mengisahkan pengalaman ini dengan penuh kebingungan, hatinya semakin khawatir.
Ia mendengar bagaimana Xiu Yan terbangun tanpa luka sedikit pun, begitu juga dengan Ji Liong dan murid-murid lainnya. Yang lebih mengherankan adalah bahwa mereka merasakan kekuatan mereka bertambah setelah kejadian itu, seolah-olah diberi keajaiban dari langit.
"Tia.. Kami semua sehat tanpa luka apa pun, padahal kami seharusnya menderita cedera serius. Dan ada sesuatu yang tertinggal sebagai petunjuk..." Xiu Yan melanjutkan, suaranya melembut, penuh keraguan.
"Petunjuk apa, Yan-er?" Ji Bao Oek mengernyitkan dahi, semakin penasaran.
"Ada tulisan di sebuah pohon besar di halaman belakang. Tulisan itu berbunyi, ‘Musuh telah kuhabisi.’ Tetapi, yang lebih aneh adalah cara tulisan itu terbentuk. Seolah-olah pohon tersebut tidak terluka atau tergores, seperti muncul begitu saja," kata Xiu Yan sambil menunduk, bingung.
Mata Ji Bao Oek menyipit penuh ketajaman. Ia segera melangkah ke arah pohon yang dimaksud tanpa berkata sepatah kata pun. Xiu Yan dan Ji Liong mengikuti di belakangnya, penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh sang ketua.
Setibanya di depan pohon besar, Ji Bao Oek memperhatikan tulisan tersebut dengan seksama. Kalimat itu terlihat sangat rapi dan dalam ukuran yang tertata sempurna. Tulisan tersebut seperti tertanam dalam batang pohon, tidak terlihat bekas goresan atau luka sedikit pun.
“Yan-er, kau melihatnya, bukan?” tanya Ji Bao Oek, tidak mengalihkan pandangannya dari tulisan di pohon.
“Ya, Thia. Tulisan ini... seperti bukan buatan tangan manusia biasa.” Xiu Yan menjawab sambil menelan ludah.
Ji Bao Oek mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada tegas, “Untuk membuat tulisan sehalus ini, diperlukan benda yang lebih tajam dari pedang mana pun di dunia ini. Bahkan pedang-pedang yang diasah bertahun-tahun oleh pandai besi terbaik pun tak akan bisa menghasilkan tulisan seperti ini tanpa menggores serat kayu sedikit pun.”
Kata-kata Ji Bao Oek membuat Xiu Yan semakin terkejut. Hanya Ji Liong yang sebenarnya hanya menanggapi biasa. Namun ia berusaha menunjukkan keterkejutan yang sama. Wajah mereka berubah, terutama Xiu Yan yang menyadari bahwa sang penolong mungkin bukan pendekar biasa.
Ji Bao Oek memandangi pohon itu lebih lama, seolah-olah mencoba menembus misteri yang tersimpan di dalamnya. “Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi penuh kekaguman. “Namun, aku menduga pendekar ini memiliki kesaktian yang jauh melampaui ketua perguruan mana pun. Bahkan pemimpin Shaolin atau Butong, yang dianggap sebagai salah satu pendekar tertinggi, mungkin tidak bisa meninggalkan tulisan sehalus ini.”
Ucapan sang ayah membuat Ji Xiu Yan semakin terkejut. Dalam dunia persilatan, nama Shaolin dan Butong sangat disegani, dan jika kemampuan orang ini berada di atas mereka, maka pastilah ia seorang pendekar yang sangat legendaris dan mungkin sudah lama tak menampakkan diri.
"Jika benar ada pendekar seperti itu yang menolong, kenapa dia tidak memunculkan diri di hadapan kami, Thia?" tanya Xiu Yan penuh heran.
Ji Bao Oek menggelengkan kepala, pandangannya penuh kehati-hatian. "Tidak ada yang tahu maksud dari pendekar misterius ini. Yang pasti, Ia telah menolong kalian. Namun yang lebih penting dari itu, tentang lima orang yang menyerang perguruan ini. Entah dari mana asal mereka dan apa tujuan mereka sebenarnya."
Xiu Yan dan Ji Liong saling berpandangan, dua orang remaja itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Xiu Lian dengan perasaan kagum sekaligus penasaran menyelimuti hatinya. Siapakah pendekar yang mampu membuat tanda seperti ini? Sementara Ji Liong tenggelam dalam pertanyaan siapakah dirinya. Dan benarkah kekuatan yang ia miliki sehebat yang diceritakan Ji Bao Oek. Karena dia lah sebenarnya sang penolong yang dibicarakan.
Setelah beberapa saat, Ji Bao Oek melangkah mundur dari pohon dan menatap langit yang mulai gelap. Ia menghela napas berat, tahu bahwa dunia persilatan mungkin akan berubah setelah kejadian ini. "Yan-er, Liong-er, kita harus melatih diri lebih keras. Dunia persilatan akan semakin ganas, dan hanya mereka yang memiliki kekuatan yang akan bertahan. Sampaikan pada seluruh murid, kita akan meningkatkan latihan mulai besok. Tidak ada lagi kelengahan."
Malam itu, semua orang di Kim Kiam Pay berbaring di ranjang mereka masing-masing. Hanya beberapa orang murid yang berjaga.
Dari jendela kamar Ji Liong nampak bayangan melesat sangat cepat. Seandainya ada orang di tempat itu, tentu tidak ada yang sanggup melihatnya. Karena bayangan itu bergerak melebihi kecepatan angin. Ia bergerak menuju hutan yang berada cukup jauh dari tempat itu.
Di tengah hutan bayangan itu berhenti. Ia tidak lain adalah Ji Liong. Pemuda itu dengan rasa penasarannya berlari ke arah hutan. Betapa ia sangat terkejut karena mampu bergerak dengan kecepatan luar biasa seperti itu.
“Ilmu kesaktian apa ini? Aku tidak bisa mengingat apa-apa.”
Ji Liong merasakan di bagian dada dan lehernya dingin. Ia menyadari itu berasal dari kalong giok berbentuk naga yang ia pakai. Pemuda itu melepasnya dan memeriksa kalung itu.
“Kalung apa ini? Mengapa aku merasa tidak asing.”
Naluri Ji Liong menuntunnya menyalurkan kekuatannya ke dalam giok berbentuk naga itu. Tiba-tiba saja giok itu memancarkan cahaya keemasan terang. Lalu sebagian cahayanya melesat ke langit lalu meluncur ke arah utara, tepatnya di mana Tian Gong Pai berdiri.
Dua orang lelaki berpakaian merah bercampur emas yang sedang berdiri di tanah lapang dekat banguan sekte Istana Langit melihat cahaya keemasan itu. Salah satu dari mereka berucap dengan suara bergetar, “I-itu cahaya Giok Naga ketua Sekte!”
Keduanya pun melesat dengan sangat cepat, ke arah selatan dari tempat mereka. Arah dimana cahaya keemasan itu berasal.
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.K
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.K