Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang.
Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya.
Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.
Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xiu Yan, sekelompok pemuda datang menghampiri mereka. Mereka mulai menggoda Ji Xiu Yan dengan perkataan yang kurang pantas.
Ji Liong yang marah mencoba membela adiknya. Ia maju dengan penuh keyakinan, namun tak lama setelah ia melepaskan satu pukulan, salah satu pemuda tersebut balas memukulnya hingga terjatuh.
"Begini saja sudah tumbang! Pemuda cacat tak berguna!" cemooh salah satu pemuda itu, disusul gelak tawa dari rekan-rekannya.
Ji Liong yang berusaha bangkit menahan sakit di dadanya, menatap mereka dengan penuh amarah. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Ji Xiu Yan yang tak tahan melihat kakaknya dipermalukan, maju dan melancarkan satu jurus cepat yang membuat para pemuda itu terkapar tak berdaya.
Meski Ji Xiu Yan berhasil melindungi harga diri keluarga, perasaan terluka dalam hati Ji Liong tidak hilang begitu saja. Rasa bersalah karena dianggap tak mampu melindungi adiknya semakin menguatkan perasaan rendah diri yang ia rasakan.
Beberapa pekan berlalu, kehidupan di Kim Kiam Pay kembali normal. Namun, luka batin Ji Liong masih basah dan berdarah, meski ia menyembunyikannya dibalik sikap diamnya.
Pada suatu pagi, Ji Bao Oek mengumpulkan beberapa murid utamanya, memberitahu bahwa ia harus pergi ke sebuah pertemuan penting dengan salah seorang pendekar dari Butong. Ia berpesan agar para murid menjaga kediaman perguruan dengan baik selama ia pergi.
"Kim Kiam Pay adalah kehormatan kita. Aku percayakan nama baik perguruan ini kepada kalian selama aku pergi," ujar Ji Bao Oek dengan penuh wibawa.
Ji Bao Oek berangkat dengan tenang, meninggalkan Kim Kiam Pay. Namun, ketenangan itu hanya bertahan satu hari. Di malam harinya, lima sosok misterius bertopeng tiba-tiba muncul di halaman depan Kim Kiam Pay. Mereka melangkah dengan gagah, namun dengan perbawa menakutkan menekan nyali siapa saja yang mereka jumpai.
Salah satu dari mereka, pria bertopeng dengan tubuh tegap, melangkah maju dan bersuara lantang, “Kami menantang murid-murid Kim Kiam Pay untuk bertarung! Taruhannya, papan nama perguruan ini. Kalian kalah, maka Kim Kiam Pay harus segera dimusnahkan. Apakah kalian berani? Kalau tidak berlutut lah semua orang di sini dan ucapkan Kim Kiam Pay hanya sebuah perguruan pedang tak berguna, tak layak dipandang orang.”
Para murid Kim Kiam Pay yang mendengar tantangan itu tampak marah. Namun, beberapa dari mereka menyadari bahwa lawan yang berdiri di depan mereka bukanlah orang sembarangan. Teknik pernapasan dan aura mereka menunjukkan bahwa mereka adalah pendekar tingkat tinggi.
Salah satu murid utama mencoba berunding, “Guru besar kami sedang tidak ada di sini. Datanglah lain waktu jika kalian memang ingin menguji kekuatan kami.”
Namun, pria bertopeng itu menepis tawaran damai tersebut dengan tawa mengejek. “Hilangnya pemimpin kalian justru memperlihatkan kelemahan kalian! Kim Kiam Pay yang dulu disegani kini hanya berisi murid pengecut tak berguna! Jika kalian tak ingin bertarung, cukup lepaskan papan nama perguruan ini, dan berlutut sesuai permintaan kami tadi, setelahnya kami akan pergi.”
Pernyataan itu langsung memicu kemarahan di antara para murid. Ji Liong yang berada di antara mereka merasakan dorongan untuk maju, namun ia teringat pada keterbatasannya. Dengan berat hati, ia menahan diri, membiarkan murid utama lainnya untuk mengambil keputusan.
Mendengar ribut di luar, Ji Xiu Yan muncul dari dalam. “Apa yang terjadi Liong Koko?” tanyanya kepada Ji Liong.
Ji Liong menatap kelompok pria bertopeng itu dengan geram, tetapi menyadari keterbatasannya. Dengan penuh kehati-hatian, ia menjelaskan kepada Ji Xiu Yan apa yang sedang terjadi. Begitu mendengar penjelasan kakaknya, wajah Ji Xiu Yan berubah muram. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju ke tengah halaman, menatap lurus para pria bertopeng dengan sorot mata penuh ketegasan.
“Murid-murid Kim Kiam Pay, pertahankan kehormatan perguruan kita! Kita habisi orang-orang yang berani menghina Kim Kiam Pay!” seru Ji Xiu Yan dengan penuh keberanian.
Murid-murid Kim Kiam Pay yang semula ragu, kini tersulut semangatnya oleh seruan Ji Xiu Yan. Mereka maju bersama-sama, siap melawan lima pria bertopeng yang tampak tak terpengaruh sedikit pun. Perlawanan pun segera pecah di halaman perguruan.
Murid-murid Kim Kiam Pay, meskipun gagah berani, satu per satu mulai tumbang menghadapi serangan brutal lawan mereka. Dalam sekejap, hampir semua murid sudah roboh. Beberapa di antaranya bahkan tewas di tempat, membuat halaman perguruan berubah menjadi lautan darah.
Ji Xiu Yan bertahan sendirian. Tubuhnya penuh dengan luka, namun ia terus berjuang. Dengan sisa-sisa tenaga, ia menyerang lawannya dengan jurus-jurus terakhir yang masih bisa ia keluarkan.
Namun, akhirnya, ia pun terdesak. Satu pukulan keras menghantam tubuhnya, membuatnya terduduk lemah di tanah. Ji Xiu Yan tidak sampai pingsan, namun sudah tidak mampu lagi berdiri.
Dengan nafas tersengal, Ji Liong melihat adiknya yang terluka. Rasa sakit dan marah menggelegak di dalam dadanya. Ia berlari ke arah Ji Xiu Yan, berlutut dan merangkul gadis itu. Ji Xiu Yan berusaha tersenyum di tengah rasa sakitnya, namun senyuman itu tak mampu menyembunyikan betapa lemahnya ia sekarang.
Salah satu pria bertopeng, yang tampak sebagai pemimpin mereka, mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan dengan langkah penuh keangkuhan. Ia menyeringai, dan pandangannya menyapu tubuh Ji Xiu Yan dengan tatapan yang tak menyenangkan.
“Nona cantik, kami memberi waktu sampai ketua kalian kembali,” katanya sambil menyeringai. “Namun, agar kami tidak bosan menunggu, bagaimana jika kau menemani kami malam ini? Kami hanya butuh sedikit hiburan.”
Kata-kata itu membuat Ji Xiu Yan merasakan kengerian yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena sakit, tetapi karena ketakutan akan niat buruk yang jelas terpancar dari pria bertopeng itu. Ji Liong, yang mendengar kata-kata itu, merasa amarahnya meledak. Ia berusaha bangkit, berniat untuk melawan dan melindungi adiknya dari hinaan tersebut.
“Kau bajingan!” Ji Liong berteriak sambil melangkah maju, namun Ji Xiu Yan segera menahannya.
“Liong Koko, jangan…,” bisik Ji Xiu Yan dengan suara lemah. “Kau tidak akan sanggup menghadapi mereka!” lirihnya.
Mata Ji Liong berkaca-kaca. Ia merasa tak berdaya, tak mampu melindungi adiknya yang paling ia sayangi. Ji Xiu Yan memegang erat tangannya, berusaha memberi kekuatan meski ia sendiri terluka parah.
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.K
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu."Dia memang cacat!"Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandan
Malam itu, angin gunung berhembus kencang menerpa puncak tempat berdirinya Tian Gong Pay atau Sekte Istana Langit, sebuah sekte besar yang dikenal anggotanya memiliki ilmu dan kesaktian di atas rata-rata. Bahkan konon kemampuan rata-rata petinggi sekte ini melebihi rata-rata kekuatan ketua sekte enam perguruan besar, Shaolin, Butong, Kunlun, Hwasan, Kongtong, Dan Gobi.Tian Long, ketua sekte ini yang terbilang masih sangat muda dengan usianya 17 tahun, baru saja mewarisi jabatan dari sang Kakek. Kini ia sedang berada di ruang latihan rahasia untuk menyempurnakan ilmu Sian Jie Sin Kang atau Tenaga Sakti Alam Dewa, ilmu tenaga sakti yang konon merupakan ilmu langka yang telah lama punah.Shen Jie Sin Kang hanya pernah dikuasai sempurna oleh pencipta ilmu ini. Selanjutnya para pendekar sakti pewarisnya hanya bisa menguasai paling banyak 2 tingkatan dari 7 tingkatan ilmu langka ini. Itupun sudah seratus tahun berlalu, dan para pendekar tersebut tak ada jejaknya lagi di dunia persilatan.K