Di depan kediaman keluarga Hu, suasana semakin tegang. Ji Bao Oek menatap tajam ke arah Hu Chuan, seolah tak percaya bahwa penghinaan seterang ini bisa keluar dari seorang kepala keluarga besar yang terhormat. Sebelum ia sempat menanggapi, terdengar suara lembut namun tegas dari balik pintu.
"Dia memang cacat!"
Suara itu terdengar tenang, namun menambah bara api dalam hati Ji Bao Oek. Sosok seorang gadis muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian biru muda yang anggun. Rambutnya tergerai panjang, dan parasnya yang cantik serta penuh percaya diri membuat orang-orang sekitar terdiam sejenak. Ia adalah Hu Ling Lian, putri kebanggaan keluarga Hu yang menjadi alasan lamaran ini dilakukan.
“Apa maksudmu, Hu Socia (nona Hu)?” Ji Bao Oek berbicara dengan nada lebih keras. Ia tidak terima putranya dihina, terutama di hadapan keluarga besar Hu dan para muridnya. Nada suaranya mengandung kemarahan yang tertahan, namun wajahnya masih berusaha tenang.
Namun, Hu Ling Lian tetap tenang. Ia memandang Ji Bao Oek dengan sorot mata dingin. “Silakan tanyakan pada putramu sendiri, Paman Ji. Dia pasti bisa menjelaskan apa yang aku maksud.”
Ji Bao Oek tertegun sejenak, namun tatapannya segera beralih kepada Ji Liong, yang berdiri di sisinya dengan wajah tertunduk. Nalurinya merasakan ada yang tidak beres. Ia meraih bahu putranya dan mengguncangnya lembut. “Liong-er, apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan padaku.”
Ji Liong menggigit bibirnya, terlihat ragu, namun akhirnya ia menghela napas berat. Dengan suara pelan yang penuh dengan penyesalan, ia berkata, “Ayah… aku tidak bisa lagi menggunakan ilmu bela diri. Beberapa nadi penting dalam tubuhku… putus. Bahkan untuk menggunakan biasa pun, aku kesulitan.”
Kata-kata itu bagaikan pukulan keras bagi Ji Bao Oek. Ia terdiam, merasakan tubuhnya gemetar. Ia tak menyangka anaknya yang berbakat dan tangguh ini bisa mengalami nasib yang begitu tragis. Ia bahkan tersurut mundur beberapa langkah, memandang putranya dengan sorot mata penuh kesedihan dan kekecewaan.
“Bagaimana bisa…? Siapa yang melakukan ini padamu?” ucapnya.
Sebelum Ji Liong sempat menjawab, suara Pendekar Hu Chuan terdengar dingin. “Apakah aku salah jika membatalkan pernikahan ini, Tuan Ji? Aku tak ingin anakku menghabiskan hidupnya hanya untuk mengurus seseorang yang tak bisa melindunginya, bahkan melindungi dirinya sendiri.”
Kata-kata itu menghantam Ji Bao Oek lebih keras dari serangan apa pun yang pernah ia terima dalam hidupnya. Wajahnya memucat, matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air matanya. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya lebih jauh. Tanpa berkata lagi, ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, memberi isyarat pada para murid dan pengikutnya untuk mengikutinya.
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Ji Liong yang telah menahan emosinya tiba-tiba berteriak dengan suara bergetar, “Aku cacat karena kau, Siauw-moi (adinda)! Mengapa kau begitu tega menghancurkan keluargaku?”
Suara Ji Liong menggema di halaman itu, menarik perhatian semua orang. Hu Ling Lian menatapnya dengan pandangan dingin, seolah tuduhan itu tidak berarti baginya. “Kakak Ji Liong, aku tidak pernah memaksamu melakukannya. Semua kau lakukan dengan sukarela!”
Ji Bao Oek yang mendengar itu tersentak. Ia menoleh dengan tatapan tak percaya, mencari penjelasan dari raut wajah anaknya. “Liong, apa yang sebenarnya terjadi? Jelaskan padaku!”
Sesaat Ji Liong tampak ragu. Ia memandang Hu Ling Lian dan Ji Bao Oek bergantian. Seolah ia ingin mempertegas hatinya, siapa yang harus ia ikuti.
Ji Liong menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya dengan pandangan sedih yang bercampur kecewa. Ia mengalihkan tatapannya dari wajah ayahnya ke arah Hu Chuan. “Paman Hu, Ayah… beberapa hari yang lalu, aku dan Hu moi-moi melakukan latihan bersama. Hu moi-moi mengatakan bahwa ia sedang mempelajari ilmu tenaga sakti langka, ketika ia hampir celaka aku membantunya,”
Ji Bao Oek menyipitkan matanya, mencoba memahami maksud ucapan putranya. Sementara itu, Hu Ling Lian tetap berdiri dengan tatapan yang dingin dan tenang, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.
“Awalnya, aku tidak merasa curiga,” lanjut Ji Liong, suaranya semakin berat. “Hu moi-moi terlihat kesulitan, dan aku pikir menyalurkan sebagian tenaga dalamku akan membantunya. Namun, saat proses itu berlangsung, aku merasakan tenagaku disedot semakin cepat. Dan sebelum aku menyadari, aliran tenaga dalamku terasa seperti terserap sepenuhnya.”
Hu Ling Lian menyeringai kecil, menatap Ji Liong dengan senyum tipis yang membuat suasana di sekitar semakin mencekam.
“Begitu tenagaku habis, aku terjatuh. Nadi-nadi penting di tubuhku seakan tersumbat, dan aku tak bisa mengumpulkan tenaga dalam lagi,” lanjut Ji Liong, suaranya bergetar menahan kemarahan dan rasa sakit. “Aku kira ia akan berbelas kasih, Tapi nyatanya, hari ini… ia dan keluarganya justru mempermalukan kita di depan orang banyak.”
Mendengar pengakuan putranya, Ji Bao Oek merasa dadanya seperti terbakar amarah. Tiba-tiba ia melangkah maju, tinjunya mengepal, wajahnya merah padam. Sorot matanya berubah tajam, memancarkan kebencian dan tekad untuk membalas penghinaan ini.
“Hu Socia!” teriaknya, suaranya menggema di halaman itu. “Kau sungguh gadis tak tahu diri! Setelah mencelakai anakku, kau masih berani berdiri di sini dengan wajah tanpa rasa bersalah?”
Ji Bao Oek mengangkat tangannya, bersiap menyerang Hu Ling Lian. Namun sebelum serangan itu benar-benar dilepaskan, Hu Chuan, ayah Hu Ling Lian, melangkah cepat dan berdiri di depan putrinya, mengangkat satu tangan untuk menghalangi serangan Ji Bao Oek.
“Tuan Ji, jangan bertindak gegabah!” seru Hu Chuan dengan nada tegas. Matanya memandang langsung ke arah Ji Bao Oek, memperingatkan dengan sorot yang penuh ancaman.
Ji Bao Oek berhenti, tapi sorot matanya penuh dendam. “Putrimu telah menghancurkan masa depan putraku! Ini bukan hanya soal harga diri, Hu Chuan, tapi juga keadilan!”
Namun, sebelum Ji Bao Oek sempat melanjutkan kata-katanya, beberapa sosok mulai berdatangan di halaman kediaman keluarga Hu. Mereka adalah orang-orang sakti dan kerabat terdekat Hu Chuan, masing-masing berdiri dengan tenang namun memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan. Mereka semua mengenakan pakaian berbeda, menandakan status mereka sebagai pendekar dari berbagai aliran yang memiliki hubungan baik dengan keluarga Hu.
Ji Bao Oek menyadari bahwa situasinya semakin genting. Meski hatinya membara oleh kemarahan, ia juga tahu bahwa jika pertarungan ini berlanjut, ia tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga para murid serta kedua anaknya yang berada di sini. Mata Ji Bao Oek berkaca-kaca, memandang putranya yang terluka dan menghadapi kenyataan pahit ini. Dengan berat hati, ia merendahkan tangannya yang sudah terangkat.
“Baiklah, Hu Chuan,” katanya dengan suara yang bergetar. “Kau boleh merasa menang hari ini. Tapi ingat, penghinaan ini tak akan aku lupakan!”
Dengan pandangan penuh kebencian, Ji Bao Oek membalikkan badan dan memberi isyarat pada murid-muridnya untuk mengikuti. Para pengikutnya tampak cemas namun tetap setia mengikuti langkahnya meninggalkan halaman kediaman keluarga Hu.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Ji Liong yang berada di belakang rombongan menoleh dan menatap Hu Ling Lian dengan tatapan penuh kesedihan dan kekecewaan. Ia menggelengkan kepalanya pelan, seolah menyadari bahwa cinta dan kepercayaannya selama ini hanyalah angannya belaka.
“Akan kuingat hari ini Hu Socia. Dan kujamin kau akan menyesalinya,” ucap Ji Liong kemudian meninggalkan tempat mengikuti rombongannya. Kemarahan nampak pada dirinya sehingga mengganti panggilan Siauw-moi menjadi Socia.
Setelah peristiwa memalukan di kediaman Pendekar Hu, Ji Bao Oek dan rombongannya kembali ke Kim Kiam Pay. Wajah-wajah muridnya tampak muram, menyiratkan luka batin yang mereka alami. Ji Bao Oek memutuskan untuk tidak lagi membahas kejadian itu, berharap agar perlahan peristiwa itu menghilang dari ingatan semua orang. Namun, harapan itu sirna. Entah siapa yang membocorkan aib mereka, kabar tentang kekalahan dan penghinaan yang diterima dari keluarga Hu menyebar cepat ke seluruh desa Hongye. Kabar tersebut menghancurkan Ji Liong. Setiap kali ia berjalan di sekitar desa, ia harus menghadapi pandangan mengejek dari orang-orang, sering kali diiringi bisikan-bisikan tajam yang menusuk batinnya. Beberapa warga bahkan terang-terangan mengatai dirinya sebagai pemuda yang tak berguna, tak lebih dari sampah. Kata-kata itu berulang kali terngiang dalam pikirannya, seperti racun yang perlahan-lahan merusak harga dirinya.Suatu hari, ketika Ji Liong berjalan di sekitar desa bersama adiknya, Ji Xi
Sosok bertopeng yang tinggi dan berotot mendekati Ji Liong dan Ji Xiu Yan yang tengah terduduk tak berdaya. Wajahnya yang tersembunyi di balik topeng hanya menampilkan sepasang mata tajam yang memancarkan sinar ejekan dan keangkuhan. Bibirnya menyeringai, dan tangannya terulur, nyaris menyentuh wajah Ji Xiu Yan yang pucat karena luka dan kelelahan. Di balik sisa-sisa kekuatannya, Xiu Yan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.Namun, sebelum tangan kotor itu berhasil menyentuhnya, Ji Liong dengan sisa-sisa tenaganya menepisnya sambil melepaskan pukulan yang ditujukan ke wajah pria bertopeng tersebut. Sayangnya, pukulan itu bahkan tidak menggores sedikit pun kulit lawan. Sebaliknya, pria bertopeng itu dengan santai mengayunkan lengan bajunya, menyentil tangan Ji Liong hingga pemuda itu terlempar ke tanah. Ji Liong terjatuh keras, merasa seluruh tubuhnya nyeri dan pandangannya berkunang-kunang.Melihat kakaknya tersungkur dengan mudah, Xiu Yan tidak bisa menahan amarahnya. Dengan sis
Beberapa hari setelah kejadian penyerangan, suasana di Perguruan Pedang Emas masih dibayangi kecemasan. Ji Bao Oek, sang ketua, akhirnya pulang setelah menyelesaikan urusannya di sebuah kota terdekat. Kedatangannya segera disambut dengan wajah lega oleh para murid dan pengurus perguruan. Mereka semua merasa lebih tenang, mengira bahwa kehadiran ketua mereka akan mampu menjaga kedamaian yang sempat terusik.Namun, ketika Ji Bao Oek menuruni tangga aula utama, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Sebelum sempat menanyakan apa yang terjadi, Ji Xiu Yan, putrinya, sudah menghampirinya dengan wajah yang masih pucat. "Thia (ayah)... Kau harus mendengarkan ceritaku. Beberapa waktu lalu kami diserang. Lima orang berilmu tinggi menyerang perguruan ini dan nyaris membuat kami semua tewas."Mendengar hal ini, Ji Bao Oek langsung menajamkan pandangannya. Ia memandang putrinya dengan sorot penuh perhatian, seolah-olah ingin menangkap setiap detail dari cerita yang hendak disampaikan. "Teruskan, Yan-
Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan di kediaman Ji Bao Oek, namun bayang-bayang ancaman masih terasa menggelayuti seisi perguruan Kim Kiam Pay. Para murid senior dan tetua mulai berjaga lebih ketat, senantiasa waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Para pendekar muda yang biasanya berlatih di pelataran utama kini berlatih dalam diam, setiap pukulan mereka mengandung ketegangan yang tak biasa, seolah-olah mereka tengah mempersiapkan diri menghadapi badai yang lebih besar. Di tengah hiruk pikuk persiapan itu, Ji Liong, putra tertua Ji Bao Oek, tampak sering melamun. Tubuhnya hadir di pelataran latihan, namun pikirannya seakan jauh terbang meninggalkan Kim Kiam Pay. Matanya kosong, menatap jauh ke arah gunung dan lembah di kejauhan, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan. Ji Xiu Yan, adik angkatnya, menyaksikan perubahan pada Ji Liong dengan perasaan sedih yang dalam. Di benaknya, ia menduga bahwa kegalauan hati Ji Liong disebabkan oleh kegagalannya memena
Suasana di perguruan Pedang Emas terasa damai, dengan para murid yang sibuk berlatih di lapangan luas yang terbuka. Ji Bao Oek, ketua perguruan, sedang duduk di beranda dekat ruang latihan, matanya memandangi para muridnya yang tengah berlatih dengan tekun. Meskipun cuaca cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi, suasana dalam dirinya tampak tegang, seperti ada yang mengganjal.Suara pelan dari Ji Liong yang berdiri di sampingnya terdengar nyaris tak terdengar, "Ada orang yang datang untuk mengacau."Ji Bao Oek menoleh sejenak. Suara putra angkatnya yang terdengar begitu ringan hampir tak membuatnya merasa waspada. Namun, dengan ketajaman indera yang dimilikinya, ia menatap ke arah pintu gerbang perguruan. Tak ada yang tampak mencurigakan."Apakah kau yakin?" Ji Bao Oek bertanya, sedikit mengernyitkan dahi. "Aku tidak mendengar apa-apa."Namun, meskipun suara Ji Liong pelan, entah mengapa ada ketegangan yang menggelayuti hati Ji Bao Oek. Ia menganggap dirinya lebih berpengalaman, lebih t
Di tengah lapangan, ketegangan terasa begitu mencekam. Mata Yu Lang menyorotkan rasa puas sekaligus angkuh, merasa dirinya lebih unggul. Dengan ilmu dan pengalaman yang jauh melampaui kebanyakan ahli persilatan, terlebih kemampuan seratus tahunnya dalam dunia pedang aliran hitam, ia memandang rendah Ji Bao Oek yang masih berani menantangnya.Ji Bao Oek paham betul betapa berbahayanya Tiga Hantu Pedang Sungai Kuning ini. Ia sudah mendengar kisah bahwa bahkan murid-murid utama aliran Butong sekalipun merasa gentar menghadapi mereka. Namun, demi harga diri Perguruan Pedang Emas dan perlindungan murid-muridnya, ia tak punya pilihan lain. Hatinya menguatkan tekadnya untuk bertahan, apapun yang terjadi.Yu Lang menyeringai, lalu mengangkat pedangnya, menyulut aura pedang tajam yang langsung menyasar ke arah Ji Bao Oek. Hawa pedang yang menakutkan melesat cepat, menghantam bagaikan gelombang badai. Ji Bao Oek mengangkat pedang pusakanya, mencoba menahan kekuatan itu. Namun, sambaran hawa pe
Langit malam menyelimuti perbukitan, membiaskan cahaya bintang yang seolah-olah menyaksikan pertemuan tak terduga di bawahnya. Di hadapan sebuah halaman terpencil Kim Kiam Pay, suasana yang mencekam terasa melingkupi saat tiga sosok berjubah hitam dengan ekspresi tegang berdiri di hadapan sosok berwibawa berpakaian merah, dialah Dewa Pedang. Seorang tokoh misterius dari Sekte Istana Langit dengan jabatannya sebagai Naga Pelindung Utara.Ketiga Hantu Pedang Sungai Kuning, Yu Lang, Guang He, dan San Pu tidak tampak seperti tiga pendekar yang pernah dikenal dunia persilatan. Mereka yang biasa mendatangkan malapetaka dengan senyuman menyeringai kini justru menunduk, keringat dingin mengalir di wajah mereka, sementara tatapan Dewa Pedang mengawasi mereka dengan tajam, memeriksa setiap detik kepatuhan yang mereka tunjukkan.“Dengarkan baik-baik,” suara Dewa Pedang terdengar dalam dan penuh kuasa. “Jika kalian tidak berjanji untuk meninggalkan Kim Kiam Pay dan bersumpah tidak akan mengganggu
Ji Liong menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Thia. Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya,” jawab pemuda itu. “Memang aku merasa seperti dekat dengan orang itu, tapi sama sekali aku tidak bisa mengingatnya.”“Baiklah nak, aku percaya suatu saat kau bisa mengingat dan tahu siapa dirimu sebenarnya. Sebaiknya sekarang kau istirahat! Mungkin dalam waktu dekat, aku akan melakukan perjalanan ke Butong Pai. Aku akan mengajakmu dan Xiu Yan serta, siapa tahu guru besar di sana bisa membantumu.”Kamar Ji Liong tampak sunyi, hanya terdengar deru nafasnya yang teratur di bawah sinar rembulan yang menerobos masuk melalui jendela kayu. Cahaya itu menyorot tepat pada wajahnya yang tampak teduh namun penuh misteri. Ia memejamkan mata, berusaha keras menggapai sekilas bayangan yang melintas dalam benaknya. Sesosok pria bertubuh gagah, berambut panjang, berdiri tegak di atas puncak gunung bersalju, sembari menatap ke arah Ji Liong dengan tatapan penuh arti. Sosok itu tampak mengulurkan tangannya, se
Angin dingin berhembus di puncak pegunungan yang bersebelahan dengan bukit Hoasan. Kabut tipis menyelimuti tempat itu, menciptakan suasana yang suram dan penuh misteri. Ji Liong berdiri tegak di tepi jurang, memandang lurus ke arah bukit Hoasan dengan ekspresi muram. Matanya yang tajam tampak menerawang, seolah mencoba mencari jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang berputar di benaknya.Di belakangnya, empat lelaki berjubah putih berlutut dalam diam. Keempatnya adalah Empat Naga Pelindung Sekte Istana Langit, Tian Gong Pai, sosok-sosok setia kepada Tian Gong Pai, terutapa kepada Ji Liong yang nama aslinya Tian Long itu.. Mereka adalah Naga Pelindung Utara, Timur, Selatan, dan Barat pilar-pilar kekuatan Tian Gong Pai yang selama ini menjaga kehormatan sekte.Keempatnya menundukkan kepala, menunggu perintah Ji Liong. Hanya suara desir angin yang terdengar di antara mereka sebelum akhirnya Ji Liong berbicara."Sepertinya jatuhnya aku ke jurang memang disengaja," ucapnya pelan namun t
Wei Zhiang masih berlutut di hadapan Ji Liong. Matanya menatap lurus ke tanah, sementara tubuhnya sedikit gemetar, entah karena perasaan bersalah atau ketakutan yang belum sirna sepenuhnya. Hening menyelimuti tempat itu sejenak sebelum Ji Liong akhirnya berbicara dengan suara tegas."Berdirilah, Wei Zhiang," perintahnya.Tanpa ragu, Wei Zhiang segera bangkit. Matanya yang tajam kini menatap Ji Liong dengan penuh penghormatan. Ia masih belum sepenuhnya memahami bagaimana pemuda yang tampak biasa ini bisa memancarkan aura yang begitu luar biasa.Ji Liong kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Huan Sie Ji yang masih terduduk lemah. "Lam Juan, amankan dia. Kita lihat bagaimana dia masih bisa berpura-pura."Lam Juan mengangguk dan segera melangkah mendekati Huan Sie Ji. Namun, saat tangannya hendak menyentuh bahu pria tua itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.Tatapan Huan Sie Ji yang sebelumnya redup kini berubah tajam. Seketika, hawa membunuh yang sangat kuat meledak dari tubuhnya. La
Huan Sie Ji terduduk lemas, nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa begitu berat. Pedang di tangannya mulai goyah, matanya nanar menatap musuh-musuhnya yang masih mengepung dengan senyum kemenangan di wajah mereka. Racun Perampas Jiwa benar-benar telah menggerogoti kekuatannya, bahkan untuk sekadar berdiri pun kini ia kesulitan.Pria dengan bekas luka itu semakin mendekat, pedang besarnya terangkat tinggi. "Sudah waktunya mengakhiri ini, tua bangka!" serunya dengan nada penuh kemenangan.Huan Sie Ji hanya bisa pasrah, ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Ia melirik Ji Liong dan Lam Juan yang masih tak sadarkan diri. Hatinya terasa perih, tetapi ia tidak menyesali keputusannya untuk tetap bertarung. Ia hanya berharap keajaiban datang untuk menyelamatkan mereka.Tiba-tiba, sebelum pedang besar itu menghantamnya, terdengar suara ledakan dahsyat! Tanah bergetar hebat, gelombang angin kuat melesat ke segala arah. Pria bekas luka itu terhempas ke udara bersama anak buahny
Malam sudah larut, hanya suara binatang malam yang terdengar samar di kejauhan. Api unggun perlahan mengecil, hanya menyisakan bara yang memancarkan cahaya redup. Huan Sie Ji duduk bersila, matanya terpejam tetapi indranya tetap tajam, merasakan setiap gerakan di sekitar mereka. Angin dingin dari puncak gunung berhembus lembut, membawa aroma lembah yang segar. Namun, tiba-tiba, naluri Huan Sie Ji terusik. Ia mendengar suara langkah halus yang datang dari kejauhan, nyaris tidak terdengar oleh telinga biasa.“Ada sesuatu yang tidak beres,” pikirnya sambil mengatur nafasnya, bersiap untuk segala kemungkinan.Perlahan, ia membuka matanya dan merasakan pergerakan energi asing yang mendekat. Ia segera bersiaga, mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam agar tidak terdeteksi. Namun, sebelum ia sempat melakukan sesuatu, asap tebal mulai menyelimuti tempat itu. Asap itu berwarna keabu-abuan, dengan bau aneh yang membuat napas terasa berat. Huan Sie Ji langsung menutup hidung dan mulutnya
Patung Dewa Langit mulai bergetar, dan retakan-retakan muncul di permukaannya. Ji Liong segera melompat turun untuk menghindari bahaya. Saat ia mendarat, patung itu terbelah menjadi dua bagian, memperlihatkan sebuah terowongan besar di dalamnya.Lam Juan dan Huan Sie Ji mendekati Ji Liong dengan ekspresi takjub. “Ketua, kau berhasil!” seru Lam Juan.“Mari kita lihat apa yang ada di dalam terowongan ini,” kata Ji Liong sambil memimpin jalan masuk ke dalam terowongan.Di dalam terowongan, mereka menemukan tangga spiral yang terbuat dari batu. Tangga itu terlihat tua, tetapi masih kokoh. Cahaya samar dari kristal di dinding terowongan membantu mereka melihat jalan. Mereka mulai menaiki tangga dengan hati-hati, suara langkah kaki mereka bergema di ruang sempit itu.Setelah beberapa saat, mereka mencapai ujung tangga. Di sana, mereka menemukan sebuah pintu besar yang terbuat dari batu dengan ukiran-ukiran kuno di permukaannya. Ji Liong menyentuh pintu itu, merasakan energi yang mengalir me
Ji Liong menoleh dan melihat bayangan besar yang bergerak mendekati mereka dengan cepat. Ular itu memiliki tubuh yang sangat besar, dengan sisik hitam mengkilap yang memantulkan cahaya samar dari pedang yang dibawa Ji Liong. Mata ular itu bersinar merah, penuh dengan kebencian dan kekuatan yang mengintimidasi.Lam Juan dan Huan Sie Ji berenang sekuat tenaga menuju permukaan, sementara Ji Liong tetap berada di belakang, memegang Pedang Dewa Langit dengan erat. Ketika ular itu semakin dekat, Ji Liong mengarahkan pedangnya, mengerahkan Sian Jie Sin Kang untuk menciptakan penghalang energi di sekitar mereka.Ular raksasa itu menyerang dengan kecepatan luar biasa, membuka mulutnya yang dipenuhi taring tajam. Namun, energi dari pedang itu menciptakan gelombang yang menghentikan serangan ular tersebut. Ular itu tampak terguncang, tetapi tidak menyerah. Ia melingkarkan tubuhnya, mencoba mengepung Ji Liong dan menghancurkan penghalang energinya.Ji Liong menyadari bahwa waktu mereka terbatas.
Lam Juan memimpin jalan dengan langkah cepat dibawah bimbingan Huan Si Jie. Sementara Ji Liong mengikutinya dengan hati-hati. Di tengah gelapnya gua yang semakin dalam, udara menjadi lebih dingin dan lembap. Suara tetesan air yang jatuh dari dinding gua memecah keheningan, menambah nuansa misteri di tempat itu.“Ketua, kita akan menuju tempat yang lebih dalam,” ujar Lam Juan sambil menoleh ke arah Ji Liong. “Ada sebuah jalan menuju danau tersembunyi. Namun, kita harus menyelam untuk melewati jalan terakhir.”Ji Liong mengerutkan kening, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia terus melangkah, memperhatikan setiap sudut gua yang semakin gelap dan menyesakkan. Sementara itu, Huan Sie Ji berjalan di belakang, tatapannya tenang tetapi penuh kewaspadaan.Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruang besar dalam gua. Cahaya remang dari bebatuan yang bersinar samar-samar memperlihatkan sebuah danau yang luas. Permukaannya tenang, namun kegelapan airnya menyiratkan sesuatu yang misterius.
Ji Liong mengikuti langkah Lam Juan, menyusuri jalan setapak yang curam di antara tebing-tebing tinggi. Hawa dingin semakin menusuk, membuat suasana terasa semakin mencekam. Lam Juan berjalan cepat, sesekali menoleh untuk memastikan Ji Liong mengikutinya.Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon dan batu besar. Lam Juan berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum berkata, "Masuklah, Ketua. Di sini kita akan lebih aman." Ji Liong melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap. Namun, begitu ia memasuki bagian yang lebih dalam, sebuah pemandangan mengejutkan menyambutnya. Di sudut gua, seorang pria tua berpakaian putih duduk bersila. Pakaian pria itu compang-camping, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, namun matanya masih menyiratkan semangat yang tidak padam."Ketua, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang mungkin akan menarik perhatian Anda," ujar Lam Juan dengan nada hormat. Ia membungkuk sedikit ke arah pria tua itu.
Ji Liong menatap pria tua berjubah hitam itu dengan sorot mata tajam. Nafasnya masih teratur meski benturan tenaga sebelumnya cukup keras, namun ita tak merasakannya. Ia melangkah maju, tangannya bersatu di depan dada, lalu ia berkata dengan nada merendah, "Cianpwe, mohon maaf jika tindakan saya barusan terlalu kasar. Saya hanya membela diri dari serangan Anda yang begitu mendesak."Pria tua itu mendengus, wajahnya merah padam karena amarah. Ia tidak menjawab, namun energi yang terpancar dari tubuhnya meningkat tajam. Jiwa sinis di matanya kian menyala, menandakan bahwa ia belum puas."Anak muda, kau terlalu congkak! Tenaga saktimu memang mengejutkan, tapi aku belum menunjukkan seluruh kemampuanku!" Pria itu menggeram, lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, mengerahkan tiga perempat tenaga saktinya ke arah Ji Liong.Gelombang udara di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Ji Liong dengan sigap mengalirkan tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan, menyambut serangan tersebut d