POV ARMAN
Sial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.
Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.
Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.
“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.
“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.
“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.
“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”
Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.
“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”
Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan amplop kepadaku. Segera membukanya perlahan. Dan betapa terkejutnya saat melihat nilai yang tertera di sana. Sembilan juta delapan ratus ribu rupiah.
“Besar sekali. Kenapa kau tak pernah meminta kepadaku?” tanyaku kepada Khanza. Namun dia tak menjawab sepatah katapun dan memilih pergi dari hadapanku.
“Sialan. Gue dikacangin nih!” gerutuku dengan kesal.
“Kau temui Tiara dan tunggu di mobil! Aku mau melunasi tagihan dulu!” teriakku kepada Khanza. Tetap saja dia tak peduli dengan teriakanku. Biarlah. Toh dia tidak budek dan pasti mendengar ucapanku.
***
Aku mengantar Tiara ke rumah. Mantan istriku sudah menunggu di teras dengan wajah yang terlihat murung. Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.
Aku menggandeng Tiara dan mendekat ke arahnya.
“Mamah!” Tiara berlari ke arah Khanza dan memeluknya.
“Hai, Sayang!” Khanza tersenyum dan membalas pelukan putrinya erat. Beberapa saat kemudian, Khanza melonggarkan pelukan. Lalu menatap Tiara dengan penuh cinta.
“Sekarang ganti baju dulu ya sama nenek. Mamah mau bicara sebentar sama Papah!” Khanza mengelus rambut Tiata yang terbungkus jilbab.
“Oke, Mah. Dah papah!” Tiara tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku.
Aku memberikan kiss bye untuk putriku yang terlihat semakin menggemaskan. Penyesalan kembali hadir karena sudah menyia-nyiakan darah dagingku selama ini.
Kini hanya ada aku dan Khanza. Entah apa yang akan dibicarakannya denganku. Wanita cantik itu terdiam. Lebih baik aku saja yang memulai terlebih dahulu.
“Kau mau bicara denganku?” tanyaku dengan telunjuk mengarah ke dadaku.
“Iya!” jawab khanza singkat dan ketus.
“Kalau begitu, aku boleh masuk ke rumah dong!” tanyaku dengan penuh percaya diri. Aku sangat yakin. Khanza pasti mulai luluh dan mau menerimaku kembali. Apa yang aku lakukan tadi pasti membuatnya trenyuh.
Namanya juga perempuan. Kalau sudah masalah duit pasti luluh juga.
“Tidak perlu! Kita bicara di sini saja!” jawab khanza singkat dan sangat membuatku terkejut.
“Loh kenapa?!” jawaban wanita di hadapanku seketika menghancurkan mood baikku.
“Aku tidak suka berbasa-basi denganmu. Apalagi menawari kopi. Aku hanya mau bilang, terima kasih karena kau sudah melunasi biaya sekolah Tiara!”
“Oh kalau itu sih .... “
“Walau itu memang kewajibanmu! Dan aku bejanji akan segera menggantinya!”
“Tidak perlu Khanza. Tiara’kan tanggung jawabku. Kau tak perlu menggantinya!”
“Karena aku sangat tahu sifatmu, Mas. Kau pasti punya tujuan tertentu. Dan aku tak mau kau memintaku untuk membalas budi dengan cara lain!”
“Khanza, kau terlalu berburuk sangka kepadaku!” jawabku dengan santai. Rupanya dia pandai membaca isi kepalaku.
“Cukup, Mas! Sekarang tolong pergilah!” Khanza membalikkan badan dan pergi meninggalkanku.
Kali ini aku tak boleh kehilangan kesempatan lagi. Aku harus berusaha hingga titik terakhir.
“Tunggu, Khanza! Aku masih terus menunggu jawabanmu! Dan pikirkan kembali demi kebaikan Tiara!” aku berteriak supaya Khanza mendengar ucapanku.
Dan benar saja saat hendak membuka pintu, dia membalikkan badan dan menatap ke arahku. Hal itu tentu saja membuat harapanku kembali bangkit. Aku yakin dia takkan mengecewakanku.
“Jawabanku tetap sama! Aku tidak mau apapun alasannya!”
Brakk. Khanza membanting pintu dengan keras hingga membuatku terjengkit. Jawaban yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku pikir dia sudah mulai luluh. Namun kenyatannya, apa yang kulakukan tetap saja tak bisa membuatnya luluh.
“Hach!” aku menendang rerumputan. Aku harus mencari cara lain untuk kembali mendapatkan Khnaza.
“Akan kupastikan kau akan kembali menjadi milikku dan bertekuk lutut di hadapanku!” teriakku seperti orang gila. Aku bahkan tak peduli dengan orang yang berlalu lalang melihat ke arahku. Biar saja mereka menganggap aku tidak waras. Aku tak peduli.
Mendengkus kesal dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Dada rasanya seperti di timpa benda yang sangat berat. Sangat sesak.
“Aku paling tidak suka dengan penolakan apapun alasannya. Aku takkan menyerah! Suatu saat nanti kau harus menjadi milikku, Khanza! Haach!!” memukul kemudi dengan keras. Semua keadaan ini membuatku muak.
***
POV KHANZA
Hari minggu ini aku sangat santai. Sejenak ingin memanjakan bunga yang berada di halaman dengan menyiram dan merawatnya. Tumben banget hari ini Mas Arman tidak mengajak Tiara bermain. Biasanya setiap minggu dia pasti menjemput Tiara. Mudah-mudahan saja dia sudah bosan dengan segala kepura-puraannya.
Tin. Tin.
Aku dikejutkan oleh suara klakson mobil. Tatapan mataku berpindah ke arah mobil yang baru saja memasuki halaman.
Aku mendengkus kesal saat melihat mobil siapa yang datang. Baru saja aku bisa bernapas lega karena dia tidak datang, tapi kenapa dalam hitungan detik batang hidungnya harus muncul lagi di hadapanku.
“Huch, dasar menyebalkan!” aku memukul tanah yang tidak bersalah dan menjadi pelampiasan amarahku.
“Assalamu’alaikum, Khanza!”
Hampir saja aku menyemprotnya. Namun ketika aku mendengar dia mengucapkan salam, membuatku mengurungkan niat. Tumben sekali dia mengucapkan salam. Padahal biasanya dia say hello atau apalah.
Dengan sedikit menahan kekesalan, aku bangkit dan menatap tajam ke arah pria yang sangat kubenci.
“Mau apa kamu? Tiara lagi keluar rumah bersama neneknya!”
“Sabar sedikit ngapa. Tapi kamu kalau marah tambah cantik, lo!”
Huek, aku merasa mual dengan gombalan pria menjijikkan itu.
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke