“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.
“Ayo, peluk Mamah, Nak!”
“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.
“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.
“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.
“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.
“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.
“Tapi .... “
Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.
“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”
“Kenapa mamah gak ikut sama kami? Tiara ingin kita seperti dulu lagi. Papah’kan belum meningal jadi kita bisa tinggal di rumah Papah lagi. Ayo, Mah, kita pulang ke rumah Papah!” Tiara merajuk sembari menggoyang-goyangkan tanganku.
“Tiara. Dengerin Mamah, Nak. Kita tidak bisa pulang ke rumah Papah lagi. Karena .... “
“Tapi kenapa, Mah?”
“Pokoknya kalau Mamah bilang gak bisa, ya gak bisa. Tiara harus nurut sama mamah!” ucapku penuh penegasan. Aku tak bisa menjelaskannya untuk saat ini. Tapi suatu saat nanti dia pasti akan tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya.
“Sekarang kamu masuk!”
“Mamah jahat!”
Tiara menangis dan berlari masuk ke dalam rumah. Sebenarnya tak tega melihatnya menangis. Namun semua ini aku lakukan demi kebaikannya.
Sejenak melirik ke arah Mas Arman dengan kesal dan ingin memakinya. Namun saat pandangan kami bersirobok, mulutku tak mampu mengucap kata. Tatapan matanya seolah menyihirku. Aku akui mas Arman adalah satu-satunya pria yang pernah mengisi hari-hariku. Dia pria pertama yang membuatku jatuh cinta. Dan aku pikir dia juga pria terakhir dalam hidupku. Namun takdir berkehendak lain. Sekarang dia sudah menjadi milik wanita lain.
Aku tak ingin larut dalam masa lalu. Lebih baik aku masuk tanpa menyapanya.
“Khanza! Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Arman dengan lembut. Dan anehnya saat mendengar suara itu membuat debaran jantung menguat. Aku harus bisa mengendalikan diri. Lebih baik menolak keinginannya.
“Maaf, aku sibuk!” jawabku singkat.
“Hanya lima menit saja, aku meminta waktumu, demi Tiara!”
Mas Arman sangat tahu kelemahanku. Kalau sudah menyangkut masalah anak, aku pasti takkan bisa menolaknya.
“Oke, hanya lima menit!” ucapku dengan singkat tanpa menoleh ke arahnya.
“Boleh aku duduk?”
“Silakan! Tapi kopi sedang habis!” jawabku dengan kesal sembari menghempaskan tubuh pada kursi kayu yang berada di teras rumah.
“Tenanglah. Aku tidak akan meminta kopi, walaupun aku sangat menyukai kopi buatanmu.” Mas Arman menarik napas panjang sebelum memulai pembicaraan.
“Tiara tadi berbicara, bahwa dia sangat merindukan kebersaman dengan kita. Dan dia mau kalau bisa tinggal satu rumah lagi. Dan ... aku juga sangat merindukan saat-saat itu. Bagaimana menurutmu?”
Aku sangat terkejut mendengar ucapannya. Sama sekali tak menyangka kalau Mas Arman akan mengatakan hal ini.
“Apa maksudmu? tolong katakan dengan jelas!” tanyaku dengan suara bergetar. Entah apa yang aku rasakan saat ini. emosi, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Bisa-bisanya dia bicara tanpa berpikir panjang.
“Oke, aku paling tidak suka basa-basi. Aku ingin kita rujuk. Semua ini demi kebaikan Tiara!”
Aku sangat terkejut mendengar jawabannya. Walaupun aku sudah mengerti ke mana arah ucapannya.
“Kau bilang apa? rujuk?!” tanyaku dengan menaikkan nada satu oktaf
“Iya! Kenapa?”
“Apa kamu lupa kalau kau sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku?! Itu artinya kita sulit untuk rujuk! Dan aku juga belum bisa melupakan penghianatan dan juga penghinaanmu!”
“Oke, aku minta maaf untuk itu. Tapi apa kamu tidak memikirkan keadaan Tiara yang tumbuh tanpa keluarga yang harmonis?”
“Seharusnya kau tanyakan itu pada dirimu sendiri! Kau lah penyebab semua ini, Mas!” pria di hadapanku ini semakin membuatku meradang.
“Khanza! Aku tidak ingin ribut denganmu. Namun setidaknya pikirkan baik-baik permintaanku. Aku juga akan mencari informasi tentang cara rujuk setelah talak tiga. Aku pamit dulu. Dan tolong pikirkan kembali demi Tiara!”
Mas Arman pergi begitu saja tanpa peduli dengan perasaanku. Begitu mudahnya dia menyuruhku pergi dari hidupnya dan kembali lagi dengan seenaknya. Dasar manusia tak punya hati dan egois.
***
“Tiara, Ayo makan dulu, Nak!” aku menyuapi putriku yang mogok makan. Seharian ini gadis kecilku selalu menangis dan ingin bertemu papahnya. Namun aku tak memenuhi keinginannya hingga membuatnya tak mau makan.
“Tiara gak mau makan! Tiara mau Papah! Titik!” ucapnya sambil berlari menuju kamarnya.
Aku menarik napas. Benar-benar tak mengerti apa yang harus aku lakukan. Semua ini gara-gara Mas Arman. Kalau saja dia tak datang menemui Tiara, semua ini takkan terjadi.
Namun aku juga mengkhawatirkan keadaannya. Kalau dia tetap mogok makan, bisa-bisa putriku jatuh sakit.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nomor tak dikenal muncul pada layar. Segera mengusap tombol berwarna hijau.
“Hallo, Assalamu’alaikmu. Dengan siapa ini?”
“Aku Arman. Aku ada di depan rumahmu!”
Seketika aku menoleh ke arah pintu. Beraninya dia datang ke sini lagi. Dengan kesal aku mematikan sambungan telepon dan melangkah ke arah pintu. Dada ini sudah tak tahan ingin meluapkan amarah.
Kubuka pintu dengan kasar dan berniat untuk memakinya. Namun aku mengurungkan niat saat melihat Mas Arman membawa boneka dan mainan untuk Tiara.
“Mas, aku mohon jangan datang ke sini lagi!“
“Aku datang untuk Tiara. Tolong, ijinkan aku bertemu dengannya!” mantan suamiku itu berbicara begitu lembut. Dia terlihat sangat sopan. Hal ini tentu saja membuat hatiku luluh.
“Papah!” Suara teriakan putriku cukup mengagetkan. Dari mana tahu kalau papahnya datang. Dan aku tak bisa melarangnya saat keduanya berpelukan dan melepas rindu. Tiara bahkan menyuruh papahnya masuk ke kamarnya tanpa menyapaku. Ya Alloh, semua pengorbananku sia-sia dengan kehadirannya.
Sudahlah, aku harus ikhlas. Bagaimanapun Tiara juga membutuhkan papahnya. Semoga saja dia berhenti mogok makan.
***
Cukup lama aku menunggu keduanya melepas rindu. Celoteh dan canda tawa putriku terdengar hingga keluar. Aku tahu putriku sangat bahagia. Setelah sekian lama aku kembali bisa mendengar putriku tertawa lepas. Rasanya aku juga ikut bahagia.
“Khanza!”
“Astaghfirulloh hal’adzim!” aku sangat terkejut saat mendengar suara Mas Arman.
“Tiara mana?’
“Sedang tidur. Oh, ya, boleh duduk sebentar?”
“Silakan!”
“Bagaimana, apa kau sudah punya jawaban atas permintaanku?”
Aku membisu dan hanya menarik napas panjang. Rasanya sangat berat untuk mengambil keputusan. Aku tak bisa main-main dalam keputusan ini karena menyangkut keluarga besar. Aku juga harus menikah terlebih dahulu dengan pria lain. Rasanya sangat sulit jalan rujuk yang akan kami tempuh.
“Boleh aku jujur?”
“Silakan!”
“Sebenarnya aku tidak ingin kembali padamu. Penghianatanmu masih sangat membekas dalam hatiku.” Kelopak mata mulai memanas. Sekuat apapun menahan airmata cairan hangat tetap mengalir deras membasahi pipi. Hatiku sangat terluka kala mengingat apa yang sudah dilakukannya terhadapku.
Bukan hanya satu wanita, tapi beberapa wanita sudah pernah dikencani oleh mas Arman. Rasanya hati ini sudah tak sanggup menanggung rasa pedih dalam dada.
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me