“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.
“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.
“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”
“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”
“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.
“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”
“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak memikirkan nasib anak kita? Kasihan dia!”
“Justru karena demi Tiara, aku masih memberikan pilihan kepadamu! Kalau bukan karena dia sudah aku ceraikan kamu!”
Mas Arman mengambil kunci mobil dan pergi dari rumah. Dengan susah payah aku membujuknya, tetap saja dia pergi. Pasti ke tempat perempuan yang sudah menghancurkan pernikahanku.
Aku bersandar pada pintu. Perlahan, menjatuhkan tubuh ke lantai bersama deraian air mata. Aku menangis meratapi kemalangan nasibku. Apa aku tak ada artinya di hadapannya, sehingga dengan mudahnya dia menceraikan aku lalu dengan mudah pula meminta rujuk kembali.
Selama ini aku bertahan demi putri semata wayangku. Kalau bukan karena dia, aku sudah tak ingin disakiti terus menerus seperti ini.
“Aku tidak kuat lagi ya, Alloh. Sampai kapan aku harus bertahan. Demi anakku. Apa yang harus kulakukan? Aku tak sudi untuk di madu!”
Semakin aku mengingat putri semata wayangku, semakin hati ini tersayat. Haruskah dia berkembang tanpa seorang ayah yang mendampinginya. Ataukah harus selalu melihat ayahnya menyakiti ibunya. Aku tak tahu apa yang harus kuputuskan.
***
Tok tok tok. Suara ketuk palu hakim seketika meruntuhkan jiwa. Sekuat apapun menahan tangis, airmata tetap mengalir dengan deras. Hati ini luluh lantak bak di terjang air bah. Rasanya sudah tak ada artinya hidupku ini. Tega sekali Mas Arman menyakiti dan terasa menusuk hingga tulang dan persendian.
Ini kali ketiga kami bertemu di persidangan. Dua kali Mas Arman menjatuhkan talak kepadaku. Namun semua kondisi masih bisa diperbaiki hingga kami berdua memutuskan untuk rujuk demi anak semata wayang kami. Tapi ini yang ketiga kalinya dia menjatuhkan talak. Artinya sudah tertutup jalan untuk kami bersama. Musnah sudah impian yang sudah kami renda selama lima tahun.
Dadaku naik turun tak beraturan menahan sesak. Sangat berbeda dengan Mas Arman. Dia tersenyum sinis sembari menatap ke arahku. Aku tak tahu persis apa arti senyuman itu. Yang pasti dia sudah merasa menang.
Aku harus menguatkan diri. Tak boleh terlihat lemah di mata pria yang masih sangat aku sayangi. Menghapus air mata dan mencoba mencari jalan keluar. Namun tak kusangaka, Mas Arman berdiri di hadapan untuk menghentikan langkahku.
Pria itu melipat kedua tangan di dada dan menatap ke arahku.
“Kau tahu’kan aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku! Kalau kau setuju aku menikahi Mayang, kau takkan aku ceraikan! Kamu pikir enak jadi janda yang tak punya penghasilan!” jangan nyesel karena kamu akan menjadi orang miskin. Aku takkan memberimu sepeser uang sebagai pelajaran untukmu!”
Dadaku bergemuruh. Semudah itu dia mengucapkan kalimat yang menusuk hati. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya dengan tajam untuk membalas ucapannya yang sangat pedas.
“Dengar, mas! Aku tidak butuh apapun darimu. Kalau aku meginginkan hartamu, aku pasti menggugat harta gono-gini. Tapi aku tidak melakukannya! Aku hanya membutuhkan hak asuh Tiara. Dan sebagai kompensasinya, aku tak meminta hartamu sedikitpun!”
“Hach! Sombong sekali kamu! Oh ya. Apa kau menginginkan salam perpisahan dariku? Kemarilah! Aku akan memberikan pelukan hangat dan juga ciuman untuk yang terakhir kalinya. Kau pasti mengharapkan itu’kan?”
Mas Arman melebarkan tangannya dan membuatku kesal. Lelaki itu benar-benar akan memelukku. Aku takkan membiarkannya
Plaak. Satu tamparan keras mendarat di pipinya. “Aku takkan membiarkan kau menyentuhku dengan tangan kotormu itu!”
“Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau menamparkan calon suamiku!”
Dalam sekejap, si pelakor sudah berdiri di hadapanku dengan dan bersiap untuk melayangkan tangannya ke arahku. Untung saja aku sigap menepis tangannya dengan kasar.
“Kau memang pantas bersanding dengan lelaki pengecut seperti dia!”
“Jaga ucapan kamu! Aku sudah membuktikan ucapanku, kalau akulah yang akan menjadi pemenangnya! Akulah yang akan menyingkirkanmu dari kehidupan suamimu! Dia lebih memilihku dari pada kamu!” ucap si pelakor dengan menunjukku sangat tidak sopan. Tentu saja hal itu membuatku kesal.
“Aku tidak pernah menyesal karena sudah melakukan hal yang tepat. Membuang sampah pada tempatnya! Aku juga kasihan padamu kalau selama ini hanya menjadi tempat untuk membuang lendir yang menjijikan dari Dia!” amarahku sudah tak terkontrol lagi.Toh Arman sekarang bukan suamiku. Jadi aku sudah tak perlu menghormatinya lagi.
Aku melihat wajah si pelakor itu memerah dan terlihat sangat marah. Aku sudah siap untuk meladeni amarahnya.
Benar saja, tangan wanita itu mulai terangkat tinggi hendak menamparku. Dengan sigap aku menagkap tangannya dan sedikit memelintirnya.
“Aw!” pekik si pelakor.
“Jangan pernah menggangu kehidupanku lagi! Mengerti kamu!”
Aku melangkah dengan tergesa. Meningglkan sampah yang memang sudah semestinya aku buang. Selamat tinggal Mas Arman. Aku akan melupakanmu untuk selamanya.
***
Mutiara Annisa, putri kecilku yang berusia tujuh tahun, kini sudah tumbuh menjadi anak yang pandai. Dua tahun sudah anak itu kehilangan sosok ayahnya. Jangankan nafkah untuk putriku, menjenguknya saja tak pernah. Mas Arman hilang bak ditelan bumi. Aku membanting tulang demi kelangsungan hidup kami. Untung saja ibu menyerahkan urusan toko materialnya kepadaku hingga aku mampu menghidupi Tiara.
“Aw!” tiba-tiba tanpa sengaja aku menabrak seseorang hingga membuat kantong plastik yang beisi obat jatuh berserakan.
“Maaf!” ucap pria yang memakai jas putih sembari mengambil obat yang berceceran di lantai. Sepertinya pria tersebut salah satu dokter di rumah sakit ini.
“Tidak apa-apa,” jawabku singkat.
“Sekali lagi saya minta maaf,” ucap pria tersebut dengan ramah sembari memberikan obat kepadaku. Kemudian berjalan dengan tergesa bersama seorang perawat.
Tanpa sengaja, tangannya menyentuh tanganku hingga membuat aliran darahku seperti berhenti sesaat. Walau dia seorang pria tapi tangannya halus sekali. Dan aku seperti tak asing dengannya.
“Sepertinya dia dokter yang membantu persalinanku dulu,” ucapku sembari berpikir.
“Khanza!” aku tersentak saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Rasanya tidak asing dengan suaranya. Karena penasaran, aku segera menoleh dan sangat terkejut saat tahu siapa yang baru saja menepuk bahuku. Bola mata membulat sempurna dan tanpa sadar mulutku menganga lebar.
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj