“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.
“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya.
“Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.
‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.
Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.
Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.
“Boleh aku duduk?”
Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.
Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk di sampingku tanpa ijin.
Dari pada kekesalanku memuncak, lebih baik aku pergi saja.
‘Tunggu, Khanza! Apa bisa kita berdamai seperti dulu?”
Tawaran yang membuat amarahku mencapai ubun=ubun. Dengan mudahnya dia berkata seperti itu.
“Apa kamu bilang? Berdamai? Berdamai seperti apa?”
“Terserah kau mau mengartikan seperti apa. Tapi aku hanya rindu pada Tiara!”
“Kau rindu padanya? Kenapa baru sekarang! Dua tahun lalu, kamu ke mana saja! Apa kamu peduli saat Tiara sakit karena merindukanmu? Tidak’kan! kau malah asik dengan perempuan itu!”
“Oke, aku akui kalau aku salah! Tapi tetap saja aku papahnya. Jadi aku berhak untuk bertemu dengannya! Aku akan menjemputnya ke sekolah. Permisi!”
“Tunggu, Mas! Mas!”
Mas Arman pergi begitu saja. Dia benar-benar membuatku takut kalau sampai membawa Tiara pergi dariku. Aku tak bisa hidup tanpa anakku. Aku tak boleh mengalah lagi.
Segera mengambil sepeda motor dan menuju sekolah putriku.
***
Saat tiba di sekolah Tiara, jantungku nyaris berhenti mendadak saat melihat pemandangan yang membuat darahku mendidih.
“Astaghfirulloh hal’adzim!” aku melihat Tiara sedang memeluk Mas Arman.
Tubuhku gemetar. Yang aku takutkan menjadi kenyataan. Mungkinkah Mas Arman akan membawa Tiara bersamanya. Tidak, aku tak mau itu terjadi.
‘Tiara!” aku berlari dengan cepat menuju ke arah mereka.
“Mah! Ini Papah, Mah! Papah tidak meninggal dan sekarang datang untuk menjemputku!” gadis kecilku terlihat sangat bahagia. Dia bahkan tak melepas pelukannya. Tangan mungilnya begitu erat merangkul Mas Arman seolah tak mau terpisahkan. Wajahnya berbinar ceria. Senyum indah yang terukir di bibirnya sangat aku rindukan. Sudah lama tak ada senyum manis yang tercipta dari bibir mungilnya.
Aku tak tega untuk menggangunya. Lebih baik aku berdiam diri. Mataku terasa panas. Dan tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi. Tangis antara sedih dan bahagia.
Bahagia karena kerinduan putriku kepada papahnya sudah terobati. Sedih karena setelah ini pasti ada yang harus terpisah. Entah aku atau Mas Arman.
Pasti putriku akan bertanya kenapa kami harus tinggal terpisah. Selama ini aku mengatakan kalau ayahnya telah tiada. Aku berdosa sudah membohonginya, karena aku tak tahu harus menjawab apa lagi saat Tiara bertanya tentang papahnya.
Dulu Mas Arman memang sangat menyayangi Tiara. Selalu memberikan hadiah dan juga meluangkan waktu untuk Tiara. Namun sejak kehadiran wanita itu, semua berubah. Mas Arman menjadi jarang pulang ke rumah.
“Sayang, boleh Papah bicara dengan Mamah sebentar?”
“Iya, Pah!” Tiara melepas pelukan papahnya. Dan kini Mas Arman melangkah menuju ke arahku.
“Kenapa kau berbohong kepada Tiara?” tanya Mas Arman dengan suara pelan..
‘Maksudmu?”
“Seharusnya kau tak bilang kalau aku sudah tiada! Tega sekali kamu!”
‘Lalu aku harus menjawab apa saat Tiara bertanya tentang kamu? kau sendiri tak pernah berusaha menemui Tiara. Jadi jangan hanya menyalahkan diriku! Kau juga salah!” jawabku tak mau kalah.
“Percuma bicara sama kamu!”
Kami terdiam sejenak. Aku sendiri tak bisa membaca jalan pikiran mantan suamiku. Yang jelas dia pasti sedang mencari cara untuk bisa membawa Tiara.
“Khanza! Aku mau mengajak Tiara jalan-jalan!”
“Hanya itu’kan?” tanyaku dengan cemas.
“Tidak! Setelah itu, aku akan mengajaknya menginap di rumahku!” jawab Mas Arman santai. Namun hal itu membuatku sangat terkejut.
“Tidak! kalau hanya sekedar jalan-jalan, silakan saja! Tapi aku tidak setuju kalau kau membawa Tiara tinggal bersama perempuan itu!”
“Lalu bagaimana supaya aku bisa besama Tiara? Apa kita harus rujuk lagi seperti dulu. Itu maumu?”
Wajahku memanas saat mendengar ucapannya. Dia sama saja sudah melecehkaku.
“Jaga bicaramu, Mas! Aku juga tidak sudi untuk hidup lagi bersamamu!”
“Ya sudah. Toh aku tidak akan lama membawanya. Besok sore sudah aku kembalikan kepadamu!”
‘Tapi .... “
“Diamlah! Aku juga punya hak terhadapnya, karena aku dulu yang bikin. Ngerti kamu!” jawab Mas Arman dan berlalu.
“Huuch!” aku mengepalkan tangan dengan kesal. Ingin rasanya meninju pria dihadapanku ini.
Tanpa kusadari, Mas Arman sudah bersama Tiara.
Mah! Ayo kita jalan-jalan!” ajak Tiara kepadaku.
“Ee.. Tidak. Mamah masih ada pekerjaan!”
“Tapi, Mah ....”
‘Tiara! Kita perginya berdua saja, ya. Mamahmu masih banyak yang harus diselesaikan,” bujuk Mas Arman kepada Tiara.
Gadis kecilku menatap ke arahku. Aku membalas dengan anggukan untung menghilangkan keraguan dalam hatinya. Bagaimanapun Mas Arman adalah papahnya. Dia tak mungkin menyakiti putrinya. Lagi pula Tiara juga sangat merindukan papahnya. Aku tak mau putriku menjadi korban dari keegoisanku.
Tiara tersenyum dan menggandeng tangan Mas Arman. Keduanya berjalan menuju ke arahku.
“Mah, Tiara pergi dulu, ya!” Tiara berpamitan sembari mengecup tanganku. Tak lupa aku juga memberikan kecupan pada kedua pipinya.
“Baik-baik, ya, Nak. Jangan nakal!”
“Iya, Mah!”
Fokusku kini kepada mantan suamiku. Aku mendekat ke arah telinganya untuk membisikkan sesuatu. “Ingat, kau harus menjaganya dengan baik dan kembalikan dia sesuai dengan yang sudah kau janjikan tadi tanpa lecet sedikitpun. Kalau ada sedikit saja lecet ada tubuhnya, aku tak segan-segan melaporkanmu kepada polisi!” aku sedikit mengancamnya untuk menimbulkan efek ketakutan.
Namun pria itu terlihat tak takut dengan ancamanku. Dia tersenyum dan membalas ucapanku. “Kamu tenang saja!” jawabnya singkat.
Aku hanya bisa menatap punggung putriku hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan area parkir sekolah. Sebagai seorang ibu aku hanya bisa berdo’a untuk keselamatannya.
Jujur saja aku merasa sangat khawatir, karena ini kali pertama aku berpisah dengan Tiara walau hanya satu malam saja. Semoga saja semua sesuai harapan.
***
Aku berjalan mondar-mandir di teras rumah. Berkali-kali melihat jam pada ponsel. Sudah hampir magrib tapi Mas Arman belum juga mengembalikan Tiara. Apa mungkin dia mengingkai janjinya. Bagaimana kalau dia membawa kabur putriku.
‘Ya Alloh, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mau kehilangan putriku!”
“Apa Arman belum menghubungimu?” tanya ibuku yang juga terlihat cemas.
“Aku sudah berusaha menelponnya, tapi nomornya gak aktif. Mungkin sudah ganti dan aku lupa gak tanya kemarin. Aduh kalau terjadi apa-apa dengan Tiara bagaimana, Bu? Aku tak bisa memmaafkan diriku sendiri!”
“Kita tunggu saja. Kalau sampai habis isya Arman tidak juga mengantar Tiara, kita datang saja ke rumahnya!”
‘Tapi aku malas ke sana!”
‘Turuti kata-kata ibu. Sekarang kita masuk sudah mau magrib!”
Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau tahu begini, aku takkan pernah mengijinkan Mas Arman membawa Tiara.
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me