“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.
“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.
“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.
“Tunggu sebentar!”
Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.
“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.
Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.
“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.
Saat jarak begitu dekat, aku sangat yakin dia adalah dokter yang membantu kelahiran Tiara dulu. Lalu untuk apa beliau kemari. Bukankah aku sedang tidak hamil.
“Ini benar-benar kejutan!” ujarku masih dengan mata melebar dan bibir terbuka. Tak percaya dengan penglihatanku. Berkali-kali mengucek mata untuk memastikan penglihatanku.
“Khanza. Kenalkan, ini ibrahim, teman SMA ku dulu. Kami tak sengaja bertemu kembali kemarin di rumah sakit!” ucap Mas Arman sembari tersenyum.
Tanpa dia mengenalkan aku juga sudah tahu. Namun pria itu begitu sopan dan tidak mau bersalaman denganku. Dia hanya menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada sembari menguntai senyum manis.
Akupun membalas dengan melakukan hal yang sama.
“Ibrahim!” pria itu memperkenalkan diri.
“Saya Khanza. Anda dr. Ibrahim’kan?” tanyaku memberanikan diri untuk memastikan apa betul dia dokter yang aku maksud, walaupun aku sudah yakin sembilan puluh sembilan persen.
“Iya, betul. Anda mengenal saya?” jawabnya dengan tersenyum manis. Dan senyumnya itu membuat jantungku berdebar kencang.
“Jadi kalian sudah saling kenal?” tanya Mas Arman sembari menatapku dan dr. Ibrahim secara bergantian. Wajah Mas Arman terlihat gusar.
Aku mengamati wajah dr. Ibrahim yang seperti kebingungan. Jelas saja dia lupa karena terlalu banyaknya pasien di rumah sakit. Tak mungkinlah dia hafal pasien satu per satu. Walaupun mungkin ada sebagian yang diingatnya.
“Mengenal baik sih tidak. Hanya saja dr. Ibrahim ini yang mengoperasi waktu saya melahirkan Tiara.”
“Benarkah? Maaf, saya lupa,” jawab dr. Ibrahim dengan senyum merekah. Rupanya teka teki yang bercokol di kepala sudah terjawab.
“Saya maklum kalau dokter lupa. Pasien dokter’kan banyak. Dan Tiara saja sekarang sudah tujuh tahun usianya.”
“Iya, Maaf, kalau saya tidak mengenali Anda!”
“Tidak apa-apa, Dok!”
“Jadi kamu yang membantu istriku melahirkan, Him? Kok aku bisa sampai tidak tahu ya?” Mas Arman seperti berusaha mengingat sesuatu.
“Ya jelas saja tidak ingat. Saat aku melahirkan Tiara, kamu’kan pergi bersama wanita murahan itu dan tidak pulang ke rumah selama dua bulan!” tiba-tiba saja aku menjadi kesal. Kejadian menyedihkan yang terekam dengan jelas pada memory otakku kembali membuatku sangat membenci mantan suamiku itu.
“Benarkah, Arman? Pria macam apa yang bisa setega itu?!” ucap dr. Ibrahim dengan nada tinggi. Dari wajahnya terlihat tidak suka dengan mas arman.
“Ah itu’kan masa lalu, Bro! Sekarang aku sudah taubat!” jawab Mas Arman datar. Terlihat gugup pada wajahnya.
Aku terdiam. Berjuta tanya yang melintas di otakku tentang apa tujun Mas Arman datang kesini. Apalagi dia bersama dr.ibrahim. Entah apa yang ada dalam otak liciknya itu. Aku harus berhati-hati menghadapinya.
“Khanza, boleh kami duduk?” tanya Mas Arman kepadaku. Kalau saja tak ada orang lain, sudah kututup pintu rumahku.
“Boleh. Tapi di luar saja, ya. Karena saat ini saya sendiri di rumah. Kalau kalian masuk ke dalam rumah, takut menimbulkan fitnah.” Jawabku dengan sopan sembari menatap ke arah dr. Ibrahim. Sungguh aku tak mengira kalau dr. tampan itu kini ada di hadapanku. Benar-benar seperti kejatuhan durian runtuh.
“Duh, mikir apa sih aku!” aku memukul kepala pelan untuk menghilangkan pikiran yang tak seharusnya bercokol di kepala.
“Kau kenapa Khanza?” tanya Mas Arman terlihat khawatir. Mungkin dia sempat melihatku memukul kepala tadi.
“Tidak apa-apa. Silakan duduk. Aku mau cuci tangan sebentar!” aku mempersilakan Mas Arman dan dr. Ibrahim untuk duduk di kursi tamu yang berada di teras. Sementara itu aku ke dapur untuk mencuci tangan dan membuatkan minuman.
Kali ini kuberikan bonus kopi kesukaan Mas Arman karena sudah membawa dr. ibrahim ke rumah. Aku senyum-senyum seperti orang gila. Kedatangan malaikat tampan itu seperti menghipnotis diriku.
Aku membawa minuman dan cemilan lalu menghidangkan di meja.
“Silakan diminum,” tawarku kepada tamu.
“Silakan diminum, ibrahim. Kopi buatan Khanza sangat istimewa. Dulu aku sangat menyukainya!” ucap Mas Arman sembari menatap ke arahku.
Aku tahu dia sedang merayuku. Ih, dasar lelaki buaya.
“Silakan, Dok!” aku mempersilakan dr. Ibrahim untuk minum kopi.
“Terima kasih,” jawabnya sembari menyeruput kopi yang masih mengepul. Aku terus memperhatikan setiap gerakan dokter tampan itu. Rasanya tak bosan melihat malaikat tampan itu. Dia terlihat begitu mempesona.
“Ehem ehem ....”
Suara Mas Arman membuatku tersadar dan terpaksa membuang pandangan ke arah lain.
“Oh, ya Khanza. Maksud kedatanganku kemari adalah untuk membahas tentang tata cara rujuk untuk kita dan .... “
“Apah?!”
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl