“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”
“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”
“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.
“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”
“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”
“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.
“Itu uang lima juta untuk kebutuhanmu dan tiara.”
“Tapi ...”
“Terimalah dan gunakan untuk menyenangkan Tiara. Aku pergi dulu!”
Aku bergeming dan membiarkan mantan suamiku pergi begitu saja. Dada ini rasanya bagai di remas-remas. Rasa sakit masih membekas. Luka itu belum mengering. Dan tiba-tiba dia ingin memintaku untuk rujuk dan juga memberikan uang. Aku benar-benar bingung menyikapinya.
***
POV ARMAN
Aku berdiri di balkon dengan menatap langit yang bertabur bintang. Aku sendiri dan sangat kesepian. Betapa bodohnya aku yang lebih memilih Mayang dari pada permata seperti Khanza. Aku sangat menyesal.
Memegangi tengkuk yang terasa berat serta memutar kepala untuk mengendurkan syaraf yang tegang.
Kalau saja ada Khanza di sini, dia pasti akan segera membuatkan teh jahe hangat dan memijitku.Ya tuhan, aku sangat merindukan Khanza! Aaach aku bisa gila kalau terus memikirkannya!
Aku memukul-mukul kepala untuk melupakan sejenak bayangan tentang mantan istriku. Namun semua sia-sia. Semakin ingin melupakan, semakin bayangan Khanza menari-nari di kepala. Seolah memory otakku hanya terisi dirinya.
“Aku tidak boleh menyerah! Akan aku lakukan segala cara untuk mendapatkanmu kembali, Khanza!!” aku berteriak untuk melepaskan rasa sesak dalam dada.
Tiba-tiba aku teringat dengan putriku.
“Tiara pasti bisa meluluhkan hati Khanza. Aku tahu kalau Khanza pasti akan memenuhi segala keinginan putri kami.”
Menjentikkan jari dan tersenyum. Aku yakin pasti akan mendapatkan Khanza kembali.
“Lebih baik sekarang tidur supaya besok pagi bisa mengantar Khanza ke sekolah sebelum berangkat ke pabrik roti milikku!”
Aku segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Kemudian menuju ranjang untuk beristirahat. Semangat hidupku kembali bangkit. Ya, hanya Khanza dan Tiara yang menjadi penyemangat hidupku. Percuma rumah sebesar ini tapi hatiku sempit.
***
Aku menunggu di halaman sampai Tiara keluar dari rumah. Saat putri kecilku mulai tampak batang hidungnya, aku turun dari mobil dan mendatanginya. Dia pasti sangat terkejut dengan kedatanganku.
“Hallo, Sayang,” sapaku kepada putriku sembari melebarkan tangan.
“Papah!” benar saja, Tiara langsung berlari dan memelukku.
Saat aku melirik ke arah Khanza, dia terlihat sangat tidak suka. Wajahnya terlihat garang dan masam.
“Mas! Apa-apa an ini!” Khanza berusaha melepaskan pelukanku pada Tiara.
“Kenapa? Aku hanya ingin mengantar Tiara ke sekolah? Apa tidak boleh?” tanyaku kepada Khanza.
”Jangan berusaha menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kau mau! Ingat, aku takkan pernah mau menerimamu kembali. Jadi jangan pernah menggangu kehidupanku dan juga Tiara!” khanza menarik lengan Tiara dengan paksa dan membawanya menuju sepeda motor.
“Lepasin, Mah!” Tiara berusaha melepaskan tangannya dari Khanza.
“Tiara! Jangan nakal! Ayo, kita berangkat sekarang!”
“Gak mau! Tiara pengin dianter sama Papah pake mobil. Tiara lama gak naik mobil, Mah!” putriku merajuk kepada mamahnya.
Ya Tuhan, kenapa Khanza bisa sekeras ini. Bagaimana kalau Tiara mogok sekolah. Aku harus melakukan sesuatu.
“Khanza! tolong biarkan aku mengantarnya. Dan kau ... juga boleh ikut bersama kami!” aku berusaha memberikan sebuah penawaran. Semoga saja Khanza menerimanya.
“Dengar, ya Mas Arman! Aku tidak sudi ikut bersamamu! Jadi sekarang mundurkan mobilmu karena motorku mau lewat!” ucap Khanza dengan mempertegas ucapannya.
“Oke. Aku tidak mau ribut denganmu!” lebih baik mengalah dan bersabar demi melunakkan hatinya. Kalau aku masih bersikap sama seperti dulu, aku pasti gagal.
Pada saat menuju mobil, tiba-tiba saja, Tiara memanggilku. Dan tanpa kusadari dia sudah memeluk kakiku dari belakang.
“Papah! Tiara mau ikut Papah!” gadis kecilku menangis sesenggukan. Aku tidak tega melihatnya menangis.
Aku melihat ke arah Khanza. Sepertinya wajahnya sudah tak segarang tadi. Mungkin saja dia sama denganku, tak tega melihat satu-satunya buah cinta kami menangis.
“Khanza aku .... “
“Kau boleh mengantarnya! Tapi tolong pastikan dia selamat dan kau jaga dengan baik!” ucap Khanza dengan bibir bergetar. Kelopak matanya mulai basah. Dia menangis. Tapi entah kenapa. Aku juga tidak mengerti.
“Baiklah. Aku berjanji akan menjaga Tiara dengan baik. Kau jangan lupa kalau dia putriku juga, buah cinta kita!” aku mencoba mengingatkannya kembali tentang siapa Tiara untuk mengingat kembali masa-masa indah kami saat menjadi pengantin baru. Namun Khanza memalingkan wajah seperti tak menyukainya.
“Ah, sudahlah! Yang penting satu langkah sudah berhasil. Semoga ini awal yang baik,” ucapku dalam hati.
***
Kembali aku menjemput Tiara di sekolah. Aku benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
“Kita mau ke mana, Pah?” tanya putriku dengan antusias.
‘Terserah kamu Sayang. Mau makan ice cream, atau .... “
“Mas Arman!” aku dikagetkan oleh suara Khanza yang memanggilku. Dan dengan gerakan yang begitu cepat, Khanza menarik lengan putriku hingga terlepas dari genggamanku.
“Aku menjemput Tiara dan akan mengajaknya makan siang dulu. Apa itu salah?”
“Jelas salah. Karena kau tidak meminta ijin kepadaku!” Khanza terlihat sangat marah. Namun aku tetap berusaha untuk bersabar.
“Maaf, Bapak, Ibu. Jangan bertengkar di sini! tidak baik kalau dilihat oleh wali murid yang lain,” ibu guru mendatangi kami saat melihat pertengkaranku dengan Khanza.
“Maaf, Bu. Kami salah sudah menggangu. Permisi!” jawabku sembari menggandeng lengan Tiara dan melangkah menuju mobil.
“Mas! Kau mau membawa Tiara ke mana? Katakan!” ternyata Khnaza masih terus mengikutiku.
“Jangan ribut di sini. Malu. Kita terusin di mobil saja berantemnya,” ucapku setengah berbisik. Malu juga dilihat oleh wali murid lain yang juga sedang menjemput anak mereka.
“Aku tidak sudi untuk satu mobil denganmu! Dan saat ini juga permasalahan ini harus selesai!”
“Baiklah. Lalu apa yang kau inginkan?” tanyaku dengan santai sembari melipat tangan di depan dada.
“Mulai saat ini, jangan pernah mendekati Tiara lagi atau ....”
“Atau apa? kau tidak bisa melarangku karena aku papahnya. Kalau bukan karena aku, kau juga tidak punya tiara!”
“Jangan sombong kamu! Tiara itu ada karena ijin dari Alloh SWT. Kau hanya perantara saja. Mengetti!”
“Halah sok suci banget kamu. Gak usah sok ceramahin aku deh! Ayo, Tia ....” aku sangat terkejut saat mengetahui kalau Tiara tidak ada bersamaku. Seingatku tadi aku masih menggandeng tangannya. Bagaimana mungkin aku sampai tidak sadar kalau putriku melepaskan tanganku.
“Khanza. Apa kau lihat kemana Tiara?!” tanyaku dengan khawatir.
“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.“Tiara! Tiara!”Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.“Tiara! Kamu ke
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama