“Tidak! bukankah tadi dia bersamamu?” tanya Khanza. Dan pertanyaan darinya membuatku tak tenang.
“Iya tadi aku gandeng, tapi sekarang gak ada!” jawabku dengan khawatir dan menyapukan pandangan ke arah sekitar.
“Semua ini gara-gara kamu, Mas! Cepat! Temukan anakku!” Khanza menangis dan terus menyalahkanku.
“Jangan terus menyalahkanku! Ayo kita cari bersama!” jawabku dengan nada tinggi. Bukan hanya dia saja yang syok. Aku juga sama khawatirnya.
Kami membagi dua bagian pencarian. Khanza di luar sekolah, dan aku mencari di lingkungani sekolah.
“Tiara! Kamu di mana, Nak?!” aku terus memanggil namanya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan anakku. Semua ini karena keegoisanku dan Khanza sebagai orangtua.
“Tiara! Tiara!”
Aku masih mendengar suara Khanza yang memanggil Tiara. Artinya dia belum juga menemukan putriku.
“Ya, Tuhan! Harus ke mana lagi aku mencarinya!”
Aku terduduk lemas di sebuah bangku kayu. Sudah aku cari kemanapun tetap saja tak menemukannya.
“Tiara! Kamu kemana sih, Nak!”
Aku hanya bisa menyesal. Kalau saja tadi kami tidak bertengkar, mungkin saja Tiara tidak lepas dari tanganku.
“Bapaknya Tiara!” terdengar suara seorang wanita yang memanggilku. Sepertinya aku belum pernah mendengar sebelumnya.
Saat aku memutar badan untuk melihat siapa orangnya, aku sangat terkejut saat melihat Tiara sedang bersembunyi di balik seorang wanita yang memakai jilbab. Sepertinya dia seorang guru di sini.
“Tiara! Alhamdulillah, kau sudah ketemu!” aku sangat bahagia melihat putriku sudah ditemukan. Namun aku kecewa saat melihat Tiara seperti ketakutan dan bersembunyi di balik punggung wanita tersebut. Sepertinya dia meminta perlindungan darinya.
“Sayang. Ini Papah, Nak! Ayo! Mendekatlah!” aku melebarkan tangan dan siap memeluknya. Tapi tetap saja Tiara bergeming dan makin erat memegang pakaian sang guru.
“Maaf, pak! Sepertinya anak ini ketakutan melihat Anda. Tadi dia berlari menuju ruang guru dan bercerita kalau dia takut melihat papah dan mamahnya bertengkar. Sepertinya kita harus berbicara tentang hal ini. Tentunya bersama Mamahnya juga!”
“Baiklah, Bu!” aku menganggukkan kepala. Lalu segera menghubungi Khanza dan menyuruhnya untuk menyusul ke ruang guru.
Aku segera mengikuti langkah Tiara dan gurunya menuju ruang guru.
“Mana Tiara!” begitu datang, Khanza langsung bertanya kepadaku.
“Duduk dulu, Bu! Tiara ada di tempat yang aman! Mari kita bicarakan masalah ini! silakan duduk!”
Khanza menatap ke arahku dengan tak bersahabat. Kemudian, menarik kursi dan duduk menjauh dariku. Sepertinya dia sangat membenciku. Bisa gagal rencanaku untuk mendapatkannya kembali. Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini.
“Perkenalkan, nama saya Irma. Saya wali kelasnya Tiara. Begini, Pak, Bu. Tadi Tiara berlari dan masuk ke ruang guru sembari menangis. Dia lalu bercerita tentang pertengkaran Mamah dan Papahnya. Dia sangat ketakutan. Apa itu benar?”
“Itu semua karena laki-laki ini! dia yang salah, Bu!” Khanza langsung menunjuk wajahku dengan tidak sopan. Aku bergeming, mencoba memainkan peran untuk menjadi pria yang baik.
“Sabar, Bu. Kami paham apa yang terjadi. Tapi saya mohon, jangan bertengkar di depan Tiara. Dia masih anak-anak yang hanya ingin hidup dalam keluarga yang hangat. Kalau hal ini terus terjadi, bisa memperngaruhi perkembangan dia. Kasihan kalau kondisinya tidak stabil karena keegoisan Mamah dan Papahnya!”
“Lalu apa yang harus kami lakukan, Bu?” Aku mencoba berpura-pura bertanya, seolah menjadi seorang ayah yang arif dan bijaksana.
“Jangan bertengkar di depan Tiara, karena hal itu akan mempengaruhi perkembangannya. Apa yang dia lihat itu sangat membekas dalam hatinya. Bapak dan Ibu harus bersikap baik setidaknya di hadapan Tiara, supaya dia merasa mempunyai keluarga yang utuh!”
Aku mengangguk tanda setuju dengan ucapannya. Dan hal ini bisa aku jadikan alasan untuk membuat Khanza mau menerimaku. Ya. Ini adalah kesempatan yang sangat baik.
“Menurut Ibu, apakah saya dan mamahnya Tiara harus rujuk kembali begitu?” tanyaku kepada wali kelas Tiara seraya melirik ke arah Khanza untuk melihat responnya.
“Mas!! Jangan menggunakan kesempatann, Ya!”
Benar seperti dugaanku, Khanza langsung menyolot dengan galak. Wajahnya berubah menyeramkan.
“Ya aku’kan hanya bertanya kepada Bu Irma. Siapa tahu beliau juga setuju dengan ucapanku. Ini’kan niatan baik, tak ada salahnya’kan Bu Irma?” aku masih terus mencari celah.
“Itu bukan ranah saya, Pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Hanya Bapak dan ibu yang tahu jawabannya. Saya hanya memberi masukan saja untuk kebaikan Tiara.”
“Baik. Saya mengerti,” jawabku dengan sopan.
“Sial, ini orang gak bisa banget sih di ajak kerja sama,” aku bermonolog dalam hati.
“Semoga Bapak dan Ibu bisa mengerti dan bisa melakukan apa yang terbaik untuk putri Bapak dan Ibu. Silakan temui Tiara di ruang kepala sekolah. Dia ada di sana.”
“Oke, terimakasih, Bu.” Jawabku sembari menjabat tangan bu irma.
“Terimakasih, Bu. Kami permisi dulu,” ucap Khanza sembari menjabat tangan Bu Irma.
“Sama-sama, Bu. Oh ya, Tunggu sebentar. Saya hampir lupa, Bu,” bu Irma terlihat mengambil amplop dari dalam laci. Kemudian memberikan kepada Khanza.
“Ini apa, Bu?” tanya Khanza.
“Itu tagihan uang Spp Tiara dan juga cicilan uang gedung yang belum terbayarkan. Semoga ibu segera bisa melunasinya.”
“Tagihan?!” aku terkejut dan tidak menyangka kalau biaya sekolah Tiara sampai menunggak.
Sementara itu, Khanza tak menjawab pertanyaanku. Dia bahkan meninggalkanku tanpa permisi. Sial, aku harus segera mengejarnya.
“Khanza! Tunggu!” Dengan terpaksa aku menarik tangannya untuk menghentikannya.
“Jangan menyentuhku!” Khanza murka dan menatapku dengan api kemarahan yang siap membakarku.
“Sorry! Tapi aku mau tanya, kenapa sampai kau telat membayar biaya sekolah Tiara, kenapa!”
“Kau tanya kenapa?! Karena aku belum ada uang untuk membayarnya!” jawab Khanza dengan tegas. Dan baru saja mulutku terbuka untuk menjawab pertanyaannya, dia kembali menyambar seperi bensin saja.
“Apa?! kau mau menyalahkanku? Seharusnya Tiara itu menjadi tanggung jawabmu. Tapi kau tak pernah memberikan nafkah untuk putrimu! Dan kini kau dengan seenaknya menyalahkanku!” Khanza berkacak pinggang di hadapanku. Dia benar-benar marah kepadaku. Bahkan dia beraninya menunjukku. Padahal dulu dia tak pernah berani melakukannya. Kenapa sekarang bisa berubah seperti ini.
“Ya, oke aku akui salah. Tapi kau’kan punya toko material. Masa gak ada duit sih. atau kamu kan bisa menghubungiku? Kau tahu’kan rumahku. Alamat pabrikku juga kau tahu betul kan?”
“Dia itu anakmu! Orangtuaku tak ada kewajibannya untuk itu! Dan kau bilang pabrikmu? Apa kau tidak ingat kita mendirikan pabrik itu bersama? Bahkan resep yang masih kau pakai itu adalah milikku! Dan sepeserpun kau tak pernah membagi laba dari hasil penjualan kepadaku! Apa kau lupa itu, Arman!! Kau yang salah dan sangat tamak! Bagiku kau sangat menjijikkan!”
POV ARMANSial. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Awalnya aku berniat untuk memojokkannya. Kenapa keadaannya jadi berbalik malah aku yang terpojok.Memang semua yang dikatakan benar adanya. Aku yang salah karena tak pernah membagi hasil dari laba pabrik kepada Khanza. Mantan istriku itu tetap diam dan tak pernah menuntut apapun walau dia bisa melakukannya.Dia konsekuen dengan ucapannya sebelum kami bercerai, untuk lebih memilih hak perwalian anak jatuh ditangannya dari pada harta.“Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Sudah pasti aku yang salah. Aku harus segera mengakhiri pertengkaran ini!” ucapku dalam hati.“Berikan amplop itu padaku!” aku mengulurkan tangan untuk meminta benda yang berada di tangan Khanza.“Untuk apa?!” tanya Khanza dengan galak.“Ya mau aku lunasin, masa mau aku buang! Sini, cepat!”Khanza bergeming. Dia masih terlihat ragu.“Ayo lah! Kau sendiri yang bilang’kan kalau Khanza itu tanggung jawabku!”Dengan penuh keraguan, mantan istriku memberikan ampl
“Aku sudah bilang kalau Tiara lagi pergi, apa kamu masih belum mengerti juga?” aku kembali mengulang ucapanku. Entah berapa kali harus ku ulang agar dia mengerti.“Aku ke sini bukan untuk Tiara. Tapi untuk bicara denganmu!” ujarnya dengan lembut dan membuatku risih. Aku harus lebih tegas untuk menghadapinya.“Mas Arman! Aku tidak mau bicara apapun, titik!”kembali mempertegas ucapanku untuk membuatnya mengerti.“Tunggu sebentar!”Mas Arman berjalan ke arah mobil. Dan tak berapa lama, muncul seorang pria berbadan tegap dan terlihat sangat mempesona. Kulitnya putih bersih.“Siapa dia? Dan kenapa Mas Arman mengajaknya ke sini?” aku terus mengamati pria yang masih berbicara dengan Mas Arman.Saat keduanya berjalan ke arahku, aku seperti tak asing dengan wajah pria berhidung mancung itu.“Astaga! Wajahnya sangat mirip dengan dr. Ibrahim. Tapi mana mungkin. Dan untuk apa Mas Arman mengajaknya kemari?’ aku bergumam sembari terus mengamati pria tampan yang menjadi idola para pasiennya.Saat ja
Aku sangat terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Arman. Hal itu tentu saja membuatku tak punya muka di hadapan dr. Ibrahim. Tak seharusnya hal seperti ini dibicarakan di depan orang lain.Ekor mataku menangkap kegelisahan pada wajah dr. Ibrahim. Walau arah tatapannya tak tertuju padaku, tapi aku tahu kalau dia merasa tidak nyaman.Aku menarik tangan Mas Arman untuk menjauh dari dr. Ibrahim. Mantan suamiku itu menurut dan mengikuti langkahku. Aku menghentikan langkah setelah menjauh beberapa meter.“Mas! Apa maksudmu sebenarnya?! Apa kau ingin membuatku malu di hadapan dr. Ibrahim?!” tanyaku dengan berkacak pinggang dihadapannya. Aku benar-benar gerah dengan sikapnya yang selalu bertindak tanpa berunding dulu denganku.“Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja!” jawab Mas Arman dengan santai. Jelas saja hal itu membuatku semakin murka.“Apanya yang baik?! Kau ini bukan orang bodoh yang tak seharusnya membicarakan hal yang sangat pribadi di depan orang lain! Har
Aku tidak percaya mendengar ucapan Mas Arman. Rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah menyangka kalau kedatangan dr. Ibrahim untuk menikah denganku. Benar-benar diluar dugaan dan sulit untuk dipercaya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Arman-arman. Kamu gak pernah berubah. Selalu berpikiran buruk terus terhadap orang lain!” dr. Ibrahim bergumam sembari menggelengkan kepala.“Jadi ... maksud kedatangan dr. Ibrahim kemari untuk ....” aku menutup mulutku yang menganga lebar. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan ucapanku.Tubuh terasa lemas dan tak bertenaga. Aku bahkan tak mengerti bagaimana dengan perasaanku sendiri. Harus bahagia ataukah bersedih.Seandainya saja dr. Ibrahim melamarku dengan sungguh-sungguh untuk menjadikanku sebagai istri, tentu aku sangat bahagia. Namun tidak demikian keadaannya. Pria tampan itu akan menikahiku hanya sebagai persyaratan rujuk dengan Mas Arman.Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Tak mengerti apa yang harus aku lakukan.“Khanza! Bicaralah. Jangan diam saj
“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak me
“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya. “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.“Boleh aku duduk?”Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk
“Assalamu’alaikum, Mamah, Nenek!” terdengar suara Tiara memanggilku. Segera membalikkan badan dan melebarkan tangan siap memeluknya. Kelopak mata terasa basah.“Ayo, peluk Mamah, Nak!”“Mamah!” Tiara berlari memelukku. Wajahnya sangat ceria. Terlihat binar bahagia pada matanya.“Ibu merindukanmu, Nak.” aku merenggangkan pelukan. Lalu menangkup wajah putriku. “Apa kau baik-baik saja ataukah ada yang menyakitimu?” tanyaku dengan cemas.“Tiara menggelengkang kepala dengan cepat. “Tidak, Mah! Semuanya baik!” jawabannya membuatku bisa bernapas lega.“Lalu ... apa Papah juga mengurusmu dengan baik?” tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Mas Arman sudah mendoktrin putriku ataupun bersikap kasar.“Papah selalu bersamaku. Kita jalan-jalan, makan ice cream. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan Papah juga menemani aku bobo,” jawab putri kecilku dengan riang.“Tapi .... “Wajah Tiara tiba-tiba saja murung hingga membuatku khawatir.“Ada apa, Nak? katakan apa yang terjadi?”“Kenapa mamah gak ikut sama
“Aku tahu dosaku lebih besar dari isi bumi dan lautan apabila digabung menjadi satu. Kini aku benar-benar menyesal. Ternyata Mayang menghianatiku. Dia tak sebaik dirimu. Aku sangat menyesal, Khanza. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus dosa-dosaku kepadamu. Haruskah aku bersujud di kakimu?”“Cukup, Mas. Tolong, biarkan aku sendiri! Pergilah!”“Baiklah. Aku akan pergi. Tolong pikirkan lagi dengan baik. Dan bukan hanya Tiara yang membutuhkanmu, aku juga sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu, Khanza. Kau harus tahu itu!” Mas Arman mencoba menyentuh jemariku. Namun aku menepisnya.“Jangan menyentuhku. Kita bukan muhrim. Jadi tolong hargai diriku! Sekali lagi aku minta, pergilah!”“Oke. Aku akan pergi. Tapi besok aku akan kembali untukmu dan juga Tiara. Aku yakin, kita akan menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. Itulah impianku kini!”“Ini untukmu.” Mas Arman memberikan amplop coklat kepadaku.“Apa ini?” tanyaku sembari meneliti amplop tebal yang ada ditanganku.“I