"Tidak ada yang salah bukan? Kita suami-istri, kita halal. Yang salah itu pikiran kamu. Lagipula yang seharusnya marah itu aku, bukan kamu, kenapa jadi terbalik. Jujur saja aku pun masih marah, tentang kehamilan itu, aku sangat marah. Belum juga reda, kamu sudah kabur. Masih beruntung aku menutupi kejadian ini di hadapan Mama, kalau aku mau jahat, aku bisa saja mengatakan bahwa kamu pergi tanpa pamit dan buktinya ada, trolly bag kamu itu ada di mobil. Aku bisa bilang sama Mama sekarang juga kalau kehamilanmu itu bohong," ucapnya panjang lebar membuatku diam tak bisa berkata. Lagi, kubuang nafas kasar sambil memainkan ujung kerudung."Dan sekarang, hanya karena aku memindahkanmu ke pangkuanku kamu sudah marah-marah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Tanpa izin aku dulu?""Jangan bicara masalah izin. Seorang istri yang seharusnya minta izin ketika akan pergi, bukankah begitu? Lalu seorang suami disalahkan ketika menyentuh istrinya, bahkan dalam keadaan darurat. Ingat, aku masih m
"Ini, Ma. Mas Faldo terbiasa tidur tanpa bantal," jawabku cepat sebelum Om Do menjawab."Oh ... Mama kira Faldo terbiasa tidur di bawah. Makanya Mama mau marah sama kamu. Masa suami dibiarkan tidur di lantai. Oh iya, tapi kalian di rumah tidur bersama, 'kan, satu ranjang? Biasanya kalau yang nikah dijodohkan atau terpaksa itu yang satu tidur di sofa yang satu tidur di ranjang atau sekalipun tidur di ranjang biasanya saling membelakangi. Mama khawatir itu tidak terjadi sama kalian."Duh, Mama!"Enggak, Ma. Kami enggak seperti itu, kok." Aku melirik Om Do yang tersenyum sinis.Namun detik berikutnya, tanpa kusangka dia bangkit dan duduk di dekatku."Awalnya Lala juga malu-malu, Ma. Maklum saja, karena kami memang tidak saling mengenal. Tapi setelah beberapa hari kehidupan rumah tangga kami berjalan normal. Benar 'kan, Sayang?" Kejutan berikutnya, Om Do memelukku sambil mencubit hidungku, sontak saja itu membuatku kaget."I-iya benar," jawabku setengah gugup sambil menoleh kearah Mama. S
Aku hanya bisa diam ketika usapannya di kepalaku terus berlanjut hingga aku merasa nyaman. Rasanya semua kegelisahan ini hilang, apakah ini artinya aku sudah mulai menerima pria ini sebagai suamiku. Mungkin bukan juga, karena usapan itu, terlepas dari siapa yang melakukannya, memang akan terasa menenangkan.***Pagi harinya Mama kelihatan segar, penyakit asmanya memang sering kambuh terlebih kalau beliau kecapean dan banyak pikiran. Tapi asal sudah minum obat dan beristirahat, sudah pasti mendingan."Kalau kamu mau berangkat kuliah, berangkat saja, La. Mama sudah baikan kok, sebentar lagi Om Dimas pasti akan ke sini," kata Mama ketika aku dan Om Do baru saja pulang dari musholla selesai menunaikan salat subuh. Aku terpaksa ikut keluar berpura-pura melaksanakan salat karena Mama belum tahu keadaanku yang sebenarnya."Tapi Mama sendirian di sini.""Sebentar lagi Om Dimas juga pasti ke sini, kamu jangan khawatir.""Bagaimana kalau Om Dimas tidak ke sini?""Setelah mengantar Lala ke kampu
[Kita ketemu di cafe biasa siang ini. Aku harap kamu bisa datang, La.]Aku menyerahkan ponsel pada Mitha supaya gadis itu membaca pesan dari Rendy barusan."Ya sudah, kita temui Rendy nanti, jangan dulu ngomong sama suami Lo. Kita cari alasan supaya dia tidak menjemput Lo ke sini."Akhirnya aku bersama Mitha dan Ghea bermaksud menemui Rendy siang ini di cafe yang biasa kami gunakan untuk nongkrong sewaktu dulu. Sebelumnya ku mengirim pesan pada Om Do supaya tidak menjemputku dengan alasan aku bersama dua sahabatku akan mengerjakan tugas di rumah Mitha.Pria itu mengizinkan aku tanpa penolakan. Dia sudah tidak se-ketat dulu dan juga sudah percaya pada Mitha setelah insiden aku kabur hari itu.Dengan berpegangan pada tangan Mitha, aku melangkah memasuki cafe. Kenapa aku grogi akan bertemu Rendy siang ini. Hari itu di mana Rendy tidak datang di hari pernikahan kami, jujur saja aku sangat kecewa dan marah pada pria itu. Tapi setelah hampir dua bulan kejadian itu berlalu, aku baru sadar ba
"Jelas saja aku tidak ada karena itu memang bukan aku."Aku berpikir sejenak, kalau bukan Rendy lalu siapa? Apa jangan-jangan Om Dimas. Bukankah saat itu Mitha bertemu dengan pria itu dan aku melihat mobilnya. Iya, bisa jadi Om Dimas, lalu apa maksudnya mengirimkan pesan mengatasnamakan Rendy. Apa dia mau mencoba mengajakku bertemu lalu berbuat kurang ajar?Aku bergidik membayangkan itu, masih beruntung saat itu aku pergi bersama dua sahabatku. Kalau benar itu Om Dimas yang bermaksud jahat padaku, alhamdulillah aku masih dilindungi."Sudahlah, jangan dibahas, karena maksudku ke sini bukan untuk membahas yang lain. Aku kangen sama kamu, Lala." Aku mengangkat wajah begitu Rendy mengucapkan kalimat terakhirnya. Hatiku berdesir. Rendy merindukan aku, lalu kenapa hari itu ...."Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar darimu. Aku ingin penjelasan kenapa hari itu kamu tidak datang. Tahu enggak, kamu telah menghancurkan semuanya, Ren. Impianku, harapanku, cintaku .... " "Sungguh, ini diluar
"Tidak bisa, aku ingin kembali pada Lala. Aku harap Om mau melepaskannya untukku.""Kalau aku bersikeras bilang tidak, kamu mau apa? Apalagi sekarang kami sudah saling jatuh cinta. Aku mencintainya begitupun Lala.""Apa?!" Sontak Aku menoleh ke arahnya dan menajamkan tatapan."Sayang ... Apa kamu akan menyangkalnya di depan Rendy? Bukankah kita sudah saling mengungkapkan perasaan itu?" Om Do mendekat lalu meraih tubuhku, detik berikutnya aku sudah berada dalam pelukannya. Tanpa kusangka wajahnya mendekat seperti hendak mencium kepalaku."Iyakan saja, jangan menyangkal," bisiknya di telingaku setelah itu terasa kecupan lembut di ujung kepalaku."Kalian penghianat!" Rendy berkata dengan geram."Aku bukan penghianat, wahai keponakanku yang baik. Aku hanya sedang menyelamatkan dua keluarga dari pecundang sepertimu," jawab Om Do tenang."Aku bukan pecundang, aku sudah bilang sama Lala kalau saat itu aku dijebak dan disekap.""Kamu pikir aku akan percaya begitu saja pada omonganmu?!""Aku j
Aku memutar bola mata sambil menghentakkan kaki lalu mengikutinya menuju mobil. Lagi-lagi, tak ada percakapan selama perjalanan. Aku masih belum mengerti kenapa pria ini bisa tahu aku ada di cafe itu bersama Rendy. Apa mungkin kedua sahabatku yang memberi tahu Om Do atau justru Rendy sendiri. Mobil berbelok ke sebuah restoran yang cukup besarnya. Aku tahu ini bukan restoran biasa. Mama dan Papa dulu sering mengajakku makan di restoran yang punya cabang di mana-mana ini. Menunya memang luar biasa enak dan harganya luar biasa mahal. Tapi apakah Om Do punya uang sebanyak itu untuk membayar makanan di sini."Ayo turun, kenapa bengong?""Ah, ya. Aku .... ""Takut aku gak bisa bayar makanan sultan di sini yang harganya bikin dompet jebol?"Ya ampun, kenapa Om Do tahu apa yang sedang kupikirkan? Jangan-jangan dia punya ilmu telepati hingga sering mengetahui isi hatiku. Bagaimana kalau dia tahu juga aku sering merasa nyaman berada di dekatnya? Gawat!"Bu-bukan .... ""Tenang saja, paling jug
"Kalau aku bilang bahwa aku jatuh cinta beneran padamu, kamu percaya enggak?" tanyanya serius dan kalimat itu sukses membuat mataku membola sempurna. Aku merasa nafasku berhenti untuk beberapa saat. Apa Om Do sedang mengigau di siang bolong?"Eng-gak .... " Aku menggeleng perlahan dengan mata masih fokus padanya."Sudah kuduga .... " jawabnya sambil terkekeh."Jangan bercanda, Om. Aku tahu kriteria istri idaman Om itu bukan seperti aku. Jadi mana mungkin Om jatuh cinta padaku." Aku pun tersenyum sinis sambil mengalihkan pandangan sebelum kembali menatapnya.Pria dihadapanku ini menghentikan tawanya lalu tersenyum lembut dan balas menatapku. "Sebenarnya itu bukan analisa yang tepat. Kriteria itu semacam harapan atau rencana yang tersimpan di dalam otak kita. Sedangkan masalah hati itu beda urusannya. Ketika otak kita berencana A pada kenyataannya hati bisa saja memilih B atau C. Tapi enggak apa-apa kalau kamu tidak percaya aku juga tidak memaksa."Kali ini dia terkekeh sambil mengalih