"Om!" Akhirnya aku menyerah untuk mengimbangi langkahnya.Mendengar aku memanggilnya seketika dia berhenti."Hem?" Ia berbalik, tanpa merasa berdosa bertanya sambil mengangkat kedua alisnya."Bisa nggak jalannya diperlambat, aku 'kan ketinggalan.""Oh ya, sorry. Aku lupa, kebiasaanku kalau belanja sendiri," ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangannya.Aku sedikit melebarkan mata lalu memberikan isyarat dengan mengangkat daguku."Ayo! Katanya tadi ketinggalan. Makanya sekarang berpegangan, supaya aku tahu kalau aku sedang berjalan dengan istriku," lanjutnya sambil tersenyum.Mendengar dia menyebutku sebagai istrinya mendadak pipiku menghangat. Lalu dengan malu-malu aku melangkah sambil mengangkat tanganku dengan ragu. Namun pada akhirnya tangan kami pun bertaut."Kenapa ragu dan malu? Bukankah yang aku katakan tadi benar. Dengan cara berpegangan seperti ini, aku tidak akan lupa kalau aku sedang jalan berdua." Bukannya berjalan, Om Do malah menggodaku sambil menggerakkan tangannya yan
"Lala ini dulunya tinggal di luar kota," jawab pria di sampingku ini cepat."Oh pantesan, aku baru tahu kalau Mas Faldo punya keponakan yang sangat cantik," sahut Bu Zaskia yang tak lepas dari senyumnya. Sikap wanita berhijab lebar itu berbeda dengan di kampus."Kalau begitu, kami permisi dulu, Dek." Om Do meraih tanganku bermaksud mengajakku pergi dari sini."Tapi Om, cemilannya .... " Aku menunjuk cemilan yang belum selesai aku pilih."Tidak usah membeli camilan, nanti kamu gendut kalau ngemil terus," jawab Om Do lagi."Assalamualaikum," pamitnya pada Bu Zaskia sambil meraih tanganku lalu mengajak pergi setengah tergesa-gesa. "Waalaikum salam," terdengar suara Bu Zaskia di belakangku.Setelah itu Om Do mengajakku pulang , padahal semula dia sudah menawarkan makan setelah selesai berbelanja."Kita gak jadi makan, Om?" "Nanti saja kita cari tempat lain. Apa kamu sudah lapar?" tanyanya lembut."Enggak juga sih, cuman khawatir Om lupa aja.""Enggak mungkin lah, aku bukan tipe orang ya
[Faldo besok kamu ke rumah Mbak ya, Rendy akan menikah.]Begitu isi pesan Mbak Renita yang kuterima siang ini. Dia adalah kakak tertuaku, kami satu Ayah lain Ibu. Mbak Renita tiga bersaudara, sementara dari Ibuku, Ayah hanya punya aku. Hubungan kami memang tidak terlalu baik karena aku lahir dari wanita yang disebut-sebut sebagai pelakor. Padahal ibu bilang, saat itu Ayah menikahi Ibu atas izin Ibunya Mbak Renita lantaran kondisi Ibunya Mbak Renita dalam keadaan sakit dan tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Hingga sebagai pria normal, Ayah membutuhkan wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Tapi hubungan anak-anak Ayah dari istri tuanya dengan Ibuku tidak harmonis. Hingga aku pun nyaris tidak pernah dianggap sebagai adik mereka.[Kok, mendadak Mbak?]Aku mengirimkan balasan.[Jangan banyak tanya, yang penting kamu hadir. Atau kamu iri karena Rendy yang lebih muda darimu akan menikah duluan?]Bukannya jawaban yang baik yang aku dapatkan, Mbak Renita malah berka
Bagiku itu tidak masalah, karena jodoh sudah diatur oleh Allah. Lahir terlebih dahulu bukan berarti menikah terlebih dahulu atau mati terlebih dahulu. Itu sudah menjadi rahasia Allah dan aku percaya itu."Loh, Ren, kamu mau kemana?" tanyaku ketika melihat Rendy berjalan tergesa-gesa."Aku berangkat duluan, ya, Om. Nanti kita ketemu di sana.""Kenapa tidak bareng saja?" tanyaku heran."Ini, aku mendapat pesan dari calon istriku, supaya aku datang lebih cepat." Rendy mengacungkan ponselnya."Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi sama-sama saja?""Mama dan adik-adikku belum selesai dandan," jawab Rendy sambil menyalakan mesin motornya."Kamu nggak pakai mobil, Ren?""Motor aja, Om. Biar lebih cepat," sahutnya kemudian berlalu.***Ternyata Rendy belum sampai di rumah mempelai istri. Ini yang membuatku heran, kemana perginya anak itu. Hingga beberapa jam kami menunggu, Rendy belum juga datang, ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Mbak Renita terlihat gelisah sambil sesekali melihat ponseln
"Tolong Mbak, Do. Ini harga diri keluarga kita." Sekali lagi Mbak Renita memohon. Aku menarik napas sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga tatapanku beradu dengan tatapan Dimas, Papa tirinya Lala, calon istrinya Rendy. Pria itu menajamkan tatapannya begitu beradu pandang denganku. Lalu begitu saja senyum sinisnya mengembang. Waktu kuliah kami memang tidak begitu akrab lantaran bagiku Dimas bukanlah teman yang baik. Dia sendiri mungkin tidak nyaman berteman denganku karena kami tidak satu prinsip. Bahkan Dimas menganggapku sebagai musuh ketika cewek yang dia taksir malah mengatakan cinta padaku.Tiba-tiba terpikir olehku, kenapa Dimas sampai menikahi wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya. Sementara wanita itu memiliki anak gadis. Terlintas begitu saja di pikiranku, Dimas bisa melakukan apa saja pada anak tirinya"Baiklah, Mbak. Saya akan menikahinya." Akhirnya kalimat itu terucap dari bibirku. Aku akan menikahi gadis itu dengan dua alasan. Pertama karena menyelamatkan d
Dalam hati aku ragu, apa aku akan rela melepaskan gadis secantik ini meski untuk keponakanku sendiri yang notabene kekasihnya. Tapi bukankah Allah telah mempermudah pernikahan kami, itu artinya kami memang berjodoh. Aku percaya itu.***Aku membawa Lala ke lantai dua ruko yang menjadi salah satu tempat usahaku. Gadis itu nampak terkejut ketika aku membawanya ke tempat ini. Mungkin dia tidak menyangka kalau akan tinggal di tempat yang sempit. Tapi aku ingin menguji seberapa keras sifat gadis ini. Apakah dia mau menjalani hari-harinya bersamaku di lantai dua ruko yang boleh dibilang tidak begitu layak untuk ditempati.Seperti dugaanku, Lala sangat keras kepala, manja dan tentu saja angkuh. Terbiasa hidup diantara para pelayan yang siap melayaninya kapan saja, Lala tidak tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Dia bahkan sama sekali tidak bisa membuat telur ceplok. Keterlaluan. Seharusnya aku marah karena telah menikahi gadis manja seperti Lala, tapi justru ini suatu tantangan bagiku. Apakah
Lala menolak ketika aku akan mengantarnya ke kampus. Aku mengerti, mungkin dia tidak ingin teman-temannya tahu kalau dia sudah punya suami, secara pernikahannya memang setengah dirahasiakan. Kemarin yang hadir hanya dua temannya saja. Selain itu, mungkin dia juga malu jika ketahuan bersuamikan aku. Pagi tadi Lala memang terlihat heran ketika melihatku berpakaian seperti ini. Mau bagaimana lagi, selain sudah nyaman karena sudah terbiasa, ini juga karena tuntutan pekerjaanku.Gadis itu tidak tahu pekerjaanku sebenarnya. Lala hanya tahu aku memiliki toko di sini, padahal itu hanya sampingan saja. Pekerjaan utamaku adalah mengajar. Aku mengajar di Madrasah Aliyah yang ada di lingkungan pesantren. Selain itu, sesekali aku juga diundang pada acara-acara tertentu di kampus atau menggantikan dosen yang tidak hadir. Biarlah, untuk saat ini, gadis itu tidak tahu tentang pekerjaanku itu. Kalau pun aku memberitahu, nanti dikiranya aku pamer. Untuk saat ini, Lala memang masih memandangku sebelah ma
Entah mengapa, aku sangat khawatir ketika mengetahui Lala berada di kantor Mamanya. Bisa jadi saat itu Dimas juga ada di sana, lalu berinisiatif mengantarkan Lala karena Mamanya Lala tidak akan curiga dan dia akan mengizinkan anaknya untuk pergi pulang bersama Dimas. Lala sendiri mungkin tidak bisa menolak perintah Mamanya itu.Dan benar saja, ketika sampai di parkiran, dari kejauhan aku melihat dua orang yang sedang berjalan. Yang kutahu salah satunya adalah Dimas. Karena badan Lala yang lebih pendek sedikit terhalang oleh jajaran mobil-mobil.Segera kupacu langkah dan setengah berlari untuk bisa segera sampai pada mereka. Aku melihat Dimas mendekat dan meraih tangan Lala dengan paksa. Samar-samar aku mendengar suara mereka yang sedikit keras."Oh, jadi sekarang kamu sudah pintar bernegosiasi? Apa pria norak itu yang mengajarimu?" Terdengar suara lantang Dimas. Aku yakin orang yang disebut sebagai pria norak itu adalah aku, lantaran dulu Dimas selalu menghina gaya berpakaianku yang k