Bagiku itu tidak masalah, karena jodoh sudah diatur oleh Allah. Lahir terlebih dahulu bukan berarti menikah terlebih dahulu atau mati terlebih dahulu. Itu sudah menjadi rahasia Allah dan aku percaya itu."Loh, Ren, kamu mau kemana?" tanyaku ketika melihat Rendy berjalan tergesa-gesa."Aku berangkat duluan, ya, Om. Nanti kita ketemu di sana.""Kenapa tidak bareng saja?" tanyaku heran."Ini, aku mendapat pesan dari calon istriku, supaya aku datang lebih cepat." Rendy mengacungkan ponselnya."Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi sama-sama saja?""Mama dan adik-adikku belum selesai dandan," jawab Rendy sambil menyalakan mesin motornya."Kamu nggak pakai mobil, Ren?""Motor aja, Om. Biar lebih cepat," sahutnya kemudian berlalu.***Ternyata Rendy belum sampai di rumah mempelai istri. Ini yang membuatku heran, kemana perginya anak itu. Hingga beberapa jam kami menunggu, Rendy belum juga datang, ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Mbak Renita terlihat gelisah sambil sesekali melihat ponseln
"Tolong Mbak, Do. Ini harga diri keluarga kita." Sekali lagi Mbak Renita memohon. Aku menarik napas sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga tatapanku beradu dengan tatapan Dimas, Papa tirinya Lala, calon istrinya Rendy. Pria itu menajamkan tatapannya begitu beradu pandang denganku. Lalu begitu saja senyum sinisnya mengembang. Waktu kuliah kami memang tidak begitu akrab lantaran bagiku Dimas bukanlah teman yang baik. Dia sendiri mungkin tidak nyaman berteman denganku karena kami tidak satu prinsip. Bahkan Dimas menganggapku sebagai musuh ketika cewek yang dia taksir malah mengatakan cinta padaku.Tiba-tiba terpikir olehku, kenapa Dimas sampai menikahi wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya. Sementara wanita itu memiliki anak gadis. Terlintas begitu saja di pikiranku, Dimas bisa melakukan apa saja pada anak tirinya"Baiklah, Mbak. Saya akan menikahinya." Akhirnya kalimat itu terucap dari bibirku. Aku akan menikahi gadis itu dengan dua alasan. Pertama karena menyelamatkan d
Dalam hati aku ragu, apa aku akan rela melepaskan gadis secantik ini meski untuk keponakanku sendiri yang notabene kekasihnya. Tapi bukankah Allah telah mempermudah pernikahan kami, itu artinya kami memang berjodoh. Aku percaya itu.***Aku membawa Lala ke lantai dua ruko yang menjadi salah satu tempat usahaku. Gadis itu nampak terkejut ketika aku membawanya ke tempat ini. Mungkin dia tidak menyangka kalau akan tinggal di tempat yang sempit. Tapi aku ingin menguji seberapa keras sifat gadis ini. Apakah dia mau menjalani hari-harinya bersamaku di lantai dua ruko yang boleh dibilang tidak begitu layak untuk ditempati.Seperti dugaanku, Lala sangat keras kepala, manja dan tentu saja angkuh. Terbiasa hidup diantara para pelayan yang siap melayaninya kapan saja, Lala tidak tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Dia bahkan sama sekali tidak bisa membuat telur ceplok. Keterlaluan. Seharusnya aku marah karena telah menikahi gadis manja seperti Lala, tapi justru ini suatu tantangan bagiku. Apakah
Lala menolak ketika aku akan mengantarnya ke kampus. Aku mengerti, mungkin dia tidak ingin teman-temannya tahu kalau dia sudah punya suami, secara pernikahannya memang setengah dirahasiakan. Kemarin yang hadir hanya dua temannya saja. Selain itu, mungkin dia juga malu jika ketahuan bersuamikan aku. Pagi tadi Lala memang terlihat heran ketika melihatku berpakaian seperti ini. Mau bagaimana lagi, selain sudah nyaman karena sudah terbiasa, ini juga karena tuntutan pekerjaanku.Gadis itu tidak tahu pekerjaanku sebenarnya. Lala hanya tahu aku memiliki toko di sini, padahal itu hanya sampingan saja. Pekerjaan utamaku adalah mengajar. Aku mengajar di Madrasah Aliyah yang ada di lingkungan pesantren. Selain itu, sesekali aku juga diundang pada acara-acara tertentu di kampus atau menggantikan dosen yang tidak hadir. Biarlah, untuk saat ini, gadis itu tidak tahu tentang pekerjaanku itu. Kalau pun aku memberitahu, nanti dikiranya aku pamer. Untuk saat ini, Lala memang masih memandangku sebelah ma
Entah mengapa, aku sangat khawatir ketika mengetahui Lala berada di kantor Mamanya. Bisa jadi saat itu Dimas juga ada di sana, lalu berinisiatif mengantarkan Lala karena Mamanya Lala tidak akan curiga dan dia akan mengizinkan anaknya untuk pergi pulang bersama Dimas. Lala sendiri mungkin tidak bisa menolak perintah Mamanya itu.Dan benar saja, ketika sampai di parkiran, dari kejauhan aku melihat dua orang yang sedang berjalan. Yang kutahu salah satunya adalah Dimas. Karena badan Lala yang lebih pendek sedikit terhalang oleh jajaran mobil-mobil.Segera kupacu langkah dan setengah berlari untuk bisa segera sampai pada mereka. Aku melihat Dimas mendekat dan meraih tangan Lala dengan paksa. Samar-samar aku mendengar suara mereka yang sedikit keras."Oh, jadi sekarang kamu sudah pintar bernegosiasi? Apa pria norak itu yang mengajarimu?" Terdengar suara lantang Dimas. Aku yakin orang yang disebut sebagai pria norak itu adalah aku, lantaran dulu Dimas selalu menghina gaya berpakaianku yang k
Tak kusangka Dimas mengeluarkan pernyataan yang aku tahu itu adalah bohong. Aku sama sekali tidak percaya kalau Lala berusaha menggodanya. Selain itu Dimas juga berpura-pura tidak mengenalku. Sudah kuduga, pria itu takut kalau kebusukannya kubongkar pada Lala dan mertuaku. Meski tidak saat ini, aku akan mengungkapnya pelan-pelan.Akhirnya aku membawa Lala sambil menggandeng tangannya, untuk memberikan rasa aman pada gadis yang nampak sangat ketakutan. Tak kupedulikan pria bejad itu, meladeninya sama saja membuatnya senang. Karena Dimas memang suka keributan. Tapi sesampainya di mobil Lala nampak heran, karena selama ini dia memang belum tahu kalau aku menggunakan mobil, sebab mobil ini tidak terparkir di halaman ruko. Ada parkir khusus yang berjarak beberapa meter dari ruko tempatku membuka usaha.Lala nampak kacau dan kurang fokus sehingga dia lupa memasang sabuk pengaman. Aku yang masih kesal karena Lala tidak jujur dan meminta izin padaku sebelum berangkat ke kantor Mamanya tadi se
Sesampainya di rumah Mbak Renita aku tahu kalau diam-diam Lala mencari keberadaan Rendy. Ada rasa tidak suka didalam hatiku melihat wanita ini mencari pria lain. Tapi meski begitu aku menawarkan pada Lala untuk membantu menanyakan kabar Rendy pada Mamanya, tapi Lala menolak. Syukurlah, karena sesungguhnya di dalam hatiku memang tidak rela kalau Lala sampai kembali pada Rendy. Ya, aku sudah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.Pada satu kesempatan Mbak Renita mengajakku berbicara serius."Do, apa boleh Mbak minta satu hal lagi dari kamu?""Apa itu?""Mbak mohon, satu kali lagi saja kamu menolong Mbak.""Katakan saja. Bukankah dari dulu aku sudah terbiasa mengalah pada Mbak. Sejak kecil, aku tidak pernah menyangkal apapun yang Mbak inginkan, termasuk ketika Mbak tidak menerimaku di rumah ini. Sewaktu Ibuku meninggal dunia, aku harus pasrah tinggal di pesantren sebagai anak buangan.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu. Mbak minta maaf."Aku membuang nafas kasar, seenaknya dia minta ma
Subuh ini Lala tidak salat berjamaah denganku alasannya dia memang sedang di toilet lantaran perutnya sakit. Terpaksa aku salat duluan karena Lala tidak ada tanda-tanda akan segera keluar dari toilet. Saat itu aku percaya kalau Lala memang sedang kebelet di kamar mandi.Tapi begitu aku pulang dan salat Maghrib, Lala masih beralasan untuk tidak salat berjamaah, aku mulai curiga. Pasalnya dia menolak salat berjamaah magrib juga dengan alasan sakit perutnya. Wajahnya memang terlihat pucat, seperti yang menahan sakit pula. Ketika aku menawarkan untuk periksa ke dokter, Lala menolak, dia bilang dia hanya perlu istirahat dan berbaring. Mana ada sakit perut akan sembuh hanya dengan berbaring, kalau agak mendingan mungkin masih bisa dimengerti.Kecurigaanku berlanjut ketika salat isya, Lala masih menolak salat berjamaah. Dan ketika dia sedang asyik dengan laptopnya di meja makan, aku diam-diam masuk kamar lalu memeriksa lemari pakaiannya. Awalnya tidak ada yang mencurigakan, tapi begitu aku p