Dalam hati aku ragu, apa aku akan rela melepaskan gadis secantik ini meski untuk keponakanku sendiri yang notabene kekasihnya. Tapi bukankah Allah telah mempermudah pernikahan kami, itu artinya kami memang berjodoh. Aku percaya itu.***Aku membawa Lala ke lantai dua ruko yang menjadi salah satu tempat usahaku. Gadis itu nampak terkejut ketika aku membawanya ke tempat ini. Mungkin dia tidak menyangka kalau akan tinggal di tempat yang sempit. Tapi aku ingin menguji seberapa keras sifat gadis ini. Apakah dia mau menjalani hari-harinya bersamaku di lantai dua ruko yang boleh dibilang tidak begitu layak untuk ditempati.Seperti dugaanku, Lala sangat keras kepala, manja dan tentu saja angkuh. Terbiasa hidup diantara para pelayan yang siap melayaninya kapan saja, Lala tidak tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Dia bahkan sama sekali tidak bisa membuat telur ceplok. Keterlaluan. Seharusnya aku marah karena telah menikahi gadis manja seperti Lala, tapi justru ini suatu tantangan bagiku. Apakah
Lala menolak ketika aku akan mengantarnya ke kampus. Aku mengerti, mungkin dia tidak ingin teman-temannya tahu kalau dia sudah punya suami, secara pernikahannya memang setengah dirahasiakan. Kemarin yang hadir hanya dua temannya saja. Selain itu, mungkin dia juga malu jika ketahuan bersuamikan aku. Pagi tadi Lala memang terlihat heran ketika melihatku berpakaian seperti ini. Mau bagaimana lagi, selain sudah nyaman karena sudah terbiasa, ini juga karena tuntutan pekerjaanku.Gadis itu tidak tahu pekerjaanku sebenarnya. Lala hanya tahu aku memiliki toko di sini, padahal itu hanya sampingan saja. Pekerjaan utamaku adalah mengajar. Aku mengajar di Madrasah Aliyah yang ada di lingkungan pesantren. Selain itu, sesekali aku juga diundang pada acara-acara tertentu di kampus atau menggantikan dosen yang tidak hadir. Biarlah, untuk saat ini, gadis itu tidak tahu tentang pekerjaanku itu. Kalau pun aku memberitahu, nanti dikiranya aku pamer. Untuk saat ini, Lala memang masih memandangku sebelah ma
Entah mengapa, aku sangat khawatir ketika mengetahui Lala berada di kantor Mamanya. Bisa jadi saat itu Dimas juga ada di sana, lalu berinisiatif mengantarkan Lala karena Mamanya Lala tidak akan curiga dan dia akan mengizinkan anaknya untuk pergi pulang bersama Dimas. Lala sendiri mungkin tidak bisa menolak perintah Mamanya itu.Dan benar saja, ketika sampai di parkiran, dari kejauhan aku melihat dua orang yang sedang berjalan. Yang kutahu salah satunya adalah Dimas. Karena badan Lala yang lebih pendek sedikit terhalang oleh jajaran mobil-mobil.Segera kupacu langkah dan setengah berlari untuk bisa segera sampai pada mereka. Aku melihat Dimas mendekat dan meraih tangan Lala dengan paksa. Samar-samar aku mendengar suara mereka yang sedikit keras."Oh, jadi sekarang kamu sudah pintar bernegosiasi? Apa pria norak itu yang mengajarimu?" Terdengar suara lantang Dimas. Aku yakin orang yang disebut sebagai pria norak itu adalah aku, lantaran dulu Dimas selalu menghina gaya berpakaianku yang k
Tak kusangka Dimas mengeluarkan pernyataan yang aku tahu itu adalah bohong. Aku sama sekali tidak percaya kalau Lala berusaha menggodanya. Selain itu Dimas juga berpura-pura tidak mengenalku. Sudah kuduga, pria itu takut kalau kebusukannya kubongkar pada Lala dan mertuaku. Meski tidak saat ini, aku akan mengungkapnya pelan-pelan.Akhirnya aku membawa Lala sambil menggandeng tangannya, untuk memberikan rasa aman pada gadis yang nampak sangat ketakutan. Tak kupedulikan pria bejad itu, meladeninya sama saja membuatnya senang. Karena Dimas memang suka keributan. Tapi sesampainya di mobil Lala nampak heran, karena selama ini dia memang belum tahu kalau aku menggunakan mobil, sebab mobil ini tidak terparkir di halaman ruko. Ada parkir khusus yang berjarak beberapa meter dari ruko tempatku membuka usaha.Lala nampak kacau dan kurang fokus sehingga dia lupa memasang sabuk pengaman. Aku yang masih kesal karena Lala tidak jujur dan meminta izin padaku sebelum berangkat ke kantor Mamanya tadi se
Sesampainya di rumah Mbak Renita aku tahu kalau diam-diam Lala mencari keberadaan Rendy. Ada rasa tidak suka didalam hatiku melihat wanita ini mencari pria lain. Tapi meski begitu aku menawarkan pada Lala untuk membantu menanyakan kabar Rendy pada Mamanya, tapi Lala menolak. Syukurlah, karena sesungguhnya di dalam hatiku memang tidak rela kalau Lala sampai kembali pada Rendy. Ya, aku sudah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.Pada satu kesempatan Mbak Renita mengajakku berbicara serius."Do, apa boleh Mbak minta satu hal lagi dari kamu?""Apa itu?""Mbak mohon, satu kali lagi saja kamu menolong Mbak.""Katakan saja. Bukankah dari dulu aku sudah terbiasa mengalah pada Mbak. Sejak kecil, aku tidak pernah menyangkal apapun yang Mbak inginkan, termasuk ketika Mbak tidak menerimaku di rumah ini. Sewaktu Ibuku meninggal dunia, aku harus pasrah tinggal di pesantren sebagai anak buangan.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu. Mbak minta maaf."Aku membuang nafas kasar, seenaknya dia minta ma
Subuh ini Lala tidak salat berjamaah denganku alasannya dia memang sedang di toilet lantaran perutnya sakit. Terpaksa aku salat duluan karena Lala tidak ada tanda-tanda akan segera keluar dari toilet. Saat itu aku percaya kalau Lala memang sedang kebelet di kamar mandi.Tapi begitu aku pulang dan salat Maghrib, Lala masih beralasan untuk tidak salat berjamaah, aku mulai curiga. Pasalnya dia menolak salat berjamaah magrib juga dengan alasan sakit perutnya. Wajahnya memang terlihat pucat, seperti yang menahan sakit pula. Ketika aku menawarkan untuk periksa ke dokter, Lala menolak, dia bilang dia hanya perlu istirahat dan berbaring. Mana ada sakit perut akan sembuh hanya dengan berbaring, kalau agak mendingan mungkin masih bisa dimengerti.Kecurigaanku berlanjut ketika salat isya, Lala masih menolak salat berjamaah. Dan ketika dia sedang asyik dengan laptopnya di meja makan, aku diam-diam masuk kamar lalu memeriksa lemari pakaiannya. Awalnya tidak ada yang mencurigakan, tapi begitu aku p
"Argh!! Jadi kamu menipuku, menipu Rendy dan semua keluargaku?! Kenapa kamu mempermainkan pernikahan, memfitnah Rendy dan mencoreng nama baik keluarga kami?!" Aku bergerak maju dan meraih kedua bahunya lalu mengguncangkannya. Aku benar-benar marah saat ini. Kebohongan gadis ini telah memporak-porandakan impianku. Aku sedang membangun mimpiku di masa depan tapi dengan menikahinya semuanya hancur.Kuhempaskan tubuh ini ke atas ranjang. Sementara gadis itu hanya diam saja, sepertinya dia pasrah apapun yang akan aku lakukan padanya. Aku beristigfar dalam hati, sudah cukup marahku, aku laki-laki normal punya ambisi dan amarah. Tapi aku harus ingat tidak ada yang terjadi kecuali atas izin dan kehendak Allah. Bukankah dari awal aku berusaha menerima Lala sebagai istriku, sebagai jodoh yang terbaik yang Allah berikan padaku. Bukankah sebelum ini aku sudah merasakan getar-getar itu. Berdebar saat bersamanya. Selalu merindukannya saat aku jauh darinya, hanya saja selama ini aku belum berani m
Aksi pura-pura marahku berlanjut sampai pagi. Aku harus kuat untuk tidak berinteraksi dulu dengan Lala supaya aktingku sempurna. Dan benar saja, malamnya Lala kembali membahasnya. Tentu saja aku juga harus jual mahal. "Aku pamit Om. Jika kehadiranku disini hanya mengganggu saja, lebih baik aku tidak ada. Semoga setelah aku pergi Om bisa membangun kembali mimpi yang sempat aku hancurkan." Gadis keluar kamar sambil membawa trolly bag-nya. Sejenak aku tertegun, apa Lala akan se-nekad itu? Rasanya tidak mungkin, memangnya dia mau ke mana malam-malam begini. Kubiarkan saja, setelah ini, Lala pasti akan kembali ke kamar.Tapi di luar dugaan, gadis itu melangkah menuju pintu. Kita lihat saja, La. Sampai di lantai bawah, kamu pasti akan kembali. Gengsi, lah, kalau aku menahannya apalagi memohon supaya dia tidak jadi pergi.Akan tetapi setelah beberapa saat, Lala tidak jugalah kembali. Aku mulai khawatir kalau dia benar-benar nekad. Lebih baik aku pantau saja melalui aplikasi WA-nya. Lantaran
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong