"Argh!! Jadi kamu menipuku, menipu Rendy dan semua keluargaku?! Kenapa kamu mempermainkan pernikahan, memfitnah Rendy dan mencoreng nama baik keluarga kami?!" Aku bergerak maju dan meraih kedua bahunya lalu mengguncangkannya. Aku benar-benar marah saat ini. Kebohongan gadis ini telah memporak-porandakan impianku. Aku sedang membangun mimpiku di masa depan tapi dengan menikahinya semuanya hancur.Kuhempaskan tubuh ini ke atas ranjang. Sementara gadis itu hanya diam saja, sepertinya dia pasrah apapun yang akan aku lakukan padanya. Aku beristigfar dalam hati, sudah cukup marahku, aku laki-laki normal punya ambisi dan amarah. Tapi aku harus ingat tidak ada yang terjadi kecuali atas izin dan kehendak Allah. Bukankah dari awal aku berusaha menerima Lala sebagai istriku, sebagai jodoh yang terbaik yang Allah berikan padaku. Bukankah sebelum ini aku sudah merasakan getar-getar itu. Berdebar saat bersamanya. Selalu merindukannya saat aku jauh darinya, hanya saja selama ini aku belum berani m
Aksi pura-pura marahku berlanjut sampai pagi. Aku harus kuat untuk tidak berinteraksi dulu dengan Lala supaya aktingku sempurna. Dan benar saja, malamnya Lala kembali membahasnya. Tentu saja aku juga harus jual mahal. "Aku pamit Om. Jika kehadiranku disini hanya mengganggu saja, lebih baik aku tidak ada. Semoga setelah aku pergi Om bisa membangun kembali mimpi yang sempat aku hancurkan." Gadis keluar kamar sambil membawa trolly bag-nya. Sejenak aku tertegun, apa Lala akan se-nekad itu? Rasanya tidak mungkin, memangnya dia mau ke mana malam-malam begini. Kubiarkan saja, setelah ini, Lala pasti akan kembali ke kamar.Tapi di luar dugaan, gadis itu melangkah menuju pintu. Kita lihat saja, La. Sampai di lantai bawah, kamu pasti akan kembali. Gengsi, lah, kalau aku menahannya apalagi memohon supaya dia tidak jadi pergi.Akan tetapi setelah beberapa saat, Lala tidak jugalah kembali. Aku mulai khawatir kalau dia benar-benar nekad. Lebih baik aku pantau saja melalui aplikasi WA-nya. Lantaran
Aku berbalik untuk mengambil kunci mobil ke atas. Selain itu aku juga perlu berganti pakaian. Menggunakan kaos lengan panjang yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sengaja aku membelinya dan memakainya supaya Lala senang Bukankah selama ini Lala tidak suka kalau melihatku menggunakan Koko pendek. Dan benar saja ketika aku turun Lala begitu lama menatapku seakan dia terpesona melihat penampilanku ini. Aku mengartikannya seperti itu."Jadi benar kata Mitha, kalau kamu kangen sama aku?" Tanyaku dengan wajah yang kubuat sedatar mungkin."Jangan percaya Mitha, Dia berbohong!"Gadis itu menjawab cepat sambil terbelalak tapi rona merah dipipinya tidak bisa membohongiku."Yang bohong itu Mitha apa kamu, buktinya kamu ngeliatin aku terus. Sepertinya itu tanda kalau kamu kangen sama aku."Gadis itu terlihat makin kesal, tapi aku suka melihatnya. Waktu lagi aku segera mengajaknya pergi ke rumah sakit untuk menemui mamanya. ***Selama di rumah sakit, aku menggunakan kesempatan itu un
"Sebelum gue tidak bisa menahan diri, sebaiknya lo pergi dari sini!""Gak usah ngusir gue, sebab yang sebaiknya pergi itu lo. Gue di sini menemani istri gue, sementara lo cuma menantunya. Itu pun kalau dianggap. Lo 'kan cuma menantu dadakan, menantu yang tidak diharapkan dan bukan menantu sesungguhnya."Tak tahan mendengar ejekan yang terus-terusan dilontarkan dari mulut busuknya itu, akhirnya satu pukulan mendarat di rahang Dimas. Pria itu tersenyum menyeringai sambil memegangi rahangnya yang baru saja terkena tinjuku."Pergi, atau gue beberkan semuanya sama Mama mertua gue," ancamku."Apa yang mau lo beberkan sama istri gue? Memangnya lo tau apa tentang gue?""Gue tahu tentang Ella, tentang Friska, tentang Lidya, gue tahu semuanya."Dimas diam, perlahan tangannya terangkat lalu mengusap dagunya. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku tahu bagaimana masa lalunya di kampus dulu. Friska dan Lidya adalah gadis yang terenggut kesuciannya oleh Dimas. Ella malah sempat hamil, aku tidak tahu
[Kita ketemu di cafe biasa siang ini. Aku harap kamu bisa datang, La.]Aku tersentak kaget ketika mendapati ada pesan masuk ke dalam aplikasi milik Lala. Pesan itu masuk beberapa jam yang lalu. Saat ini aku baru saja keluar dari kelas, ketika memeriksa pesan dari Lala yang mengatakan bahwa tidak usah menjemputnya lantaran dia ada tugas yang akan dikerjakan di rumah Mitha. Tapi setelah diperiksa ternyata ada satu pesan yang masuk sebelumnya ke nomor Lala. Dan yang membuatku kaget, pesan itu dikirim oleh nomor Rendy. Lagi, Lala berbohong padaku untuk bertemu dengan Rendy.Aku bersiap pulang dan bermaksud untuk mengikuti mereka ke cafe itu. Tapi di dalam pesan tidak disebutkan cafe mana yang akan mereka tuju. Rendy hanya menyebutkan cafe biasa, itu artinya cafe yang dulu biasa mereka gunakan untuk bertemu. Tapi di mana?Sambil menyetir aku mencoba mengingat-ingat atau menebak di cafe mana mereka akan bertemu. Apa mungkin di cafe yang dulu pertama mereka janjikan dan tidak sempat bertemu.
"Waktu itu aku mengatakannya hanya untuk meyakinkan Lala dan semuanya, supaya mereka tidak khawatir. Lagipula saat itu aku berpikir bahwa gadis yang kunikahi adalah gadis broken home yang mencari kesenangan diluar. Tapi setelah aku hidup bersamanya dan mengenalnya, aku baru tahu Lala tak sehina itu. Dan bagiku, menikah hanya sekali, jika aku melepaskan Lala berarti aku mempermainkan pernikahan itu sendiri.""Tidak bisa, aku ingin kembali pada Lala. Aku harap Om mau melepaskannya untukku.""Kalau aku bersikeras bilang tidak, kamu mau apa? Apalagi sekarang kami sudah saling jatuh cinta. Aku mencintainya begitupun Lala.""Apa?!" Lala kaget dengan apa yang aku bicarakan barusan."Sayang ... Apa kamu akan menyangkalnya di depan Rendy? Bukankah kita sudah saling mengungkapkan perasaan itu?" Perlahan Aku berjalan mendekat ke arahnya lalu meraih tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukan. Kudekatkan wajah ini sambil berbisik."Iyakan saja, jangan menyangkal." Ku akhiri dengan kecupan di kepalan
Saat ini kami sedang berada di sebuah restoran ternama yang aku tahu ini adalah restoran favorit keluarga Lala. Meskipun pada awalnya Lala terlihat ragu lantaran aku membawanya masuk restoran mahal ini. Setahu Lala penghasilanku hanya dari toko alat tulis itu, jadi pantas kalau dia meragukan keuanganku.Beberapa saat yang lalu, Lala bertanya tentang sikapku di depan Rendy tadi. Dan seperti dugaanku Lala tidak percaya kalau itu datang dari dalam hatiku, bukan rekayasa atau sandiwara di depan Rendy."Kalau aku bilang bahwa aku jatuh cinta beneran padamu, kamu percaya enggak?" tanyaku serius dan kalimat itu sukses membuat matanya membola sempurna. "Eng-gak .... " Dia menggeleng perlahan dengan mata masih fokus padaku."Sudah kuduga .... " jawabku sambil terkekeh."Jangan bercanda, Om. Aku tahu kriteria istri idaman Om itu bukan seperti aku. Jadi mana mungkin Om jatuh cinta padaku."Aku tersenyum masam mendengar alasan yang Lala ungkapkan. Dia belum mengerti saja bahwa cinta berlabuh tan
Pov Lala"Kamu kok, tegang begitu, La. Santai saja, ini di luar pelajaran saya, kok. Saya tidak akan membahas masalah pelajaran maupun tausiyah." Wanita di hadapanku ini tersenyum manis sekali. Harus kuakui Bu Zaskia memang cantik dan anggun. Siang ini Bu Zaskia mengajakku makan di cafe yang berada di sebelah kampus."Wajar saja kalau saya gugup, Bu. Soalnya baru kali ini saya diajak makan sama ibu." Aku berkata jujur, karena memang heran dengan perubahan sikap Bu Zaskia sejak kami bertemu di mall waktu itu."Santai saja, La. Saya cuma mau lebih dekat saja sama kamu." Lagi, senyumnya mengembang sempurna.Aku memicingkan mata. Bu Zaskia mau lebih dekat denganku? Apa tidak salah? Seharusnya aku yang ingin lebih dekat dengan seorang dosen, bukan sebaliknya. Tapi mungkin ada alasan tertentu bagi Bu Zaskia."Enggak salah, Bu?" tanyaku setelah selesai menyuap."Ya nggak, dong." "Kalau boleh saya tahu alasannya?""Alasannya .... " Wanita di hadapanku ini tersenyum malu-malu."Kamu mau denga
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong