"Sebelum gue tidak bisa menahan diri, sebaiknya lo pergi dari sini!""Gak usah ngusir gue, sebab yang sebaiknya pergi itu lo. Gue di sini menemani istri gue, sementara lo cuma menantunya. Itu pun kalau dianggap. Lo 'kan cuma menantu dadakan, menantu yang tidak diharapkan dan bukan menantu sesungguhnya."Tak tahan mendengar ejekan yang terus-terusan dilontarkan dari mulut busuknya itu, akhirnya satu pukulan mendarat di rahang Dimas. Pria itu tersenyum menyeringai sambil memegangi rahangnya yang baru saja terkena tinjuku."Pergi, atau gue beberkan semuanya sama Mama mertua gue," ancamku."Apa yang mau lo beberkan sama istri gue? Memangnya lo tau apa tentang gue?""Gue tahu tentang Ella, tentang Friska, tentang Lidya, gue tahu semuanya."Dimas diam, perlahan tangannya terangkat lalu mengusap dagunya. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku tahu bagaimana masa lalunya di kampus dulu. Friska dan Lidya adalah gadis yang terenggut kesuciannya oleh Dimas. Ella malah sempat hamil, aku tidak tahu
[Kita ketemu di cafe biasa siang ini. Aku harap kamu bisa datang, La.]Aku tersentak kaget ketika mendapati ada pesan masuk ke dalam aplikasi milik Lala. Pesan itu masuk beberapa jam yang lalu. Saat ini aku baru saja keluar dari kelas, ketika memeriksa pesan dari Lala yang mengatakan bahwa tidak usah menjemputnya lantaran dia ada tugas yang akan dikerjakan di rumah Mitha. Tapi setelah diperiksa ternyata ada satu pesan yang masuk sebelumnya ke nomor Lala. Dan yang membuatku kaget, pesan itu dikirim oleh nomor Rendy. Lagi, Lala berbohong padaku untuk bertemu dengan Rendy.Aku bersiap pulang dan bermaksud untuk mengikuti mereka ke cafe itu. Tapi di dalam pesan tidak disebutkan cafe mana yang akan mereka tuju. Rendy hanya menyebutkan cafe biasa, itu artinya cafe yang dulu biasa mereka gunakan untuk bertemu. Tapi di mana?Sambil menyetir aku mencoba mengingat-ingat atau menebak di cafe mana mereka akan bertemu. Apa mungkin di cafe yang dulu pertama mereka janjikan dan tidak sempat bertemu.
"Waktu itu aku mengatakannya hanya untuk meyakinkan Lala dan semuanya, supaya mereka tidak khawatir. Lagipula saat itu aku berpikir bahwa gadis yang kunikahi adalah gadis broken home yang mencari kesenangan diluar. Tapi setelah aku hidup bersamanya dan mengenalnya, aku baru tahu Lala tak sehina itu. Dan bagiku, menikah hanya sekali, jika aku melepaskan Lala berarti aku mempermainkan pernikahan itu sendiri.""Tidak bisa, aku ingin kembali pada Lala. Aku harap Om mau melepaskannya untukku.""Kalau aku bersikeras bilang tidak, kamu mau apa? Apalagi sekarang kami sudah saling jatuh cinta. Aku mencintainya begitupun Lala.""Apa?!" Lala kaget dengan apa yang aku bicarakan barusan."Sayang ... Apa kamu akan menyangkalnya di depan Rendy? Bukankah kita sudah saling mengungkapkan perasaan itu?" Perlahan Aku berjalan mendekat ke arahnya lalu meraih tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukan. Kudekatkan wajah ini sambil berbisik."Iyakan saja, jangan menyangkal." Ku akhiri dengan kecupan di kepalan
Saat ini kami sedang berada di sebuah restoran ternama yang aku tahu ini adalah restoran favorit keluarga Lala. Meskipun pada awalnya Lala terlihat ragu lantaran aku membawanya masuk restoran mahal ini. Setahu Lala penghasilanku hanya dari toko alat tulis itu, jadi pantas kalau dia meragukan keuanganku.Beberapa saat yang lalu, Lala bertanya tentang sikapku di depan Rendy tadi. Dan seperti dugaanku Lala tidak percaya kalau itu datang dari dalam hatiku, bukan rekayasa atau sandiwara di depan Rendy."Kalau aku bilang bahwa aku jatuh cinta beneran padamu, kamu percaya enggak?" tanyaku serius dan kalimat itu sukses membuat matanya membola sempurna. "Eng-gak .... " Dia menggeleng perlahan dengan mata masih fokus padaku."Sudah kuduga .... " jawabku sambil terkekeh."Jangan bercanda, Om. Aku tahu kriteria istri idaman Om itu bukan seperti aku. Jadi mana mungkin Om jatuh cinta padaku."Aku tersenyum masam mendengar alasan yang Lala ungkapkan. Dia belum mengerti saja bahwa cinta berlabuh tan
Pov Lala"Kamu kok, tegang begitu, La. Santai saja, ini di luar pelajaran saya, kok. Saya tidak akan membahas masalah pelajaran maupun tausiyah." Wanita di hadapanku ini tersenyum manis sekali. Harus kuakui Bu Zaskia memang cantik dan anggun. Siang ini Bu Zaskia mengajakku makan di cafe yang berada di sebelah kampus."Wajar saja kalau saya gugup, Bu. Soalnya baru kali ini saya diajak makan sama ibu." Aku berkata jujur, karena memang heran dengan perubahan sikap Bu Zaskia sejak kami bertemu di mall waktu itu."Santai saja, La. Saya cuma mau lebih dekat saja sama kamu." Lagi, senyumnya mengembang sempurna.Aku memicingkan mata. Bu Zaskia mau lebih dekat denganku? Apa tidak salah? Seharusnya aku yang ingin lebih dekat dengan seorang dosen, bukan sebaliknya. Tapi mungkin ada alasan tertentu bagi Bu Zaskia."Enggak salah, Bu?" tanyaku setelah selesai menyuap."Ya nggak, dong." "Kalau boleh saya tahu alasannya?""Alasannya .... " Wanita di hadapanku ini tersenyum malu-malu."Kamu mau denga
Setelah kami saling tatap sesaat, Bu Zaskia melanjutkan lagi ceritanya."Suatu hari motor saya masuk bengkel dan Mas Faldo terpaksa mengantarkan saya ke rumah. Saat itulah dia bertemu dengan Ayah dan tanpa disangka Ayah berkata kepada Mas Faldo. Ayah bilang begini, 'Ayah tidak tahu apakah kalian pacaran atau tidak, yang jelas menurut pengakuan Zaskia dia tidak punya pacar dan tidak akan pernah pacaran. Tapi jika kalian memang punya perasaan sebaiknya ditunda dulu, sebab kalian sama-sama masih kuliah dan sama-sama punya cita-cita. Lagi pula Ayah tidak akan mengijinkan putri Ayah menikah dengan pemuda yang belum mapan.' Saya tahu saat itu Ayah berkata seperti itu karena khawatir terjadi sesuatu pada anak gadisnya ini. Mas Faldo pun saat itu hanya mengiyakan saja dan menampik bahwa kami memang tidak pacaran, kami hanya berteman dan kebetulan motor saya ada di bengkel." Mata lentik Bu Zaskia menerawang. Wajahnya berbinar, mungkin dia sedang mengingat masa-masa indah saat kuliah dulu."Mu
"Jadi waktu kamu naik taksi bareng saya dan berhenti di komplek ruko itu .... ?" Tangan Bu Zaskia mengetuk keningnya."I-ya, saat itu aku pulang ke tempat Om Do karena kami tinggal di sana." Aku berkata ragu sebab ketahuan berbohong. Bahaya ini, bisa-bisa aku dicap tukang bohong oleh Bu Zaskia."Kenapa kamu tidak jujur? Apa kamu malu punya Om yang tinggal di ruko?"Aku menyeringai. Sementara wanita anggun dihadapanku menggeleng perlahan. "Aku pikir selama ini kalian tinggal di rumah Mas Faldo.""Rumah?!" Sontak mataku melebar. Tak percaya kalau Om Do punya rumah. Tapi kemudian aku mengangguk, itu bisa saja terjadi lantaran mobil pun awalnya dia rahasikan."Iya. Rumah yang tidak jauh dari ruko itu.""Aku enggak tahu kalau Om punya rumah.""Astagfirullah ... kalian itu Om dan ponakan macam apa sih! Kok, tidak saling mengenal begitu?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Entah sudah seperti apa rupaku sekarang. Duh, sandiwara ini memang tanpa skenario, aku jadi repot sendiri dibuatn
"Kalian ngobrol apa saja?""Mau tahu atau mau tahu banget?" Aku mencoba berseloroh."Aku tak punya waktu untuk bermain teka-teki." Tak kusangka Om Do menjawab dengan ketus."Beliau bercerita banyak hal, terutama masa-masa dia di pesantren dulu." Kulirik sekilas wajah pria di sampingku, sedikit kaget tapi dengan cepat ia bisa menguasai dirinya."Lalu?""Om kelihatannya penasaran banget. Bukankah dulu Om satu pesantren dengan dia?""Di pesantren itu, santriwan dan santriwati terpisah. Jadi meskipun kami satu pesantren kami tidak begitu banyak berinteraksi.""Terus bagaimana kalau misalkan ada seorang santriwati menyukai santriwan atau sebaliknya.""Kalau suka, ya, suka aja.""Maksudnya bagaimana kalian berinteraksi atau pacaran kalau pergaulan kalian dibatasi.""Kami tidak pacaran dan dilarang pacaran. Sebenarnya bukan di pesantren saja, semuanya memang disarankan untuk tidak berpacaran dan kami sebagai santri dan santriwati yang sudah tahu itu jadi ... tidak terbebani.""Jadi kalau kit