"Jadi waktu kamu naik taksi bareng saya dan berhenti di komplek ruko itu .... ?" Tangan Bu Zaskia mengetuk keningnya."I-ya, saat itu aku pulang ke tempat Om Do karena kami tinggal di sana." Aku berkata ragu sebab ketahuan berbohong. Bahaya ini, bisa-bisa aku dicap tukang bohong oleh Bu Zaskia."Kenapa kamu tidak jujur? Apa kamu malu punya Om yang tinggal di ruko?"Aku menyeringai. Sementara wanita anggun dihadapanku menggeleng perlahan. "Aku pikir selama ini kalian tinggal di rumah Mas Faldo.""Rumah?!" Sontak mataku melebar. Tak percaya kalau Om Do punya rumah. Tapi kemudian aku mengangguk, itu bisa saja terjadi lantaran mobil pun awalnya dia rahasikan."Iya. Rumah yang tidak jauh dari ruko itu.""Aku enggak tahu kalau Om punya rumah.""Astagfirullah ... kalian itu Om dan ponakan macam apa sih! Kok, tidak saling mengenal begitu?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Entah sudah seperti apa rupaku sekarang. Duh, sandiwara ini memang tanpa skenario, aku jadi repot sendiri dibuatn
"Kalian ngobrol apa saja?""Mau tahu atau mau tahu banget?" Aku mencoba berseloroh."Aku tak punya waktu untuk bermain teka-teki." Tak kusangka Om Do menjawab dengan ketus."Beliau bercerita banyak hal, terutama masa-masa dia di pesantren dulu." Kulirik sekilas wajah pria di sampingku, sedikit kaget tapi dengan cepat ia bisa menguasai dirinya."Lalu?""Om kelihatannya penasaran banget. Bukankah dulu Om satu pesantren dengan dia?""Di pesantren itu, santriwan dan santriwati terpisah. Jadi meskipun kami satu pesantren kami tidak begitu banyak berinteraksi.""Terus bagaimana kalau misalkan ada seorang santriwati menyukai santriwan atau sebaliknya.""Kalau suka, ya, suka aja.""Maksudnya bagaimana kalian berinteraksi atau pacaran kalau pergaulan kalian dibatasi.""Kami tidak pacaran dan dilarang pacaran. Sebenarnya bukan di pesantren saja, semuanya memang disarankan untuk tidak berpacaran dan kami sebagai santri dan santriwati yang sudah tahu itu jadi ... tidak terbebani.""Jadi kalau kit
"Pak Sulaeman gak datang, gaees," teriak Fito sambil berhambur masuk kelas."Serius?!" tanya beberapa teman-temanku antusias."Si Fito paling cuma berharap," sahut Kinara santai sambil merapikan riasannya, tatapannya fokus pada cermin kecil di tangan kirinya. Di kelas ini dia terkenal paling memperhatikan penampilan, baik pakaian maupun riasan wajah. "Gue serius. Barusan gue dari parkiran, dan mobil Pak Sulaeman gak ada di sana. Itu artinya .... ""Dia ke kampus naik motor, ha-ha-ha .... " Galih memotong kalimat Fito yang kemudian disambut gelak tawa yang lainnya."Beneran!" Lama-lama Fito merasa kesal karena tidak ada yang mempercayainya. Lagipula selama ini pemuda berambut ikal itu dikenal sebagai tukang prank."Kalau Pak Sulaeman gak datang, biasanya beliau memberikan tugas. Ini sudah lewat sepuluh menit belum ada. Paling beliau terlambat." Itu suara Yoga, mahasiswa paling aktif di kelas ini yang merangkap sebagai asisten dosen.Dari awal aku tidak berminat menimbrung obrolan mere
Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menggantikan Pak Sulaeman. Lagi pula, apa Om Do bisa mengajar? Ah, bukankah dia kuliah di fakultas yang sama dengan Bu Zaskia?Aku kembali memutar bola mata dan membuang napas berat. Sementara pria itu tersenyum tipis ke arahku lalu mengedarkan pandangan ke arah teman-temanku."Lala ini baru saja hijrah loh, Pak. Baru beberapa bulan yang lalu dia berkerudung. Awalnya dia selalu tampil memakai celana jeans dan kaos oblong juga topi. Kali aja dia perlu pembimbing untuk hijrah. Kayaknya cocok sama Bapak." Tak disangka Fito menyeru, sontak saja mendapat teriakkan dari teman-temanku. Kulirik Ghea dan Mitha, keduanya tertawa cekikikan."Oh ya, bagus lah bisa buat contoh juga buat yang lainnya, bahwa cewek tomboy yang berkaos oblong dan celana jeans juga bisa merubah penampilannya seperti sekarang ini, lebih cantik dan elegan. Boleh ... boleh, bisa saja, kalau misalkan ada yang perlu di diskusikan atau ditanyakan bisa hubungi saya." Pria berkumis tipis da
"La! Lala tunggu!" Mitha berusaha menyusul dan mengimbangi langkahku."Jadi, lo beneran enggak tahu kalau suami lo seorang dosen?" Mitha bertanya dengan nafas tersengal."Sttt ... jangan kenceng-kenceng! Gue bener nggak tahu apa-apa tentang dia. Gue tahunya dia punya toko doang. Dan sehari-hari dia memang tidak di ruko. Om Do pergi entah kemana lantaran baru sekarang aku tahu kalau pekerjaannya seorang pengajar. Tapi nggak tahu di universitas mana sebenarnya dia mengajar.Bukankah di kota ini cuma ada dua perguruan tinggi? Yang ini dan Universitas swasta yang dekat pusat kota itu.""Bentar, lo bilang ruko? Om Do punya toko?" tanya Ghea yang belum tahu kalau aku tinggal di ruko karena waktu itu hanya Mitha yang menjemputku ketika aku kabur."Iya, Om Do punya ruko dan selama ini gue tinggal di lantai dua rukonya.""Apa?! Jadi enggak tinggal di rumah?! Ya ampun, gue kira selama ini lo tinggal di rumah. Kenapa lo enggak kabur aja, sih, La. Kalau gue gak mau deh, harus tinggal di ruko gitu.
"Tapi kalimat dan nada bicaramu meng-iya-kan." Pede sekali Om Do berkata seperti itu."Itu perasaan Om Do saja yang kegeeran.""Tapi aku senang kalau kamu cemburu.""Jangan berharap!""Aku berharap, sangat berharap." Aku tidak tahu bagaimana raut wajahnya ketika mengucapkan kalimat itu karena aku masih fokus ke luar jendela. Tanpa sadar aku tersenyum tipis karena tiba-tiba saja hatiku terasa hangat. Apalagi ketika aku merasakan jemari Om Do kembali meraih tanganku. Menggenggamnya lalu meletakkannya di atas paha kirinya. Aku tahu karena aku sedikit mengintip, lalu kembali kupalingkan wajah keluar jendela ketika aku merasakan pipiku juga menghangat. "Lihat ke sini, aku suka melihat pipimu yang memerah itu."Tuhan, tolong redakan gemuruh ini.***"Selama pacaran dengan Rendy, kamu sudah diapain saja?" Pertanyaan itu sontak membuat aku menoleh."Om jangan sembarangan, ya, aku enggak pernah diapa-apain sama Rendy!" Aku menjawab dengan nada sedikit tinggi."Kalau gak diapa-apain, kok, bis
"Huum, alhamdulillah Kiai Mustofa memberiku pekerjaan setelah aku lulus Madrasah Aliyah. Sambil kuliah, aku mengamalkan ilmuku di sini.""Kenapa Om tidak jadi dosen tetap saja dia kampus?"Tempo hari aku sempat bertanya kenapa Om Do bisa mengajar di kelasku. Dia bilang, dia sudah biasa menggantikan beberapa dosen yang kebetulan berhalangan."Di sana aku juga mendapat tawaran, tapi aku lebih memilih untuk mengajar di pesantren, lantaran Kiai Mustofa sudah begitu banyak membantuku ketika aku tidak dianggap keluarga oleh kakak-kakakku dan Ayah mengirimku ke pesantren ini.""Maksudnya, oleh Tante Renita? Eum ... maaf, Mbak Renita?""Ya, ceritanya panjang. Sekarang kita temui dulu Kiai Mustofa. Aku sudah bercerita tentang istriku yang cantik dan keras kepala ini pada beliau. Dan beliau memintaku untuk membawamu ke sini. Tenang saja, beliau orangnya sangat baik." Om Do meraih tanganku lalu mengajakku melangkah."Kenapa santrinya laki-laki semua?"Sebelum menjawab, Om Do terkekeh."Bukankah
Selanjutnya, tanpa aku minta, Ummi Fathimah menceritakan semuanya perihal Om Do. Tentang Tante Renita dan kakaknya yang lain. Pantas saja, selama ini aku melihat hubungan mereka tidak harmonis. Hubungan yang tidak nampak seperti kakak dan adik. "Ummi sangat mengerti bagaimana posisi Ibunya Faldo yang dianggap perebut suami orang oleh kakak-kakaknya Faldo. Posisi istri kedua memang selalu salah di mata orang. Mereka dengan mudah menghakimi dan mengambil kesimpulan tanpa mau mencari kebenarannya terlebih dahulu. Padahal Ibunya Faldo mau menerima lamaran pria itu atas izin dari istri pertama. Tapi tetap saja, pandangan buruk terhadap istri kedua itu tetap melekat." Ummi Fathimah menghela napas panjang ia seperti dapat merasakan bagaimana jadi Ibunya Om Do saat itu.Sejak awal Ummi Fathimah bercerita, aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi di akhir cerita Ummi, aku merasakan sesak yang sama. Bagaimana saat itu Om Do dibesarkan oleh seorang Ibu tanpa ada pengakuan dari kakak-kakakn
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong