Selanjutnya, tanpa aku minta, Ummi Fathimah menceritakan semuanya perihal Om Do. Tentang Tante Renita dan kakaknya yang lain. Pantas saja, selama ini aku melihat hubungan mereka tidak harmonis. Hubungan yang tidak nampak seperti kakak dan adik. "Ummi sangat mengerti bagaimana posisi Ibunya Faldo yang dianggap perebut suami orang oleh kakak-kakaknya Faldo. Posisi istri kedua memang selalu salah di mata orang. Mereka dengan mudah menghakimi dan mengambil kesimpulan tanpa mau mencari kebenarannya terlebih dahulu. Padahal Ibunya Faldo mau menerima lamaran pria itu atas izin dari istri pertama. Tapi tetap saja, pandangan buruk terhadap istri kedua itu tetap melekat." Ummi Fathimah menghela napas panjang ia seperti dapat merasakan bagaimana jadi Ibunya Om Do saat itu.Sejak awal Ummi Fathimah bercerita, aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi di akhir cerita Ummi, aku merasakan sesak yang sama. Bagaimana saat itu Om Do dibesarkan oleh seorang Ibu tanpa ada pengakuan dari kakak-kakakn
"Na'am. Faldo pernah bercerita perihal Zaskia sama Ummi dan Abah Yai. Bahkan Abah Yai pernah bilang pada faldo, bahwa jika seorang wanita adalah jodohmu, maka Allah akan mempermudah jalannya. Saat itu Faldo tetap bersikeras untuk memperjuangkan Zaskia dengan bekerja keras. Namun sekarang Faldo mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Abah Yai waktu itu adalah benar. Allah memudahkan jalan pernikahan kalian itu artinya kalian adalah jodoh. Perihal Zaskia biar nanti Faldo yang akan menjelaskannya perlahan-lahan.""Tapi saya merasa bersalah pada Bu Zaskia , Ummi .... ""Kenapa merasa bersalah? Zaskia dan Faldo tidak pernah ada komitmen.""Selama ini Bu Zaskia telah melewatkan banyak waktu untuk menunggu Om Do.""Siapa?! Om Do?" Kedua alis Ummi Fatimah bertaut. Sementara kedua tanganku langsung menutupi mulut karena kaget."Maksud saya Mas .... ""Apa sehari-hari kamu memanggil dia sebutan sebutan Om?""Saya .... ""Sayang, dia itu suami kamu. Surga dan nerakamu terletak pada dia. Jika kamu
"Sekali-kali kalian menginaplah di sini. Ummi ingin lebih dekat lagi dengan istrimu," pesan Ummi pada Om Do ketika kami berpamitan. "Insyaallah Ummi, besok-besok kami niatkan untuk menginap semalam atau dua malam di sini, kalau kebetulan Lala sedang libur kuliah. Benar 'kan, Sayang?" Om Do beralih menatapku. Di depan Ummi, kata sayang tidak luput dia ucapkan untukku. Ini yang membuat aku kerap tersipu."I-ya, Mas," jawabku gugup. Bagaimana tidak, sandiwara ini diperankan dengan baik oleh Om Do, dia berlaku manis dan mesra padaku, sementara mau tidak mau aku harus mengimbanginya."Ummi akan senang sekali kalau kalian mau menginap di sini." Ummi Fathimah mendekat dan mengusap pundakku dengan lembut. Dari sejak kami bertemu tadi, aku merasa tenang berada di dekat wanita paruh baya ini. Sikapnya yang lemah lembut membuat semua wejangan dan nasehatnya begitu enak didengar."Kapan kalian pindah rumah?" tanya Ummi yang membuat Om Do seketika menoleh padaku. Dia kira aku belum tahu perihal r
"Ya ... dari cerita Ummi aku jadi mengerti semuanya."Aku jadi teringat apa yang sering dikatakan Rendy tentang Om Do, dia bilang Om-nya ini enggak jelas dan menyebalkan. Sekarang aku mengerti, itu bisa saja karena memang Rendy tidak satu prinsip dan pemikiran dengan Om Do. Atau bisa juga karena Rendy dan Om Do punya dendam lama dan hubungan yang tidak harmonis. Ternyata selama ini aku sudah terpengaruh oleh omongan Rendy tentang Om-nya ini."Sekarang kamu ngerti kenapa Rendy kerap menjelek-jelekkan aku dan membuat kesan bahwa aku ini orang yang tidak menyenangkan?"Deg!Aku kembali merasa tertampar. Aku memang terpengaruh oleh semua omongan ready tentang diri pria ini. "Setelah tahu cerita yang sebenarnya, silakan nilai aku dari apa yang kamu tahu bukan dari apa yang kamu dengar dari Rendy," ucap Om Do tenang.Aku diam menunduk. Merasakan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Ketika pertama aku bertemu dengan Om Do, tepat di hari pria ini menghalalkanku, aku sangat membencinya. Juju
"Seseorang melakukan kesalahan tidak selamanya karena disengaja. Adakalanya kita berbuat salah karena memang kita tidak paham. Mungkin itu yang sedang terjadi padamu. Dan aku bisa memakluminya." Aku merasakan tangannya mengusap ujung kepalaku. "Sekarang, mari kita sama-sama memperbaiki kesalahan kita masing-masing. Mau 'kan?" lanjutnya, lalu meregangkan pelukan hingga dia bisa leluasa menatapku.Aku menunduk lalu mengangguk perlahan. Mungkin sudah waktunya untuk memperbaiki diri. Yang kupikirkan sekarang, bagaimana aku bisa hidup dengan seseorang yang bisa membantuku keluar dari permasalahan Om Dimas. Seseorang yang bisa membuat Mama terbuka mata hatinya. Dan aku yakin Om Do bisa melakukan itu. Karena dia yang sudah tahu seluk beluk tentang Om Dimas. Sementara aku meragukan kalau Rendy bisa melindungiku bahkan berbuat lebih. Aku pernah beberapa kali mengadu pada Rendy perihal sikap Mama padaku setelah menikah dengan Om Dimas. Saat itu jawaban Rendi setengah membenarkan sikap Mama dan
Apa yang telah terjadi dengan hatiku? Tidak mungkin secepat ini aku jatuh cinta. Bukankah dulu untuk mendapatkan aku, Rendy harus menunggu beberapa lama. Aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta, apalagi pada pria yang awalnya sangat menyebalkan ini. Mobil baru saja melaju kembali ketika ponselku berbunyi. Seketika aku berusaha mengeluarkan benda itu dari dalam tasku. Sebuah pesan masuk dari nama Rendy, aku menghela panjang sebelum memutuskan untuk menyimpan kembali benda itu."Siapa?" tanya Om Do penasaran, mungkin karena aku tidak jadi membuka pesan tersebut."Enggak penting," jawabku sambil menatap lurus ke depan."Memang ada, orang yang bernama enggak penting?" Hemm, rupanya dia menggodaku."Maksudku, pesannya yang enggak penting, bukan nama orangnya.""Tapi 'kan tadi aku bertanya orang yang mengirim pesannya." Aku kembali menghela panjang sebelum menghembuskannya kasar. Om dan ponakan sama-sama membuatku kesal dalam waktu yang bersamaan."Apa masih ada yang berusaha disembuny
"Apa yang dia sampaikan?"Aku menggeser ponsel ke hadapannya sebagai jawaban dari pertanyaannya barusan. Kuperhatikan dengan ekor mata, Om membuka pesan dari Rendy. Penasaran aku ingin melihat bagaimana reaksinya, maka kuberanikan diri untuk menoleh dan menatap wajah pria berkumis tipis ini.Omdo membuang napas berat berkali-kali. Jelas sekali kalau dia cemburu. Aku tahu itu. Kemudian ia memijat pangkal hidungnya, untuk beberapa saat hanya itu yang dia lakukan. Kami kembali saling diam, aku tidak berani membuka suara sampai makanan datang.***Hingga sampai di ruko pun, Om Do tak seceria tadi. Makanan di restoran itu pun sampai dibungkus untuk kemudian diberikan pada petugas kebersihan yang kami temui tidak jauh dari restoran itu. Yang dia katakan lapar lagi karena sedang bahagia itu ternyata bohong. Mungkin karena pesan yang dikirim Rendy, Om Do jadi tidak berselera makan.Rasa bersalahku yang sudah menggunung dari sejak di rumah Kiai Mustofa, sekarang makin bertambah lagi. "Om, aku
"Mama semalam telepon, tapi beliau bilang ponsel kamu tidak aktif," ujar Om Do pagi ini ketika kami sarapan."Belum aku aktifkan sampai saat ini, " jawabku enteng sambil mulai menyuap."Hemm ..... " "Memangnya Mama bilang apa sama Om?""Beliau mengundang kita makan nanti malam bersama Om Drajat.""Tumben Om Drajat ada waktu, biasanya dia selalu sibuk.""Mungkin ada hal penting yang perlu disampaikan.""Sepertinya begitu."Kembali hening karena sepertinya Om Do belum bisa ceria seperti ketika di pesantren. Sampai kami sama-sama turun pun pria ini masih berwajah datar."Aktifkan ponselnya supaya aku bisa menghubungimu." Begitu pesannya ketika mobil berhenti di depan kampus."Kenapa belum turun? Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya om Do ketika aku selesai membuka sabuk pengaman tapi tidak juga membuka pintu."Aku ... ""Hemm?" Om Do mengernyit sambil menelengkan kepalanya."Aku pamit kuliah dulu." Kuulurkan tangan dan meraih tangannya lalu menciumnya dengan gemetar. Ini pertama ka
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong