Bu Zaskia begitu baik padaku, meskipun aku tahu Bu dosen ini juga baik pada semua mahasiswanya. Dari awal aku mengenalnya, Bu Zaskia tidak pernah berkata kasar meskipun ia selalu memberikan nasihat-nasihat dalam setiap percakapan. Tapi tak sekalipun ia menyinggung perasaan lawan bicaranya. Itulah yang aku suka dari dosen cantik dan anggun ini.Dan setelah aku tahu bahwa wanita ini menaruh hati pada Om Do, aku tak sampai hati mematahkan harapannya. Pun jika teringat Om Do pernah bilang bahwa pernikahan kami telah memporak-porandakan impian dan masa depannya. Aku tahu sekarang, yang Om Do maksud adalah impiannya tentang Bu Zaskia. Lalu apa kabar hatiku yang mulai berdebar hebat ketika berdekatan dengan pria berkumis tipis itu, yang mulai merasakan desiran halus ketika mendengar pria itu menggodaku. Lalu sekarang hati yang mana yang harus kuperjuangkan. Apakah hatiku atau hati selembut Bu Zaskia. Kami berjalan beriringan menuju gedung kampus. Aku berbelok ke arah ruangan kelasku sement
Ternyata maksud Om Drajat memanggil kami adalah ingin membahas perihal perusahaan yang sekarang di bawah kendali Mama. Belakangan ini bisnis itu memang mengalami kemunduran, itu yang dikatakan derajat. Aku tidak begitu paham karena memang tidak ikut campur menjalankan bisnis ataupun mengawasinya. Sepenuhnya aku mempercayakan sama Mama lantaran selain aku fokus kuliah, aku juga merasa belum saatnya ikut andil mengurus bisnis itu."Aku percaya Mbak Anne bukan pertama kalinya mengurus perusahaan. Aku bukannya mau ikut campur tentang urusan keluarga kalian, tapi perusahaan ini adalah warisan untuk Lala dan sebelum Lala bisa mengurusnya alangkah baiknya kita menjaga supaya tetap maju dan berkembang." Om Drajat menghela panjang. Sementara Mama dan Om Dimas tetap diam. "Dalam bisnis, naik turun itu hal yang biasa. Apalagi persaingan di luar semakin ketat. Banyak perusahaan baru yang bergerak di bidang yang sama-sama melakukan promo yang sangat gencar. Jadi wajar kalau perusahaan yang lama s
"Iya, Ma. Maaf. Saat itu saya bilang seperti itu karena takut dibilang terlalu menyombongkan diri. Om Drajat sendiri tahu saya ada bisnis percetakan karena kebetulan saja." Om Do menjelaskan, aku tahu dia merasa tidak enak pada Mama karena kesannya ditutup-tutupi."Iya, Mbak. Tempo hari aku butuh untuk mencetak undangan pernikahan keponakannya Chintya. Kebetulan karena orang tuanya masih di luar negeri, jadi kami yang membantu mengurus persiapan pesta mereka. Ada rekomendasi dari teman tempat percetakan yang amanah. Tak disangka ternyata itu milik Faldo. Dan ternyata ini sudah berjalan lama, bahkan berbagai buku sudah dicetak di sana." Om Drajat menjelaskan panjang lebar. Aku menyimak sambil sesekali melirik pria di sampingku. Om Do hanya mengangguk samar mendengar penjelasan Om Drajat. "Apa kamu juga tidak tahu, Sayang?" Mama menatapku.Aku menggeleng."Kenapa kamu terkesan menutup diri, Nak Faldo?" Mamah beralih kepada Om Do."Maaf, Ma. Bukan seperti itu. Saya hanya sedang menungg
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan cara untuk bertanya banyak hal. Pasalnya tempo hari Om Do pernah berkata bahwa aku boleh bertanya apa saja asalkan sebagai orang yang peduli padanya, bukan bertanya sekedar ingin tahu saja. Untuk jadi orang yang peduli itu, artinya aku harus bersikap manis. Dan inilah aku yang enggak bisa. Walau bagaimana, aku masih canggung pada pria yang sah menjadi suamiku itu. "Dari tadi kamu diam aja, La." Suara Om Do memecah kesunyian."Aku, sebenarnya .... ""Ada apa? Katakan saja!""Eum .... ""Atau kita cari tempat yang lebih enak, ya, dan lebih romantis gitu," ucapnya sambil terkekeh. Sontak saja membuatku tersipu, bagaimana bisa, dalam situasi seperti ini dia memikirkan untuk bersikap dan mencari suasana yang romantis. Dalam hati aku merasa senang karena Om Do bersikap lembut lagi padaku. Mungkin dia sudah memaafkan aku, hanya saja dia gengsi untuk mengatakannya.Akhirnya Om Do membelokkan mobilnya ke sebuah taman. Lumayan rame sih, banyak orang y
"Maaf, tapi setidaknya untuk saat ini aku sudah menerima pernikahan ini. Menerima kalau kita suami istri." Aku melangkah mendekat. Seketika Om Do berbalik. Ia kembali meraih bahuku."Benarkah?" tanyanya berbinar.Aku mengangguk."Terima kasih, maaf jika aku terlalu banyak menuntut." Detik berikutnya tubuhku sudah berada dalam rengkuhan dua tangan kekar miliknya. Aku terpejam dan merasakan sentuhan lembut pada ujung kepalaku. Pipiku basah, aku menangis. Memutuskan untuk menerima dia sebagai suamiku meski aku ragu entah harus sampai kapan bertahan. Aku tak tega melihat binar bahagia di mata Bu Zaskia berubah menjadi redup. Wanita yang sudah lama menunggu itu pasti akan sangat kecewa jika tahu Om Do sudah menikah. Apalagi istrinya adalah aku, mahasiswinya.Perlahan tubuh kami saling menjauh, pria ini sedikit terkejut ketika melihat pipiku basah. Tangannya terangkat lalu dengan lembut mengusap di sana. Tak kusangka ia mendekat dan mendaratkan kecupan di keningku. Aku terpejam, untuk pert
"Tuh 'kan jadi terlihat tambah manis senyumnya," ucapnya polos yang sontak aku balas dengan mencubit lengannya. Tapi hal yang tak diduga, Om Do malahan meraih tanganku."Aku serius, selain cantik, kamu itu manis. Sayangnya di depan suami, kamu cenderung judes, dosa lho," kekehnya kemudian.Aku diam menunduk karena memang merasa kalau selama ini aku bersikap kurang manis padanya. Ya Tuhan, ternyata dengan saling terbuka seperti ini, hubungan kami jadi seperti hidup. Apa boleh aku merasa bahagia saat ini? Yang utama, aku merasa aman bersama pria ini. Karena selain dewasa, Om Do ternyata cerdas dan bertanggungjawab jawab.***"Om mau apa?" Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang terbalut piyama pendek. Om Do menerobos masuk kamar sesaat sebelum aku mematikan lampu. "Mau tidur di sini," jawabnya singkat sambil naik ke ranjang."Ish! Bukankah kita sudah sepakat kalau Om tidur di luar!" Aku menyeru karena pria ini sudah menempati posisi di sebelahku."Kita 'kan suami istri, masa ti
Aku pikir Lala sedang becanda ketika kekasihku itu memperlihatkan sebuah test pack bergaris dua kepadaku. Pasalnya aku tidak merasa melakukan hal di luar batas. Jangankan berbuat seperti layaknya suami istri, pegangan tangan saja Lala kerap menolak. Aku juga bukan tipe pria mesum, yang pacaran harus bermesraan. Selama ini aku mampu bertahan menjalin hubungan dengan Lala, lantaran gadis itu tidak banyak menuntut. Seperti halnya diriku yang berpacaran sekadar untuk mendapatkan perhatian lebih dari kaum hawa."Kamu jangan becanda, La. Mana mungkin kamu hamil sedangkan kita tidak pernah melakukan begituan." Aku terkekeh, saat itu aku masih mengira Lala becanda."Aku serius, Ren. Kamu lupa ketika kita ke pesta ulang tahun Poppy?""Iya, tidak ada yang terjadi 'kan?""Masa kamu lupa Ren, coba lihat ini!"Lala membuka ponselnya lalu menunjukkan foto-foto kami sedang berdua di atas ranjang. Juga foto-foto di mana aku menggendong Lala memasuki kamar Poppy."Tapi aku tidak melakukan apapun, La."
Selama satu minggu dalam penyekapan, akhirnya pagi ini salah seorang dari mereka melemparkan kunci motor dan ponselku, setelah aku selesai sarapan. "Katakan padaku siapa yang menyuruh kalian. Kenapa kalian memperlakukanku dengan baik. Aku pikir kalian menyekapku karena menginginkan nyawaku." Aku berteriak pada pria yang baru saja melemparkan dua benda itu ke atas kasur, tapi tidak ada jawaban. Sementara pintu itu dibiarkan sedikit terbuka. Tanpa berpikir panjang lagi aku segera mengambil ponsel dan kunci motorku, lalu keluar dari kamar dan tidak mendapati seorang pun berada di sana. Apa ini artinya mereka membebaskanku. Ketika keluar rumah, motor yang waktu aku gunakan sudah berada di teras hingga aku bisa dengan mudah mengambil dan mengendarainya pulang. Aku sempat bingung ketika keluar dari daerah ini, yang ternyata tidak begitu jauh dari rumahku. Saat itu aku ingin langsung menghubungi Lala tapi ponselku dalam keadaan mati, mungkin selama aku berada di rumah itu mereka tidak meng
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong