[Kita ketemu di cafe biasa siang ini. Aku harap kamu bisa datang, La.]Aku menyerahkan ponsel pada Mitha supaya gadis itu membaca pesan dari Rendy barusan."Ya sudah, kita temui Rendy nanti, jangan dulu ngomong sama suami Lo. Kita cari alasan supaya dia tidak menjemput Lo ke sini."Akhirnya aku bersama Mitha dan Ghea bermaksud menemui Rendy siang ini di cafe yang biasa kami gunakan untuk nongkrong sewaktu dulu. Sebelumnya ku mengirim pesan pada Om Do supaya tidak menjemputku dengan alasan aku bersama dua sahabatku akan mengerjakan tugas di rumah Mitha.Pria itu mengizinkan aku tanpa penolakan. Dia sudah tidak se-ketat dulu dan juga sudah percaya pada Mitha setelah insiden aku kabur hari itu.Dengan berpegangan pada tangan Mitha, aku melangkah memasuki cafe. Kenapa aku grogi akan bertemu Rendy siang ini. Hari itu di mana Rendy tidak datang di hari pernikahan kami, jujur saja aku sangat kecewa dan marah pada pria itu. Tapi setelah hampir dua bulan kejadian itu berlalu, aku baru sadar ba
"Jelas saja aku tidak ada karena itu memang bukan aku."Aku berpikir sejenak, kalau bukan Rendy lalu siapa? Apa jangan-jangan Om Dimas. Bukankah saat itu Mitha bertemu dengan pria itu dan aku melihat mobilnya. Iya, bisa jadi Om Dimas, lalu apa maksudnya mengirimkan pesan mengatasnamakan Rendy. Apa dia mau mencoba mengajakku bertemu lalu berbuat kurang ajar?Aku bergidik membayangkan itu, masih beruntung saat itu aku pergi bersama dua sahabatku. Kalau benar itu Om Dimas yang bermaksud jahat padaku, alhamdulillah aku masih dilindungi."Sudahlah, jangan dibahas, karena maksudku ke sini bukan untuk membahas yang lain. Aku kangen sama kamu, Lala." Aku mengangkat wajah begitu Rendy mengucapkan kalimat terakhirnya. Hatiku berdesir. Rendy merindukan aku, lalu kenapa hari itu ...."Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar darimu. Aku ingin penjelasan kenapa hari itu kamu tidak datang. Tahu enggak, kamu telah menghancurkan semuanya, Ren. Impianku, harapanku, cintaku .... " "Sungguh, ini diluar
"Tidak bisa, aku ingin kembali pada Lala. Aku harap Om mau melepaskannya untukku.""Kalau aku bersikeras bilang tidak, kamu mau apa? Apalagi sekarang kami sudah saling jatuh cinta. Aku mencintainya begitupun Lala.""Apa?!" Sontak Aku menoleh ke arahnya dan menajamkan tatapan."Sayang ... Apa kamu akan menyangkalnya di depan Rendy? Bukankah kita sudah saling mengungkapkan perasaan itu?" Om Do mendekat lalu meraih tubuhku, detik berikutnya aku sudah berada dalam pelukannya. Tanpa kusangka wajahnya mendekat seperti hendak mencium kepalaku."Iyakan saja, jangan menyangkal," bisiknya di telingaku setelah itu terasa kecupan lembut di ujung kepalaku."Kalian penghianat!" Rendy berkata dengan geram."Aku bukan penghianat, wahai keponakanku yang baik. Aku hanya sedang menyelamatkan dua keluarga dari pecundang sepertimu," jawab Om Do tenang."Aku bukan pecundang, aku sudah bilang sama Lala kalau saat itu aku dijebak dan disekap.""Kamu pikir aku akan percaya begitu saja pada omonganmu?!""Aku j
Aku memutar bola mata sambil menghentakkan kaki lalu mengikutinya menuju mobil. Lagi-lagi, tak ada percakapan selama perjalanan. Aku masih belum mengerti kenapa pria ini bisa tahu aku ada di cafe itu bersama Rendy. Apa mungkin kedua sahabatku yang memberi tahu Om Do atau justru Rendy sendiri. Mobil berbelok ke sebuah restoran yang cukup besarnya. Aku tahu ini bukan restoran biasa. Mama dan Papa dulu sering mengajakku makan di restoran yang punya cabang di mana-mana ini. Menunya memang luar biasa enak dan harganya luar biasa mahal. Tapi apakah Om Do punya uang sebanyak itu untuk membayar makanan di sini."Ayo turun, kenapa bengong?""Ah, ya. Aku .... ""Takut aku gak bisa bayar makanan sultan di sini yang harganya bikin dompet jebol?"Ya ampun, kenapa Om Do tahu apa yang sedang kupikirkan? Jangan-jangan dia punya ilmu telepati hingga sering mengetahui isi hatiku. Bagaimana kalau dia tahu juga aku sering merasa nyaman berada di dekatnya? Gawat!"Bu-bukan .... ""Tenang saja, paling jug
"Kalau aku bilang bahwa aku jatuh cinta beneran padamu, kamu percaya enggak?" tanyanya serius dan kalimat itu sukses membuat mataku membola sempurna. Aku merasa nafasku berhenti untuk beberapa saat. Apa Om Do sedang mengigau di siang bolong?"Eng-gak .... " Aku menggeleng perlahan dengan mata masih fokus padanya."Sudah kuduga .... " jawabnya sambil terkekeh."Jangan bercanda, Om. Aku tahu kriteria istri idaman Om itu bukan seperti aku. Jadi mana mungkin Om jatuh cinta padaku." Aku pun tersenyum sinis sambil mengalihkan pandangan sebelum kembali menatapnya.Pria dihadapanku ini menghentikan tawanya lalu tersenyum lembut dan balas menatapku. "Sebenarnya itu bukan analisa yang tepat. Kriteria itu semacam harapan atau rencana yang tersimpan di dalam otak kita. Sedangkan masalah hati itu beda urusannya. Ketika otak kita berencana A pada kenyataannya hati bisa saja memilih B atau C. Tapi enggak apa-apa kalau kamu tidak percaya aku juga tidak memaksa."Kali ini dia terkekeh sambil mengalih
"Om!" Akhirnya aku menyerah untuk mengimbangi langkahnya.Mendengar aku memanggilnya seketika dia berhenti."Hem?" Ia berbalik, tanpa merasa berdosa bertanya sambil mengangkat kedua alisnya."Bisa nggak jalannya diperlambat, aku 'kan ketinggalan.""Oh ya, sorry. Aku lupa, kebiasaanku kalau belanja sendiri," ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangannya.Aku sedikit melebarkan mata lalu memberikan isyarat dengan mengangkat daguku."Ayo! Katanya tadi ketinggalan. Makanya sekarang berpegangan, supaya aku tahu kalau aku sedang berjalan dengan istriku," lanjutnya sambil tersenyum.Mendengar dia menyebutku sebagai istrinya mendadak pipiku menghangat. Lalu dengan malu-malu aku melangkah sambil mengangkat tanganku dengan ragu. Namun pada akhirnya tangan kami pun bertaut."Kenapa ragu dan malu? Bukankah yang aku katakan tadi benar. Dengan cara berpegangan seperti ini, aku tidak akan lupa kalau aku sedang jalan berdua." Bukannya berjalan, Om Do malah menggodaku sambil menggerakkan tangannya yan
"Lala ini dulunya tinggal di luar kota," jawab pria di sampingku ini cepat."Oh pantesan, aku baru tahu kalau Mas Faldo punya keponakan yang sangat cantik," sahut Bu Zaskia yang tak lepas dari senyumnya. Sikap wanita berhijab lebar itu berbeda dengan di kampus."Kalau begitu, kami permisi dulu, Dek." Om Do meraih tanganku bermaksud mengajakku pergi dari sini."Tapi Om, cemilannya .... " Aku menunjuk cemilan yang belum selesai aku pilih."Tidak usah membeli camilan, nanti kamu gendut kalau ngemil terus," jawab Om Do lagi."Assalamualaikum," pamitnya pada Bu Zaskia sambil meraih tanganku lalu mengajak pergi setengah tergesa-gesa. "Waalaikum salam," terdengar suara Bu Zaskia di belakangku.Setelah itu Om Do mengajakku pulang , padahal semula dia sudah menawarkan makan setelah selesai berbelanja."Kita gak jadi makan, Om?" "Nanti saja kita cari tempat lain. Apa kamu sudah lapar?" tanyanya lembut."Enggak juga sih, cuman khawatir Om lupa aja.""Enggak mungkin lah, aku bukan tipe orang ya
[Faldo besok kamu ke rumah Mbak ya, Rendy akan menikah.]Begitu isi pesan Mbak Renita yang kuterima siang ini. Dia adalah kakak tertuaku, kami satu Ayah lain Ibu. Mbak Renita tiga bersaudara, sementara dari Ibuku, Ayah hanya punya aku. Hubungan kami memang tidak terlalu baik karena aku lahir dari wanita yang disebut-sebut sebagai pelakor. Padahal ibu bilang, saat itu Ayah menikahi Ibu atas izin Ibunya Mbak Renita lantaran kondisi Ibunya Mbak Renita dalam keadaan sakit dan tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Hingga sebagai pria normal, Ayah membutuhkan wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Tapi hubungan anak-anak Ayah dari istri tuanya dengan Ibuku tidak harmonis. Hingga aku pun nyaris tidak pernah dianggap sebagai adik mereka.[Kok, mendadak Mbak?]Aku mengirimkan balasan.[Jangan banyak tanya, yang penting kamu hadir. Atau kamu iri karena Rendy yang lebih muda darimu akan menikah duluan?]Bukannya jawaban yang baik yang aku dapatkan, Mbak Renita malah berka