Jangan minta bantuan Ayah atau Kak Lala, aku malu!" akhirnya aku menjawab pertanyaan Hanum.
Wanita ini memang selalu menguji kesabaranku. Dia sepertinya tahu kalau kelemahanku terletak pada ayahnya. Aku tidak memungkiri, jika kehidupan kami selama ini tidak lepas dari sokongan dana dari ayahnya.Bahkan rumah yang kami tempati, bengkel yang selama ini aku kelola semuanya milik ayahnya Hanum. Oleh sebab itu, sikapku akan sedikit manis kepada Hanum jika di depan ayahnya. Jangan sampai ayah mertua tahu kalau selama ini aku tidak menafkahi anak dan cucunya dengan baik.Alasan menerima tawaran menikah dengan Hanum pun karena dia putri bungsu Pak Hartawan, pemilik bengkel tempatku bekerja. Beliau adalah seorang pengusaha kaya serta memiliki puluhan bengkel yang tersebar di berbagai daerah. Belum lagi harta lainnya berupa perkebunan, bisnis kuliner, bisnis property dan masih banyak lagi.Hidupku pasti tidak akan susah jika menikahi anaknya. Namun yang jadi ganjalan selama ini adalah kak Lala, kakak kandung Hanum. Wanita janda dan mandul itu terlalu ikut campur urusanku. Dia sepertinya curiga jika adiknya ditelantarkan olehku.Namun sejauh ini dengan berbagai cara aku bisa mengelabuinya. Aku akan memanfaatkan kepolosan Hanum istriku, yang selalu mengatas namakan surga seorang istri terletak pada suaminya. Selama hal itu masih di pegang teguh oleh Hanum, aku bebas berbuat sesuka hati.Aku terlonjak saat melihat pintu ruangan terbuka. Kemunculan dua sosok yang aku takuti, kini tersenyum kearah kami. Ayah mertua dan kak Lala datang menjenguk. Darimana mereka tahu kalau Hanum sudah melahirkan? Bukankah Hanum baru saja akan menghubunginya?“Hanum, bagaimana kondisimu, Nak?” tanya ayah mertua kepada Hanum. Beliau mengusap kepala putrinya dengan lembut.Hanum nampak sama terkejutnya denganku. Dia buru-buru menghapus air matanya yang berlinang. Ini salah satu yang aku benci darinya, karena dia wanita yang cengeng. Entah karena hatinya yang teramat lembut atau bagaimana, yang jelas dia sangat mudah menitikkan air mata. Bahkan semut yang tak sengaja terinjak olehnya pun ditangisi berjam-jam olehnya. Dasar wanita aneh.“Alhamdulillah Ayah, kondisi Hanum baik-baik saja!” jawab Hanum.Dia terlihat sedikit menggigit bibirnya. Sepertinya dia sedang menahan rasa sakit di perutnya karena efek obat biusnya sudah habis. Biar saja, aku tidak perduli.“Dek, kenapa enggak kasih tahu Kakak waktu mau masuk rumah sakit? Supaya Kakak bisa menjagamu dengan baik!” ucap kak Lala sambil melirik ke arahku. Nada bicaranya seperti sedang menyindirku.Aku segera mengulurkan tangan mencium punggung tangan ayah mertua dan bersalaman sekedarnya kepada kak Lala. Begitupun dengan Hanum, dia terlihat mencium punggung tangan ayah dan kakaknya.“Maaf Kak, kami tidak sempat memberitahu. Kami semua panik karena air ketuban Hanum sudah keluar banyak,” aku mewakili Hanum menjawab pertanyaan kak Lala. Sementara Hanum terlihat menundukkan wajah saat aku berbicara.“Tidak apa-apa, Gun. Sekarang yang terpenting Hanum sudah melewati proses operasi dengan lancar. Lalu bagaimana kondisi cucu ketiga ayah?” tanya laki-laki berperawakan gagah di usianya menjelang senja.“Alhamdulillah, sehat. Tetapi ayah ….” Hanum tidak melanjutkan ucapannya.“Tetapi apa, Num?” tanya ayah penasaran.“Tetapi jenis kelaminnya perempuan lagi, yah!” ucap Hanum dengan wajah sedih.“Hanum sayang, bagi Ayah tidak masalah anak laki-laki atau perempuan yang penting lahir dengan sehat dan sempurna. Buktinya Ayah juga tidak masalah mempunyai dua anak perempuan yang cantik seperti kalian. Bagi Ayah, kalian berdua adalah harta ayah yang paling berharga!” ucap ayah sambil merentangkan lebar-lebar kedua tangannya.Mereka bertiga terlihat saling berpelukan. “Cih ... aku sebenarnya muak melihat keharmonisan keluarga mereka. Sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tua karena mereka meninggal saat aku masih kecil.Aku yang sakit-sakitan sejak kecil, dirawat oleh kak Sita, kakak kedua. Sementara yang menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal kedua orang tua adalah kak Rahmat, kakak pertamaku. Oleh sebab itu, aku sangat menginginkan anak laki-laki agar kelak tumbuh menjadi tulang punggung keluarganya.“Kamu sudah makan, Dek?” tanya kak Lala kemudian.Aku terkejut mendengar pertanyaan kak Lala. Jangan sampai Hanum mengadu kalau makanannya aku yang menghabiskan. Mataku menatap tajam kearah Hanum. Dia sepertinya tahu maksud dari tatapanku.“Sudah, Kak. Itu bekas makannya sampai bersih tak bersisa!” jawab Hanum sambil sekilas melirik ke arahku. Hanum ikut menyindirku seperti kakaknya.“Bagus itu, Dek. Biasanya orang habis melahirkan itu harus banyak makan, supaya tenaganya cepat pulih. Apalagi kalau sudah menyusui, pasti bawaannya lapar terus!” timpal kak Lala.“Alah sok tahu kau janda mandul, kayak pernah aja melahirkan dan menyusui saja!" umpatku dalam hati.“Gunawan, yang benar saja kamu istri habis melahirkan cuma dikasih air mineral? Kamu kira Hanum itu ikan mujair apa? dasar suami pelit!!” umpat kak Lala sambil menatapku sinis.Seandainya ada cermin, pasti wajahku sudah terlihat memerah karena ucapan kak Lala. Dia tidak menghargaiku di depan ayah mertua.“Aku belum sempat kemana-mana, Kak. Tadi perawat berpesan, agar Hanum jangan pernah ditinggalkan sendiri, karena kondisinya masih lemah. Sedangkan air mineral itu memang dibawa sebelum Hanum melahirkan, Kak!” jawabku berbohong. Untung saja otakku encer, sehingga dengan cepat mencari alasan yang tepat.“Alasan. Bilang saja kamu nggak mau keluar uang, kan?” cibir kak Lala lagi.“Sudah, La. Kasihan Gunawan kamu salahin terus. Sekarang lebih baik kamu saja yang beli makanan dan minuman untuk adikmu. Kami sedikit panik saat mendapat kabar kamu dibawa ke rumah sakit, sehingga tidak sempat membawa apa-apa kesini!” ucap ayah menegahi perdebatan kami.“Biar Gunawan saja yang beli makanannya, Yah!” ucapku menawarkan diri, agar dinilai sebagai menantu yang baik dimata ayah mertua.“Nggak usah basa-basi, kamu. Biar aku saja yang belikan. Kalau kamu yang beli, bisa-bisa adikku dikasih makanan murahan yang tidak ada gizinya lagi!” ucap kak Lala masih dengan tatapan sisnisnya. Dia berjalan keluar ruangan dengan wajah masam.Sebenarnya dalam hati aku gemas dengan wanita janda satu itu. Ingin rasanya melumuri mulutnya dengan cabai setan yang terkenal pedas itu. Namun aku berusaha menahan diri agar tidak terbawa emosi. Aku tidak mau kehilangan sumber mata pencaharianku. Namun sebenarnya dalam hati aku bersyukur, karena tidak perlu keluar uang untuk membeli makanan Hanum.“Gunawan, Ayah tahu Hanum dibawa ke rumah sakit karena ada laporan dari Hadi," ucap ayah, berhasil mengejutkanku.Jadi dia yang melaporkanku kepada ayah? Memang saat mendapat telepon dari Hanum, aku langsung pergi tanpa berpesan apapun kepada orang bengkel. Rupanya hal itu dimanfaatkan Hadi yang memang sejak lama tidak menyukaiku.“Maafkan Gunawan, Ayah. Gunawan panik saat mendapat telepon dari Hanum sehingga tidak sempat berpesan apapun dengan orang bengkel,” ucapku memberi alasan.“Ayah paham alasanmu. Tetapi lain kali, tolong tinggalkan pesan kepada Ayah atau yang berada di bengkel jika kamu pergi meninggalkan bengkel. Ayah tidak mau para pelanggan kecewa karena tidak ada yang menghandle bengkel!” ucap ayah mengingatkanku.“Baik, Ayah. Sekali lagi maafkan Gunawan,” ucapku dengan memasang wajah merasa bersalah.Ayah mengangguk seolah menerima permintaan maafku. Tak lama kemudian, ayah meminta izin keluar ruangan. Aku tidak tahu, kemana ayah pergi. Ini adalah kesempatanku untuk menekan Hanum agar tidak mengadu macam-macam kepada ayahnya.“Awas kalau kamu ngadu macam-macam sama Ayahmu!” ancamku pada Hanum.Dia terlihat ketakutan mendapat ancaman dariku. Lagi-lagi matanya berkaca-kaca. “Dasar wanita cengeng,” umpatku dalam hati.Setelah beberapa lama menunggu, terdengar pintu ruangan terbuka. Nampak ayah dan kak Lala datang secara bersamaan. Namun kali ini wajah kak Lala terlihat lebih menakutkan dari sebelumnya. Matanya menatap bengis ke arahku.“Gunawan, apa maksudmu menjadikan KTP adikku sebagai jaminan di bagian administrasi?" bentak kak Lala membuat wajahku pias seketika.***Aku terkejut melihat kedatangan ayah dan kak Lala secara bersamaan. Wajah ayah terlihat tidak bersahabat, terlebih kak Lala. Lantas, apa maksud dari pertanyaannya?Wajah Mas Gunawan terlihat pias mendapatkan pertanyaan dari kak Lala. Jelas terlihat dia meneguk salivanya. "Kenapa diam? Kamu sudah tidak mampu membiayai persalinan Adikku, hingga sampai hati menjadikan KTP-nya sebagai jaminan? hardik kak Lala lagi."Bu-kan be-gitu. Kakak tolong sabar dulu, jangan terbawa emosi." Mas Gunawan terlihat gugup. Wajahnya juga terlihat ketakutan. Apa benar yang dikatakan kak Lala, kalau kartu identitasku mejadi jaminan di rumah sakit? Memang sebelum operasi berlangsung, Mas Gunawan sempat meminjam KTP-ku. "Coba kamu jelaskan kepada kami, kenapa KTP Hanum bisa menjadi jaminan di ruang administrasi?" tanya ayah dengan suara beratnya. Wajahnya yang biasanya tenang, kali ini terlihat tegang.Aku kembali menatap laki-laki berambut ikal dan bermanik mata hitam itu dengan lekat. Ingin tahu jawaban a
Hatiku terasa perih membaca pesan dari kakak ipar yang memang selalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Pantas saja Mas Gunawan selalu perhitungan kepada keluarga kecilnya. Rupanya selama ini diam-diam dia mengirimkan uang kepada Mbak Sita. Sebenarnya aku tidak masalah jika dia membantu saudara kandungnya, jika kewajibannya telah dijalankan dengan baik. Namun pada kenyataannya, dia lalai dengan semua tanggung jawabnya.Aku bukan tidak bersyukur menerima nafkah seadanya dari Mas Gunawan, namun aku tahu penghasilan dari bengkel setiap harinya. Jatah bulanan yang aku dapat, tidak ada separuh atau bahkan seperempat penghasilan dari bengkel.Jangankan membeli kebutuhan pakaian yang kini sudah tidak layak pakai, untuk kebutuhan makan sehari-hari, jajan kedua anakku saja masih kekurangan kalau tidak mendapatkan bantuan dari ayah."Hanum, lancang sekali kamu membuka hapeku!!" teriak Mas Gunawan yang sudah berdiri di depan pintu toilet dengan pancaran kemarahan yang membuatku terkejut. Sak
Kondisi tubuhku semakin menurun pada hari ketiga pasca melahirkan. Bukan hanya rasa sakit pada area perut, namun aku merasa kelelahan karena harus begadang setiap malam. Asiku belum kunjung keluar, mungkin itu sebabnya si bayi selalu rewel dan tidak nyenyak tidurnya. Aku merasa menjadi ibu yang tidak berguna, karena tidak dapat memberinya asi. Sementara Mas Gunawan tidak peduli kepada anaknya, meskipun beberapa kali aku telah meminta membelikannya susu formula.Aku menangis tersedu dikamar, meluapkan semua kesedihanku. Bukan kali ini saja aku menangis. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku sering menangis tanpa sebab yang jelas. Aku merasa suasana hati gampang berubah-ubah pasca melahirkan. Terkadang aku merasa sedih, namun tiba-tiba merasa kesal bercampur emosi. Bukan karena sikap Mas Gunawan, tetapi aku sendiri tidak tahu penyebab sering menangis tanpa alasan yang jelas.Tiba-tiba perutku terasa mulas, sepertinya aku ingin buang hajat. Aku melangkah perlahan dan berhati-hati menu
Aku berangkat kerja dengan perasaan kesal bercampur emosi. Semua gara-gara Hanum, istriku. Seenaknya dia memintaku membawanya kontrol ke rumah sakit, padahal obatnya saja masih belum habis. Dia bilang harus diperiksa oleh dokter sekalian mengganti plester yang menutupi luka pasca caesarnya, memangnya tidak memakai biaya?Semuanya tidak gratis, sementara uang tabunganku sudah berkurang dua puluh juta karena dipinjam oleh kak Lala untuk membayar tunggakkan arisannya. Aku tidak rela kalau sampai dia dikeroyok oleh teman-temannya karena belum membayar arisan, padahal sudah menang diawal.Aku menolak permintaan Hanum mentah-mentah. Wanita itu memang lebay, padahal proses persalinannya secara caesar sehingga tidak perlu capek-capek mengejan karena proses keluar bayi bukan lewat jalan lahir. Setahuku persalinan caesar keluar lewat perut melalui jalan operasi, itupun sebelumnya disuntik bius terlebih dahulu sehingga tidak akan merasakan rasa sakit.Hanum … kenapa dia sekarang berubah? Padahal
"Nggak usah kebanyakan drama kamu, cepat pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" bentak kak Lala pada sosok laki-laki di hadapanku ini dengan wajah memelas.Namun tiba-tiba ayah yang berada di dekatku terlihat memegangi dadanya. Nafasnya terlihat naik turun. Aku dan kak Lala langsung panik. Pasti penyakit jantung ayah kumat lagi. Kak Lala segera berlari keluar ruangan, sepertinya hendak memanggil bantuan. Sementara Mas Gunawan terlihat terkejut dengan keadaan ayah mertuanya.Dia berinisiatif untuk memapah ayah ke arah sofa yang berada di pojokan ruangan. Lalu kemudian membaringkannya perlahan. Ayah masih memegangi dadanya dan matanya terlihat terpejam. Selang beberapa lama kemudian, kak Lala datang bersama seorang laki-laki yang aku duga sebagai dokter.Laki-laki berpakaian putih serta berkacamata itu memeriksa kondisi ayah."Sebaiknya Ayah Anda dipindahkan ke ruang IGD, untuk pemeriksaan lebih lanjut!" ucapnya setelah selesai melakukan pemeriksaan."Baik,
Aku berada di ambang kebimbangan. Antara harus percaya atau tidak dengan pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal itu. Namun apa salahnya jika mengecek keberadaan Mas Gunawan di bengkel, karena dugaanku memang mengarah kesana.Aku segera bersiap untuk menuju bengkel. Beruntung kedua anakku Hana dan Hani masih tertidur. Aku berangkat hanya membawa si bayi dalam gendongan. Sebenarnya merasa khawatir meninggalkan kedua anakku yang masih balita dirumah tanpa ada yang mengawasi. Namun aku terpaksa, karena tidak ada Bik Inah yang dimintai tolong untuk menjaga mereka.Sedangkan untuk meminta bantuan Bu Andi tetanggaku rasanya sungkan. Aku sangat sering merepotkannya. Sebenarnya jarak bengkel dengan tempat tinggal lumayan dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun untuk menghemat waktu memilih menggunakan ojek agar tiba dengan cepat dan kembali sebelum anak-anak bangun.Setibanya dibengkel, suasana masih terlihat sepi karena masih pagi. Para pekerja belum ada satu pun yang d
PoV: Lala“Hanum!!!” teriakku, saat melihatnya ingin melukai leher anaknya sendiri menggunakan pecahan kaca yang tidak diketahui darimana asalnya.Bahkan beberapa goodie bag yang aku bawa terlepas begitu saja dari genggaman karena terkejut melihat pemandangan mengerikan di depan mata.Hanum menoleh ke arahku seiring terjatuhnya kaca yang berada digenggamannya. Beberapa detik kemudian, dia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada adikku.Namun yang jelas kondisi kamarnya kini sudah hancur berantakan. Rupanya pecahan kaca tadi didapat dari cermin meja riasnya yang sudah tercerai berai. Sungguh pemandangan yang memilukan. Aku segera memeluk Hana dan Hani yang menangis ketakutan di pojok kamar. “Atagfirullah, ada apa, La?” tanya ayah sama terkejutnya saat melihat pemandangan yang mengerikan di depan mata.Aku memang masuk terlebih dahulu saat ayah sedang memarkirkan kendaraannya. Aku sangat bersemangat untuk bertemu dengan keponakan
"Te-tapi Ba-pak Gunawan sudah memecat saya, Bu Lala," jawab Bik Inah terdengar gugup.Aku tersentak mendengar jawaban Bik Inah. Rupanya alasan inilah yang membuat kondisi adikku memburuk. Dia kelelahan karena menghandle semua pekerjaan rumah tangga, ditambah mengurus tiga anak sekaligus. Padahal dia melahirkan secara operasi caesar. "Dasar keterlaluan si Gunawan itu" makiku dalam hati."Bik, Adik saya sekarang dirawat di rumah sakit. Luka caesarnya robek dan terpaksa dijahit kembali," ucapku menimpali jawaban Bik Inah."Astagfirullah, Bu Hanum dirawat di rumah sakit? Kasihan sekali Bu Hanum," ujar Bik Inah ikut terkejut mendengar kabar Hanum."Iya, Bik. Sepertinya sejak tidak ada Bibik, Hanum kerepotan mengurus semuanya sendirian. Tujuan saya menghubungi Bibik ingin meminta bantuan untuk merawat anak-anak Hanum yang sekarang berada di rumah Ayah. Kalau Bibik bersedia, nanti ada sopir yang menjemput," ucapku memberikan alasan menghubunginya."Siap, Bu Lala. Saya bersedia merawat anak-a
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
PoV: GunawanSi*al … Gara-gara Hanum, hidupku jadi sengsara seperti ini. Menghabiskan waktu di dalam jeruji besi yang membuatku hampir gila. Bagaimana tidak? Aku hidup dalam sel yang dihuni puluhan orang. Tidur berdesakan dengan hanya beralaskan kasur yang sangat tipis, setipis imanku. Selain itu, menu makanan disini juga sangat tidak menggugah selera. Baru beberapa minggu saja tinggal disini, aku merasa bobot tubuh merosot drastis.“Hei Gunawan, kenapa kamu melamun? Jangan bermimpi bisa kabur dari sini, karena aku sudah mencobanya berpuluh kali namun selalu gagal,” ledek Agus, teman sesama napi yang mendapatkan vonis seumur hidup. “Lihat saja nanti, aku akan keluar dari sel terkutuk ini,” jawabku jumawa.Agus terkekeh. Saking gelinya, ia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Mungkin baginya ucapanku seperti sebuah lelucon yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku seorang narapidana yang tergolong baru bisa keluar dari sel ini dengan selamat. Sedangkan dirinya yang sudah tinggal puluhan t
Aku terjaga di sepertiga malam, menengadahkan kedua tangan memohon ampunan dan petunjuk-Nya. Bukan berputus asa, namun aku lelah menghadapi masalah yang tidak jelas akar permasalahannya ini sendirian. Suamiku yang hangat dan penyanyang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan acuh. Begitu pun dengan kedua putriku Hana dan Hani. Mereka yang penurut juga tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang dan lebih menuruti ucapan Rani, asisten rumah tanggaku.Ya, Rani. Ia penyebab semua permasalahan di keluargaku. Semenjak kedatangannya di rumah ini, hidupku yang bahagia berubah menjadi sebuah malapetaka. Aku terus bermuhasabah dan introspeksi diri, khawatir ada sikap atau kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sengaja sehingga Allah memberikan teguran dengan mendatangkan permasalahan ini. Akan tetapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.Aku pikir dengan memecat Rani, semua permasalahan akan selesai. Namun ternyata perkiraanku salah, karena justru menambah m
"Aduh ... sakit. Jangan sakiti saya, Bu." Aku sengaja berakting seolah sedang disakiti oleh Bu Hanum, tujuannya untuk mencari perhatian Bapak Hadi, suaminya.Sontak aktingku menarik perhatiannya. Begitupun dengan kedua anak-anaknya, mereka berlari menghampiriku."Kamu kenapa, Rani?" tanya Bapak Hadi dengan wajah cemas. Ini memang tujuanku, menarik perhatiannya."Ibu Hanum mengusir saya dari rumah, Pak. Saya menolaknya karena merasa tidak mempunyai kesalahan, namun Ibu Hanum mendorong saya sampai jatuh," jawabku dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Jawabanku sontak membuat Bapak Hadi terkejut. Matanya menatap ke arah Ibu Hanum yang tengah berdiri di belakangku dengan gugup. "Hanum, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" hardik Bapak Hadi kepada istrinya."M-as Hadi. Ini semua tidak benar. Rani kembali memfitnahku. Oleh karena itu aku memintanya untuk berhenti bekerja disini, agar keluarga kita kembali harmonis seperti dulu lagi," jawab Ibu Hanum dengan mata yang berembun.Puas r
"Kamu jangan fitnah, Rani. Aku dan Bu Hanum hanya mengobrol biasa!" hardik Badru pada Rani yang sedang menatap kami berdua dengan tajam.Rupanya teriakan Rani memancing kedatangan Mas Hadi. Laki-laki yang bergelar suami itu menunjukkan wajah penuh amarah."Siapa yang selingkuh Rani?" tanya Mas Hadi dengan wajah tegang.Aku membulatkan kedua bola mata. Jangan sampai Mas Hadi terkena hasutan Rani yang menuduh berselingkuh dengan Badru. "Badru, Pak." Jawab Rani mantap."Iya, maksudnya Badru selingkuh sama siapa?" tanya Mas Hadi lagi."Sama ...." Rani menggantung kalimatnya.Kedua kalinya aku membulatkan kedua bola mata menatap ke arah Rani. Jangan sampai ia mengadu yang tidak-tidak kepada Mas Hadi."Sama siapa?" tanya Mas Hadi tidak sabar."Sama Bu Hanum," jawab Rani seraya menundukkan wajahnya. Ia tampak seperti seolah merasa bersalah, namun aku tahu itu hanya aktingnya semata.Mas Hadi membelalakkan matanya, menatap ke arahku dan Badru secara bergantian. Jantungku rasanya seperti berh
Sontak aku berlari menuju kamar tamu yang ditempati oleh kak Lala. Aku terkejut saat melihat kak Lala seperti orang yang ketakutan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap ke arah kolong tempat tidur."Kak Lala kenapa?" tanyaku heran bercampur curiga. "H-hanum, ada u-ular ....." jawab kak Lala dengan terbata. "Ular? Dimana, Kak?" tanyaku seolah tidak percaya dengan jawaban kak Lala."Di kolong tempat tidur. Ularnya besar sekali, Kakak takut!" jawab kak Lala dengan wajah sedikit mulai pias.Aku menghampiri dan berusaha menenangkannya. Mataku menatap tajam kolong tempat tidur yang ditunjuk oleh kak Lala. Rasanya tidak mungkin jika ada ular di kamar tamu ini. Seumur hidup tinggal di rumah ini, aku tidak pernah berjumpa dengan binatang berbisa itu. Jangankan binatang berbisa, seekor kecoa dan nyamuk pun tidak pernah aku lihat di rumah ini. Aku sangat menjaga kebersihan rumah ini."Kakak yang tenang, ya. Tidak mungkin di rumah ini ada ular. Apa Kakak barusan tengah tertidur dan bermimpi?
Kak Lala menelponku. Apakah ini jawaban dari doaku? Sosok kakak yang selalu melindungi adiknya itu hadir setelah beberapa bulan tidak memberi kabar. Setelah peristiwa berdarah di Surabaya tempo hari, kak Lala menemukan jodohnya dan diboyong oleh suaminya ke daerah yang sama. Dengan perasaan suka cita, aku segera menerima panggilan darinya.“Assalamualaikum Kak Lala, apa kabar?” sapaku mengawali pembicaraan dengan antusias.“Waalaikumslaam, Adikku Sayang. Alhamdulillah, kabar Kakak baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”“Kabarku kurang baik, Kak. Seandainya Kakak ada disini, aku ingin bercerita banyak,” jawabku lirih.“Kakak siap mendengarkannya. Tunggu Kakak sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Jika tidak ada halangan, Insya Allah Kakak ingin menginap di rumahmu, Num.”Aku terkejut mendengar jawaban Kak Lala. Mungkin Allah telah mengirimkan Kak Lala sebagai jawaban atas doa-doa sebelumnya mengenai solusi kemelut dalam rumah tanggaku.Setelah berpamitan, Kak Lala mengakhiri teleponnya.
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi