"Nggak usah kebanyakan drama kamu, cepat pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" bentak kak Lala pada sosok laki-laki di hadapanku ini dengan wajah memelas.
Namun tiba-tiba ayah yang berada di dekatku terlihat memegangi dadanya. Nafasnya terlihat naik turun. Aku dan kak Lala langsung panik. Pasti penyakit jantung ayah kumat lagi. Kak Lala segera berlari keluar ruangan, sepertinya hendak memanggil bantuan. Sementara Mas Gunawan terlihat terkejut dengan keadaan ayah mertuanya.Dia berinisiatif untuk memapah ayah ke arah sofa yang berada di pojokan ruangan. Lalu kemudian membaringkannya perlahan. Ayah masih memegangi dadanya dan matanya terlihat terpejam. Selang beberapa lama kemudian, kak Lala datang bersama seorang laki-laki yang aku duga sebagai dokter.Laki-laki berpakaian putih serta berkacamata itu memeriksa kondisi ayah."Sebaiknya Ayah Anda dipindahkan ke ruang IGD, untuk pemeriksaan lebih lanjut!" ucapnya setelah selesai melakukan pemeriksaan."Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk Syah saya!" ujar kak Lala patuh.Tak lama kemudian, datang beberapa petugas rumah sakit yang membawa brankar dan memindahkan ayah ke atasnya. Kak Lala mengikuti mereka dan meninggalkanku dengan Mas Gunawan.Setelah kepergian mereka, sikap Mas Gunawan berubah kesikap aslinya. Wajahnya tidak lagi terlihat sedih dan memelas. Dia memang pandai bersandiwara."Kamu lihat sendiri kan, kondisi Ayahmu? Kamu tahu, kalau aku adalah menantu kesayangannya. Beliau pasti sangat kecewa jika tahu kebenaran yang sesungguhnya dan itu akan memperparah kondisinya kesehatannya!" ucap Mas Gunawan berbisik ke telingaku. Dia tersenyum penuh kemenangan.Aku menangis tersedu mendengar ucapannya yang mirip sebuah ancaman. Aku ingin berbicara jujur kepada kak Lala dan ayah mengenai kebenaran yang sesungguhnya, tetapi takut kondisi ayah akan semakin parah.Aku belum siap menerima hal terburuk. Tinggal ayah satu-satunya orang tuaku yang tersisa. Ayahku memang memiliki riwayat penyakit jantung yang biasanya kambuh jika ada yang membebani fikirannya. Aku tidak mau menambah beban fikirannya jika menceritakan kebenaran yang sesungguhnya.Malam harinya, kak Lala kembali datang ke ruanganku, saat Mas Gunawan sedang keluar."Bagaimana kondisimu sekarang?" tanyanya dengan penuh perhatian."Alhamdulillah sudah membaik, Kak. Sepertinya besok sore juga aku sudah diperbolehkan pulang!""Kamu boleh pulang ke rumahmu, tetapi tidak dengan lelaki itu!" ucap kak Lala ketus."Memangnya kenapa, Kak?" tanyaku berpura-pura tidak tahu."Kakak takut kondisimu akan semakin buruk jika kamu masih bertahan dengan laki-laki tidak bertanggung jawab seperti dia. Kamu harus sehat dan menjaga kewarasan kamu, Hanum!" ujar kak Lala memberi alasan.Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Kak Lala benar. Aku mulai merasa kewarasanku terganggu pasca persalinan ketiga ini. Salah satu penyebabnya adalah karena sikap Mas Gunawan yang semakin hari semakin menjadi."Aku waras dan baik-baik saja, Kak. Sebaiknya kakak fokus pada kesehatan ayah saja. Kejadian kemarin bukan karena Mas Gunawan, tetapi murni kesalahanku. Aku menolak ajakannya untuk kontrol ke rumah sakit!" ucapku berbohong. Sudah kesekian kalinya aku menutupi kebenaran yang sesungguhnya.Tuhan ... maafkan aku karena belum bisa mengatakan yang sebenarnya. Aku mempunyai alasan sendiri. Kesehatan dan keselamatan ayah lebih penting dibandingkan dengan kewarasanku. Mencoba bertahan semampuku."Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?" tanya kak Lala meyakinkan diri."Yakin, Kak. Mas Gunawan tidak mungkin berani macam-macam, karena semua yang kami miliki adalah milik ayah. Kakak jangan terlalu khawatir, ya!" ucapku seraya memeluknya. Aku berusaha meyakinkannya dengan keputusan yang diambil. Kak Lala membalas pelukan dan mengusap pelan rambutku."Baiklah, kalau itu memang sudah keputusanmu. Kamu harus tahu, Kakak tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kepadamu. Kakak sayang kamu, Hanum," ucapnya seraya menatap mataku lekat.Aku berusaha menahan buliran air yang siap menerjang keluar dari sarang. Jangan sampai membuat kak Lala curiga."Aku juga sayang sama Kak Lala!" ucapku lirih....Keesokan sore harinya, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter berpesan agar aku datang untuk kontrol setelah tiga hari. Mengagendakan agar aku kontrol ke rumah sakit setelah tiga hari kemudian. Selama di rumah sakit, Mas Gunawan yang merawatku. Dia bersandiwara menjadi suami yang baik karena ada kak Lala dan ayah di rumah sakit."Kamu baik-baik di rumah, ya. Maaf kakak nggak bisa antar kamu pulang karena harus jaga ayah!" ucap kakak Lala setelah aku datang berkunjung menjenguk ayah di ruangannya."Aku akan baik-baik saja, Kak. Tolong kabari terus kondisi ayah. Aku hanya bisa bantu doa ya, kak!" ucapku seraya kembali memeluk kak Lala. Kami pun saling berpelukan sebagai salam perpisahan. Dadaku terasa sesak menahan tangis, karena setelah ini aku akan kembali di kehidupan nyataku. Mendapatkan perlakuan semena-mena dari Mas Gunawan."Gunawan, jaga Adikku baik-baik. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Aku pastikan kamu akan menyesal dilahirkan kedua ini jika sampai menyakiti Hanum!" ancam kak Lala pada Mas Gunawan. Dia terlihat menenguk saliva dan tersenyum dipaksakan."Kakak percaya sama aku, Hanum akan baik-baik saja dan hidup bahagia bersamaku!" ucapnya dengan penuh percaya diri.Ucapan Mas Gunawan terasa bagai jarum yang menusuk telingaku, sakit namun tidak terlihat. Mas Gunawan mendorong kursi roda yang aku naiki meninggalkan ruang perawatan ayah. Kali ini dia berinisiatif untuk memakai kursi roda untukku. Tidak seperti saat persaliananku sebelumnya. Aku harus menahan rasa sakit karena tidak memakai kursi roda.Saat tiba di halaman rumah sakit, seorang lelaki datang menghampiri kami. Dia adalah Pak Darma, sopir pribadi ayah."Non Hanum, biar saya antar pulang ke rumah!" ucapnya menawarkan diri."Tidak usah, Pak Darma. Biar kami pesan taxi online saja," tolakku ramah.Mas Gunawan mencubit kecil lenganku, sebagai kode agar tidak menolak tawarannya. Aku tahu yang ada dalam fikirannya. Dia pasti merasa rugi harus mengeluarkan uang untuk ongkos pulang."Non Lala yang meminta saya mengantar Non Hanum selamat sampai rumah!" ucap Pak Darma kemudian.Kak Lala memang kakak yang baik dan peduli kepada adiknya. Aku merasa terharu karena perlakuannya. Akhirnya aku mengangguk menyetujui tawaran sopir pribadi ayah itu. Mas Gunawan membantu memapahku memasuki mobil.Butuh waktu satu jam untuk tiba di rumah, karena kondisi jalanan macet parah. Ternyata Bik Inah sudah berada dirumah bersama anak-anak."Mama," panggil Hana putri sulungku.Ia menghambur ke pelukan disusul adiknya Hani yang juga tidak mau kalah dengan kakaknya. Kami saling melepas kerinduan. Sehari bagai seabad jika terpisah dengan anak-anak"Bik Inah, maaf ya jadi merepotkan," ucapku merasa tidak enak karena menambah tugasnya."Tidak apa-apa, Bu. Saya senang bisa membantu. Dede bayi sedang tidur dikamar, habis menyusu. Kakaknya Bu Hanum membelikan beberapa kaleng susu formula. Dede bayi lahap sekali menyusu jadinya tidak rewel!" lapor Bik Inah dengan wajah sumringah.Aku bernafas lega karena Bik Inah menjaga anak-anak dengan baik. Terutama kepada bayi yang belum sempat aku beri nama. Aku sebenarnya sudah menyiapkan nama bayi laki dan perempuan, namun rencananya minta persetujuan dulu dengan Mas Gunawan. Tak lama berselang, Bi Inah pun berpamitan pulang. Sementara aku dan anak-anak masuk ke dalan rumah untuk beristirahat....Satu minggu telah berlalu, pasca aku melahirkan secara caesar. Kak Lala mengabariku jika ayah telah sembuh dan kembali beraktifitas seperti sedia kala. Kondisi tubuhku pun terasa sedikit lebih baik.Namun bayiku tetap rewel ketika malam hari. Rupanya bukan lapar penyebabnya rewel setiap malam. Sepertinya dia sedang mengalami proses adaptasi lingkungan. Aku masih saja begadang hampir tiap malam hingga menjelang pagi.Aku sangat lelah. Ditambah lagi sudah dua hari Bik Inah izin karena berhalangan. Alhasil kondisi tubuhku semakin menurun. Sementara sikap Mas Adnan masih belum berubah. Dia masih saja bersikap dingin dan cuek kepadaku dan ketiga anaknya.Sudah hampir dua minggu, Bik Inah belum kunjung ada kabar. Aku sangat kelelahan karena selain mengerjakan pekerjaan rumah, ditambah mengurus anak-anak."Mas, Bik Inah kenapa belum kembali ya? Aku capek, Mas. Aku harus mengurus pekerjaan rumah tangga sekaligus menjaga anak-anak!" aduku berharap ada solusi darinya."Baguslah kalau dia gak kembali lagi, itu artinya gaji Bik Inah bisa buat nambah jatah bulanan kamu, kan?" jawabnya santai."Kamu tega, Mas. Aku bisa-bisa sakit dan kewarasanku terganggu kalau begini terus. Apalagi kamu tidak mempedulikan kami!""Berisik sekali mulutmu, membuatku sakit kepala. Mending aku keluar cari angin segar!" ucapnya seraya berlalu meninggalkanku sambil memainkan ponselnya.Aku perhatikan, akhir-akhir ini Mas Gunawan semakin intens bermain ponsel. Bukan bermain game, tetapi sibuk membalas chat yang entah dari siapa. Tak jarang dia terlihat menelepon seseorang dan menghindariku.Naluriku mengatakan kalau Mas Gunawan sedang mengalami puber kedua. Apa mungkin Mas Gunawan menduakanku?...Keesokan harinya aku terkejut saat tidak mendapati Mas Gunawan di kamar. Berarti semalaman dia tidak pulang. Kemana sebenarnya Mas Gunawan?Aku langsung berpikiran yang bukan-bukan tentangnya. Mas Gunawan tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meskipun sikapnya selalu dingin, namun dia selalu pulang ke rumah setiap harinya.Saat aku berada diambang kebimbangan mencari keberadaan Mas Gunawan, tiba-tiba ponselku berbunyi, menandakan ada pesan masuk.[Suamimu berada di bengkel sejak semalam bersama ....] pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.Aku segera mengetikan pesan balasan, karena pesannya membuat penasaran.[Bersama siapa? Apakah dia bersama seorang perempuan?] balasku.[Sebaiknya Anda datang ke bengkel sekarang dan lihat sendiri.]....Aku berada di ambang kebimbangan. Antara harus percaya atau tidak dengan pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal itu. Namun apa salahnya jika mengecek keberadaan Mas Gunawan di bengkel, karena dugaanku memang mengarah kesana.Aku segera bersiap untuk menuju bengkel. Beruntung kedua anakku Hana dan Hani masih tertidur. Aku berangkat hanya membawa si bayi dalam gendongan. Sebenarnya merasa khawatir meninggalkan kedua anakku yang masih balita dirumah tanpa ada yang mengawasi. Namun aku terpaksa, karena tidak ada Bik Inah yang dimintai tolong untuk menjaga mereka.Sedangkan untuk meminta bantuan Bu Andi tetanggaku rasanya sungkan. Aku sangat sering merepotkannya. Sebenarnya jarak bengkel dengan tempat tinggal lumayan dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun untuk menghemat waktu memilih menggunakan ojek agar tiba dengan cepat dan kembali sebelum anak-anak bangun.Setibanya dibengkel, suasana masih terlihat sepi karena masih pagi. Para pekerja belum ada satu pun yang d
PoV: Lala“Hanum!!!” teriakku, saat melihatnya ingin melukai leher anaknya sendiri menggunakan pecahan kaca yang tidak diketahui darimana asalnya.Bahkan beberapa goodie bag yang aku bawa terlepas begitu saja dari genggaman karena terkejut melihat pemandangan mengerikan di depan mata.Hanum menoleh ke arahku seiring terjatuhnya kaca yang berada digenggamannya. Beberapa detik kemudian, dia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada adikku.Namun yang jelas kondisi kamarnya kini sudah hancur berantakan. Rupanya pecahan kaca tadi didapat dari cermin meja riasnya yang sudah tercerai berai. Sungguh pemandangan yang memilukan. Aku segera memeluk Hana dan Hani yang menangis ketakutan di pojok kamar. “Atagfirullah, ada apa, La?” tanya ayah sama terkejutnya saat melihat pemandangan yang mengerikan di depan mata.Aku memang masuk terlebih dahulu saat ayah sedang memarkirkan kendaraannya. Aku sangat bersemangat untuk bertemu dengan keponakan
"Te-tapi Ba-pak Gunawan sudah memecat saya, Bu Lala," jawab Bik Inah terdengar gugup.Aku tersentak mendengar jawaban Bik Inah. Rupanya alasan inilah yang membuat kondisi adikku memburuk. Dia kelelahan karena menghandle semua pekerjaan rumah tangga, ditambah mengurus tiga anak sekaligus. Padahal dia melahirkan secara operasi caesar. "Dasar keterlaluan si Gunawan itu" makiku dalam hati."Bik, Adik saya sekarang dirawat di rumah sakit. Luka caesarnya robek dan terpaksa dijahit kembali," ucapku menimpali jawaban Bik Inah."Astagfirullah, Bu Hanum dirawat di rumah sakit? Kasihan sekali Bu Hanum," ujar Bik Inah ikut terkejut mendengar kabar Hanum."Iya, Bik. Sepertinya sejak tidak ada Bibik, Hanum kerepotan mengurus semuanya sendirian. Tujuan saya menghubungi Bibik ingin meminta bantuan untuk merawat anak-anak Hanum yang sekarang berada di rumah Ayah. Kalau Bibik bersedia, nanti ada sopir yang menjemput," ucapku memberikan alasan menghubunginya."Siap, Bu Lala. Saya bersedia merawat anak-a
Pikiranku pusing karena mendengar keluhan dari Hanum yang merasa kelelahan setelah Bik Inah belum juga masuk kerja. Sebelumnya Bik Inah izin tidak masuk kerja satu hari karena ada urusan dikeluarganya. Namun sudah dua minggu berjalan, Bik Inah tidak kunjung masuk bekerja. Hanum tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah memecatnya.Lumayan jatah gajinya bisa aku gunakan untuk mentraktir Lisa, wanita berstatus janda yang baru sebulan ini bekerja di bengkel. Wanita bertubuh sexy itu membuatku bersemangat bekerja. Senyum dan suaranya yang merdu itu membuatku mabuk kepayang.Jika dihitung-hitung, sudah berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan untuk menggaji Bik Inah. Oleh sebab itu, aku memecatnya agar Hanum tidak lagi manja mengandalkan bantuan Bik Inah. Aku malas berdebat dengan Hanum, makanya aku pergi meninggalkan rumah untuk mencari udara segar. Rasanya kurang asyik jika aku hanya sendirian saja, sehingga menghubungi Lisa dan dia pun tidak menolak untuk menemani.Setelah puas mengajakn
Aku terbangun saat mendengar suara teriakan dan rintihan seseorang. Rasanya suara itu tidak asing di telingaku. Perlahan aku membuka kedua mata dan menengok ke arah sumber suara. Aku terkejut saat melihat Mas Gunawan sedang terbaring dilantai memegangi wajah dan tubuhnya yang mendapatkan kekerasan dari ayah.Saat ayah akan kembali melayangkan tendangan, aku berteriak menghentikannya."Ayah, cukup!!" teriakku kepada sosok yang selama ini menyayangiku dengan tulus.Aku tidak tahu alasan ayah berbuat kasar kepada Mas Gunawan. Padahal selama ini, beliau selalu membela Mas Gunawan."Kenapa kamu menghentikan Ayah? Laki-laki ini pantas mendapatkannya. Kalau perlu, dia harus mati di tangan Ayah. Dia sudah berani menyakiti harta yang selama ini Ayah jaga mati-matian," ucap ayah dengan kilatan amarah di kedua netranya.Aku tidak mengerti maksud perkataan ayah. Namun yang pasti, aku tidak ingin ayah mendapatkan masalah karena melakukan tindak kekerasan.Sementara itu, Mas Gunawan yang terlihat l
PoV: GunawanAku tersungkur di lantai rumah sakit, setelah diseret paksa seperti seekor hewan oleh ayah mertua. Bukan hanya rasa sakit di wajah serta tubuh yang aku rasakan saat ini, tetapi juga rasa sakit di hati yang tidak terperi. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Ayah mertua mengetahui semua sandiwaraku selama ini. Padahal aku sudah berusaha menutupinya sebaik mungkin. Bukan hanya ayah mertua, tetapi Hanum juga sudah tidak lagi menganggapku suaminya. Bahkan dengan beraninya dia meminta kata talak dariku. Hancur sudah semua rencana dan siasat yang sudah aku susun dengan rapi. Aku harus bersiap kehilangan semua yang dimiliki selama ini.Aku tertatih memasuki lif untuk turun ke lantai bawah. Malu rasanya melihat tatapan aneh orang-orang yang berpapasan denganku. Rasa sakit yang mendera sudah tidak aku hiraukan. Tubuh dan pikiranku rasanya sangat letih. Mungkin sebaiknya aku pulang ke rumah untuk beristirahat dan memikirkan langkah selanjutnya. Aku masih optimis bisa meng
Aku penasaran, apa yang sebenarnya dilihat Hana sehingga membuatnya ketakutan. Mataku tertuju ke arah pintu gerbang. Jantungku berpacu lebih cepat, serta aliran darah terasa berhenti mengalir saat mengetahui penyebab Hana ketakutan.Mas Gunawan berdiri di ambang pintu gerbang rumah. Penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Dia terlihat lusuh karena memakai pakaian yang tidak layak pakai. Pantas saja Hana ketakutan, bahkan dia sampai tidak mengenali ayahnya.Aku memberi kode kepada ayah dan kak Lala agar meninggalkanku berdua dengan Mas Gunawan. Meskipun tatapan mereka menyiratkan penolakan, tetapi akhirnya mereka masuk ke dalam rumah termasuk dengan anak-anak.Setelah kepergian mereka, Mas Gunawan terlihat melangkah ke arahku. Saat jarak kami hanya terpaut beberapa meter saja, Mas Gunawan terlihat ingin memelukku. Sontak saja membuatku terkejut dan menghindarinya."Jangan sentuh aku, Mas!" bentakku dengan tatapan penuh emosi."Kenapa, Hanum? Aku masih Suami sahmu. Kamu berdosa jika
Bik Inah seperti ragu ingin memberitahuku. Akhirnya aku meminta Bik Inah untuk meneruskan tugasku menyuapi anak-anak. Sementara aku berjalan melangkah keluar rumah untuk mengetahui tamu yang datng berkunjung. Tampak sosok wanita dengan penampilan sedikit glamour sedang duduk pada kursi yang berada di teras depan rumah. Dia tidak menyadari kehadiranku karena sedang asyik memainkan ponsel. “Mbak Sita? Ada apa datang kemari?” tanyaku dingin. Wanita yang bergelar kakak ipar itu segera menoleh ke arahku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan mendekat.“Hanum, apa kabar? Kamu sehat?” tanya Mbak Sita berbasa-basi. Suaranya terdengar lembut, serta sikapnya terlihat bersahabat. Berbeda sekali saat aku masih tinggal bersama Mas Gunawan. Pertanyaan Mbak Sita tidak terjawab. Aku malah menjatuhkan bobot tubuh di kursi yang bersebrangan dengannya.“Hanum, kenapa kamu bisa mengajukan gugatan cerai kepada Gunawan? Bukankah dia sosok Suami yang baik buatmu?” tanya Mbak Sita kembali.Aku masih bergem
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
PoV: GunawanSi*al … Gara-gara Hanum, hidupku jadi sengsara seperti ini. Menghabiskan waktu di dalam jeruji besi yang membuatku hampir gila. Bagaimana tidak? Aku hidup dalam sel yang dihuni puluhan orang. Tidur berdesakan dengan hanya beralaskan kasur yang sangat tipis, setipis imanku. Selain itu, menu makanan disini juga sangat tidak menggugah selera. Baru beberapa minggu saja tinggal disini, aku merasa bobot tubuh merosot drastis.“Hei Gunawan, kenapa kamu melamun? Jangan bermimpi bisa kabur dari sini, karena aku sudah mencobanya berpuluh kali namun selalu gagal,” ledek Agus, teman sesama napi yang mendapatkan vonis seumur hidup. “Lihat saja nanti, aku akan keluar dari sel terkutuk ini,” jawabku jumawa.Agus terkekeh. Saking gelinya, ia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Mungkin baginya ucapanku seperti sebuah lelucon yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku seorang narapidana yang tergolong baru bisa keluar dari sel ini dengan selamat. Sedangkan dirinya yang sudah tinggal puluhan t
Aku terjaga di sepertiga malam, menengadahkan kedua tangan memohon ampunan dan petunjuk-Nya. Bukan berputus asa, namun aku lelah menghadapi masalah yang tidak jelas akar permasalahannya ini sendirian. Suamiku yang hangat dan penyanyang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan acuh. Begitu pun dengan kedua putriku Hana dan Hani. Mereka yang penurut juga tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang dan lebih menuruti ucapan Rani, asisten rumah tanggaku.Ya, Rani. Ia penyebab semua permasalahan di keluargaku. Semenjak kedatangannya di rumah ini, hidupku yang bahagia berubah menjadi sebuah malapetaka. Aku terus bermuhasabah dan introspeksi diri, khawatir ada sikap atau kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sengaja sehingga Allah memberikan teguran dengan mendatangkan permasalahan ini. Akan tetapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.Aku pikir dengan memecat Rani, semua permasalahan akan selesai. Namun ternyata perkiraanku salah, karena justru menambah m
"Aduh ... sakit. Jangan sakiti saya, Bu." Aku sengaja berakting seolah sedang disakiti oleh Bu Hanum, tujuannya untuk mencari perhatian Bapak Hadi, suaminya.Sontak aktingku menarik perhatiannya. Begitupun dengan kedua anak-anaknya, mereka berlari menghampiriku."Kamu kenapa, Rani?" tanya Bapak Hadi dengan wajah cemas. Ini memang tujuanku, menarik perhatiannya."Ibu Hanum mengusir saya dari rumah, Pak. Saya menolaknya karena merasa tidak mempunyai kesalahan, namun Ibu Hanum mendorong saya sampai jatuh," jawabku dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Jawabanku sontak membuat Bapak Hadi terkejut. Matanya menatap ke arah Ibu Hanum yang tengah berdiri di belakangku dengan gugup. "Hanum, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" hardik Bapak Hadi kepada istrinya."M-as Hadi. Ini semua tidak benar. Rani kembali memfitnahku. Oleh karena itu aku memintanya untuk berhenti bekerja disini, agar keluarga kita kembali harmonis seperti dulu lagi," jawab Ibu Hanum dengan mata yang berembun.Puas r
"Kamu jangan fitnah, Rani. Aku dan Bu Hanum hanya mengobrol biasa!" hardik Badru pada Rani yang sedang menatap kami berdua dengan tajam.Rupanya teriakan Rani memancing kedatangan Mas Hadi. Laki-laki yang bergelar suami itu menunjukkan wajah penuh amarah."Siapa yang selingkuh Rani?" tanya Mas Hadi dengan wajah tegang.Aku membulatkan kedua bola mata. Jangan sampai Mas Hadi terkena hasutan Rani yang menuduh berselingkuh dengan Badru. "Badru, Pak." Jawab Rani mantap."Iya, maksudnya Badru selingkuh sama siapa?" tanya Mas Hadi lagi."Sama ...." Rani menggantung kalimatnya.Kedua kalinya aku membulatkan kedua bola mata menatap ke arah Rani. Jangan sampai ia mengadu yang tidak-tidak kepada Mas Hadi."Sama siapa?" tanya Mas Hadi tidak sabar."Sama Bu Hanum," jawab Rani seraya menundukkan wajahnya. Ia tampak seperti seolah merasa bersalah, namun aku tahu itu hanya aktingnya semata.Mas Hadi membelalakkan matanya, menatap ke arahku dan Badru secara bergantian. Jantungku rasanya seperti berh
Sontak aku berlari menuju kamar tamu yang ditempati oleh kak Lala. Aku terkejut saat melihat kak Lala seperti orang yang ketakutan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap ke arah kolong tempat tidur."Kak Lala kenapa?" tanyaku heran bercampur curiga. "H-hanum, ada u-ular ....." jawab kak Lala dengan terbata. "Ular? Dimana, Kak?" tanyaku seolah tidak percaya dengan jawaban kak Lala."Di kolong tempat tidur. Ularnya besar sekali, Kakak takut!" jawab kak Lala dengan wajah sedikit mulai pias.Aku menghampiri dan berusaha menenangkannya. Mataku menatap tajam kolong tempat tidur yang ditunjuk oleh kak Lala. Rasanya tidak mungkin jika ada ular di kamar tamu ini. Seumur hidup tinggal di rumah ini, aku tidak pernah berjumpa dengan binatang berbisa itu. Jangankan binatang berbisa, seekor kecoa dan nyamuk pun tidak pernah aku lihat di rumah ini. Aku sangat menjaga kebersihan rumah ini."Kakak yang tenang, ya. Tidak mungkin di rumah ini ada ular. Apa Kakak barusan tengah tertidur dan bermimpi?
Kak Lala menelponku. Apakah ini jawaban dari doaku? Sosok kakak yang selalu melindungi adiknya itu hadir setelah beberapa bulan tidak memberi kabar. Setelah peristiwa berdarah di Surabaya tempo hari, kak Lala menemukan jodohnya dan diboyong oleh suaminya ke daerah yang sama. Dengan perasaan suka cita, aku segera menerima panggilan darinya.“Assalamualaikum Kak Lala, apa kabar?” sapaku mengawali pembicaraan dengan antusias.“Waalaikumslaam, Adikku Sayang. Alhamdulillah, kabar Kakak baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”“Kabarku kurang baik, Kak. Seandainya Kakak ada disini, aku ingin bercerita banyak,” jawabku lirih.“Kakak siap mendengarkannya. Tunggu Kakak sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Jika tidak ada halangan, Insya Allah Kakak ingin menginap di rumahmu, Num.”Aku terkejut mendengar jawaban Kak Lala. Mungkin Allah telah mengirimkan Kak Lala sebagai jawaban atas doa-doa sebelumnya mengenai solusi kemelut dalam rumah tanggaku.Setelah berpamitan, Kak Lala mengakhiri teleponnya.
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi