Bik Inah seperti ragu ingin memberitahuku. Akhirnya aku meminta Bik Inah untuk meneruskan tugasku menyuapi anak-anak. Sementara aku berjalan melangkah keluar rumah untuk mengetahui tamu yang datng berkunjung. Tampak sosok wanita dengan penampilan sedikit glamour sedang duduk pada kursi yang berada di teras depan rumah. Dia tidak menyadari kehadiranku karena sedang asyik memainkan ponsel. “Mbak Sita? Ada apa datang kemari?” tanyaku dingin. Wanita yang bergelar kakak ipar itu segera menoleh ke arahku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan mendekat.“Hanum, apa kabar? Kamu sehat?” tanya Mbak Sita berbasa-basi. Suaranya terdengar lembut, serta sikapnya terlihat bersahabat. Berbeda sekali saat aku masih tinggal bersama Mas Gunawan. Pertanyaan Mbak Sita tidak terjawab. Aku malah menjatuhkan bobot tubuh di kursi yang bersebrangan dengannya.“Hanum, kenapa kamu bisa mengajukan gugatan cerai kepada Gunawan? Bukankah dia sosok Suami yang baik buatmu?” tanya Mbak Sita kembali.Aku masih bergem
Hidupku hancur setelah semua sandiwara yang susah payah dilakoni terbongkar. Tidak ada kata maaf dari Hanum, ayah mertua apalagi kak Lala. Masih terbayang dalam ingatan, saat kak Lala mengusirku dari rumah. Tidak hanya itu, bahkan ATM yang berisi uang hasil manipulasi di bengkel juga lenyap dirampas olehnya.Aku kini resmi menyandang status tuna wisma dan tuna daksa. Perutku terasa sangat lapar, sedangkan uang yang tersisa di dompet hanya selembar kertas berwarna hijau. Biasanya jika aku lapar, bisa dengan mudahnya memesan makanan yang diinginkan melalui sebuah aplikasi. Sekarang aku bingung harus pergi kemana? Padahal rumah yang ditempati setelah menikahi Hanum adalah satu-satunya tempatku berlindung dari terik matahari dan hujan. Terpaksa meminta bantuan saudara, karena kedua orang tuaku sudah tiada sejak masih kecil. Aku yakin mereka pasti akan membantu karena tidak tega melihat kondisi adiknya yang mengenaskan seperti saat ini.Toh selama ini aku selalu membantu mereka dengan rut
Mas Gunawan datang ke kantor pengadilan agama masih dengan penampilan lusuh. Kak Lala dan pengacara yang sedang bersamaku saja sampai heran melihatnya. Dulu penampilan Mas Gunawan selalu rapi dan menarik. Itu karena aku mengurusnya dengan baik. Kini penampilannya berubah 180°. Mungkin ini salah satu balasan akibat dia dzolim kepadaku dan anak-anak. Allah baru membalas semua kedzolimannya di dunia, belum lagi di akhirat nanti. "Mau apa kamu datang kesini, Mas? Keputusan sidang mengabulkan gugatanku. Mulai saat ini, kita sudah resmi berpisah. Aku sudah bukan Istrimu lagi!" ucapku seraya menatap nyalang ke arah Mas Gunawan."Tidakkah ada kata maaf untuk memperbaiki semuanya? Aku janji akan menjadi Suami dan Ayah yang baik untuk anak-anak. Aku menyesal. Kamu mau memaafkan aku, kan?" tanya Mas Gunawan seraya terisak. Aku tertegun melihat Mas Gunawan menangis dihadapan kami bertiga. Wajahnya menyiratkan penyesalan yang dalam. Akan tetapi, air matanya tidak akan mampu mengobati luka hati
"Sebenarnya apa, Mas?” tanyaku penasaran.“Sebenarnya, yang mengirimkan pesan memberitahukan Gunawan berada di bengkel bersama seorang wanita itu adalah saya, Mba Hanum.”Aku terkejut hingga membelalakkan mata mendengar pengakuan Mas Hadi. Sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang sudah memberikan informasi yang menjadi titik awal keputusanku berpisah dengan Mas Gunawan adalah Hadi, orang kepercayaan ayah.“Mas Hadi, kalau boleh tahu apa alasan memberitahukan kepada saya kalau Mas Gunawan telah berselingkuh? Apa Mas Hadi mempunyai masalah sebelumnya dengan Mas Gunawan?” tanyaku dengan menatap lekat ke arahnya.Hadi tampak menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Tampak jelas gurat keraguan di wajahnya.“Maafkan saya Mbak Hanum, kalau saya telah lancang memberikan informasi besar kepada Mbak Hanum. Saya tidak menyangka jika setelah kejadian itu, Mbak Hanum memutuskan berpisah dengan Gunawan. Akan tetapi sejujurnya saya sudah mengetahui sikap Gunawan kepada Mbak Hanum. Saya tida
Kak Lala terkejut mendengar pertanyaaanku, hingga membuatnya menepikan mobil."Kamu kenapa bertanya seperti itu?” tanya Kak Lala.“Aku melihat kehidupan Kak Lala sepertinya tanpa beban. Kakak wanita mandiri yang cerdas dan kuat. Aku rasa laki-laki manapun banyak yang tertarik kepada kakak. Kenapa Kakak tidak memutuskan untuk menikah lagi?”Kak Lala menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Matanya menatap kosong jalan raya di depan.“Sejujurnya Kakak menginginkan kembali pernikahan. Akan tetapi, melihat kegagalan pernikahanmu membuat Kakak mengurungkannya. Kakak akan fokus membantu bisnis Ayah agar tidak memikirkan masalah percintaan.""Seandainya ada laki-laki baik yang mengajak serius, apakah Kakak mau?" tanyaku seperti seorang reporter menginterogasi nara sumbernya."Sebenarnya, saat ini memang ada seorang laki-laki yang mendekati Kakak.""Serius, Kak? Siapa dia?" tanyaku penasaran."Namanya Hidayat. Dia bekerja sebagai security hotel yang letaknya bersebrangan dengan beng
Aku memanggil dengan bersemangat wanita yang hingga kini masih bersemayam di hati. Rasa rindu kian membuncah ketika melihat kembali wanita yang pernah membersamaiku empat tahun lamanya. Hanum … dia terlihat semakin bersinar. Wajah serta tubuhnya kini terlihat terawat sehingga membuatnya semakin menarik, tidak seperti saat masih menjadi istriku.Aku berusaha mendekat ke arahnya, tetapi dengan cepat dia menghindar. Aku tidak berputus asa dan terus mengikutinya. Hanum terlihat ingin masuk ke dalam mobil menyusul ayahnya, mantan mertuaku.Sedikit merasa kesal karena dia bahkan tidak menoleh sedikit pun. Seburuk itukah kini wajahku, hingga dia sama sekali tidak ingin menatap walau sebentar setelah sekian lamanya kita tidak bertemu.“Mau kemana cantik, kok terburu-buru sekali?” tanyaku akhirnya berhasil menghalangi jalannya. Walaupun dengan keterpaksaan, akhirnya pandangan kami saling bersirobok. Hanum terlihat ketakutan dan memalingkan wajahnya.Tidak ada sepatah pun terucap dari bibirnya
Aku menangis tersedu, sementara Ayah menepikan mobilnya setelah keluar dari parkiran minimarket. Beliau mencoba menenangkanku dengan memberikan air mineral yang diambil dari dashboard mobil.“Kamu baik-baik saja, Num?” tanya Ayah dengan wajah penuh kekhawatiran.“Hanum baik-baik saja, Yah.” Aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku ulangi berkali-kali, hingga merasa lebih tenang.Sementara anak-anak hanya menatap heran ke arahku. Mereka tidak tahu apa yang terjadi kepada ibunya hingga menangis terisak.“Ayah tidak tahu kalau laki-laki itu bekerja disana. Seandainya tahu, tentu tidak akan pergi kesana,” ucap Ayah dengan wajah merasa bersalah.“Ayah tidak salah karena tidak mengetahuinya. Aku sebenarnya sudah tahu, tetapi tidak bisa mencegah saat mobil Ayah sudah memasuki area parkir.”“Kamu sudah tahu, Num? Tahu darimana?” tanya Ayah heran.“Hanum tahu dari Kak Lala, Yah. Dia memperingatkan agar Hanum tidak mendatangi minimarket itu.”“
Serta merta aku segera menghampiri ayah. Memapahnya untuk duduk di kursi, sementara kak Lala terlihat cuek dengan kondisi ayah yang mengkhawatirkan.“Kak Lala, tolong ambilkan obat Ayah di kamar," pintaku kepada kak Lala, tetapi dia terlihat mencebik kesal.“Ambil saja sendiri. Kamu kan anak kesayangan Ayah,” jawab kak Lala ketus.Aku hanya bisa mengusap dada dan beristigfar dalam hati melihat perubahan kak Lala yang begitu drastis. Itulah alasannya aku tidak tega meninggalkan ayah walau hanya ke kamar mengambil obat. Aku takut kak Lala bertindak nekat.Akan tetapi melihat kondisinya yang begitu mengkhawatirkan, mau tidak mau harus mengambil obat ke kamarnya. Aku berpamitan kepada ayah, dengan berbisik di telinganya. Walaupun kedua netranya terpejam, tetapi ayah mendengarku. Beliau terlihat menganggukkan kepala, pertanda menyetujui izinku.Setelah mendapat izin dari ayah, aku segera berlari menuju kamarnya dan mengambil obat yang biasa diminumnya jika sedang kambuh. Tidak lupa, segela
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
PoV: GunawanSi*al … Gara-gara Hanum, hidupku jadi sengsara seperti ini. Menghabiskan waktu di dalam jeruji besi yang membuatku hampir gila. Bagaimana tidak? Aku hidup dalam sel yang dihuni puluhan orang. Tidur berdesakan dengan hanya beralaskan kasur yang sangat tipis, setipis imanku. Selain itu, menu makanan disini juga sangat tidak menggugah selera. Baru beberapa minggu saja tinggal disini, aku merasa bobot tubuh merosot drastis.“Hei Gunawan, kenapa kamu melamun? Jangan bermimpi bisa kabur dari sini, karena aku sudah mencobanya berpuluh kali namun selalu gagal,” ledek Agus, teman sesama napi yang mendapatkan vonis seumur hidup. “Lihat saja nanti, aku akan keluar dari sel terkutuk ini,” jawabku jumawa.Agus terkekeh. Saking gelinya, ia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Mungkin baginya ucapanku seperti sebuah lelucon yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku seorang narapidana yang tergolong baru bisa keluar dari sel ini dengan selamat. Sedangkan dirinya yang sudah tinggal puluhan t
Aku terjaga di sepertiga malam, menengadahkan kedua tangan memohon ampunan dan petunjuk-Nya. Bukan berputus asa, namun aku lelah menghadapi masalah yang tidak jelas akar permasalahannya ini sendirian. Suamiku yang hangat dan penyanyang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan acuh. Begitu pun dengan kedua putriku Hana dan Hani. Mereka yang penurut juga tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang dan lebih menuruti ucapan Rani, asisten rumah tanggaku.Ya, Rani. Ia penyebab semua permasalahan di keluargaku. Semenjak kedatangannya di rumah ini, hidupku yang bahagia berubah menjadi sebuah malapetaka. Aku terus bermuhasabah dan introspeksi diri, khawatir ada sikap atau kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sengaja sehingga Allah memberikan teguran dengan mendatangkan permasalahan ini. Akan tetapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.Aku pikir dengan memecat Rani, semua permasalahan akan selesai. Namun ternyata perkiraanku salah, karena justru menambah m
"Aduh ... sakit. Jangan sakiti saya, Bu." Aku sengaja berakting seolah sedang disakiti oleh Bu Hanum, tujuannya untuk mencari perhatian Bapak Hadi, suaminya.Sontak aktingku menarik perhatiannya. Begitupun dengan kedua anak-anaknya, mereka berlari menghampiriku."Kamu kenapa, Rani?" tanya Bapak Hadi dengan wajah cemas. Ini memang tujuanku, menarik perhatiannya."Ibu Hanum mengusir saya dari rumah, Pak. Saya menolaknya karena merasa tidak mempunyai kesalahan, namun Ibu Hanum mendorong saya sampai jatuh," jawabku dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Jawabanku sontak membuat Bapak Hadi terkejut. Matanya menatap ke arah Ibu Hanum yang tengah berdiri di belakangku dengan gugup. "Hanum, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" hardik Bapak Hadi kepada istrinya."M-as Hadi. Ini semua tidak benar. Rani kembali memfitnahku. Oleh karena itu aku memintanya untuk berhenti bekerja disini, agar keluarga kita kembali harmonis seperti dulu lagi," jawab Ibu Hanum dengan mata yang berembun.Puas r
"Kamu jangan fitnah, Rani. Aku dan Bu Hanum hanya mengobrol biasa!" hardik Badru pada Rani yang sedang menatap kami berdua dengan tajam.Rupanya teriakan Rani memancing kedatangan Mas Hadi. Laki-laki yang bergelar suami itu menunjukkan wajah penuh amarah."Siapa yang selingkuh Rani?" tanya Mas Hadi dengan wajah tegang.Aku membulatkan kedua bola mata. Jangan sampai Mas Hadi terkena hasutan Rani yang menuduh berselingkuh dengan Badru. "Badru, Pak." Jawab Rani mantap."Iya, maksudnya Badru selingkuh sama siapa?" tanya Mas Hadi lagi."Sama ...." Rani menggantung kalimatnya.Kedua kalinya aku membulatkan kedua bola mata menatap ke arah Rani. Jangan sampai ia mengadu yang tidak-tidak kepada Mas Hadi."Sama siapa?" tanya Mas Hadi tidak sabar."Sama Bu Hanum," jawab Rani seraya menundukkan wajahnya. Ia tampak seperti seolah merasa bersalah, namun aku tahu itu hanya aktingnya semata.Mas Hadi membelalakkan matanya, menatap ke arahku dan Badru secara bergantian. Jantungku rasanya seperti berh
Sontak aku berlari menuju kamar tamu yang ditempati oleh kak Lala. Aku terkejut saat melihat kak Lala seperti orang yang ketakutan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap ke arah kolong tempat tidur."Kak Lala kenapa?" tanyaku heran bercampur curiga. "H-hanum, ada u-ular ....." jawab kak Lala dengan terbata. "Ular? Dimana, Kak?" tanyaku seolah tidak percaya dengan jawaban kak Lala."Di kolong tempat tidur. Ularnya besar sekali, Kakak takut!" jawab kak Lala dengan wajah sedikit mulai pias.Aku menghampiri dan berusaha menenangkannya. Mataku menatap tajam kolong tempat tidur yang ditunjuk oleh kak Lala. Rasanya tidak mungkin jika ada ular di kamar tamu ini. Seumur hidup tinggal di rumah ini, aku tidak pernah berjumpa dengan binatang berbisa itu. Jangankan binatang berbisa, seekor kecoa dan nyamuk pun tidak pernah aku lihat di rumah ini. Aku sangat menjaga kebersihan rumah ini."Kakak yang tenang, ya. Tidak mungkin di rumah ini ada ular. Apa Kakak barusan tengah tertidur dan bermimpi?
Kak Lala menelponku. Apakah ini jawaban dari doaku? Sosok kakak yang selalu melindungi adiknya itu hadir setelah beberapa bulan tidak memberi kabar. Setelah peristiwa berdarah di Surabaya tempo hari, kak Lala menemukan jodohnya dan diboyong oleh suaminya ke daerah yang sama. Dengan perasaan suka cita, aku segera menerima panggilan darinya.“Assalamualaikum Kak Lala, apa kabar?” sapaku mengawali pembicaraan dengan antusias.“Waalaikumslaam, Adikku Sayang. Alhamdulillah, kabar Kakak baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”“Kabarku kurang baik, Kak. Seandainya Kakak ada disini, aku ingin bercerita banyak,” jawabku lirih.“Kakak siap mendengarkannya. Tunggu Kakak sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Jika tidak ada halangan, Insya Allah Kakak ingin menginap di rumahmu, Num.”Aku terkejut mendengar jawaban Kak Lala. Mungkin Allah telah mengirimkan Kak Lala sebagai jawaban atas doa-doa sebelumnya mengenai solusi kemelut dalam rumah tanggaku.Setelah berpamitan, Kak Lala mengakhiri teleponnya.
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi