Aku berangkat kerja dengan perasaan kesal bercampur emosi. Semua gara-gara Hanum, istriku. Seenaknya dia memintaku membawanya kontrol ke rumah sakit, padahal obatnya saja masih belum habis. Dia bilang harus diperiksa oleh dokter sekalian mengganti plester yang menutupi luka pasca caesarnya, memangnya tidak memakai biaya?
Semuanya tidak gratis, sementara uang tabunganku sudah berkurang dua puluh juta karena dipinjam oleh kak Lala untuk membayar tunggakkan arisannya. Aku tidak rela kalau sampai dia dikeroyok oleh teman-temannya karena belum membayar arisan, padahal sudah menang diawal.Aku menolak permintaan Hanum mentah-mentah. Wanita itu memang lebay, padahal proses persalinannya secara caesar sehingga tidak perlu capek-capek mengejan karena proses keluar bayi bukan lewat jalan lahir. Setahuku persalinan caesar keluar lewat perut melalui jalan operasi, itupun sebelumnya disuntik bius terlebih dahulu sehingga tidak akan merasakan rasa sakit.Hanum … kenapa dia sekarang berubah? Padahal sebelumnya dia istri yang penurut, tetapi tiba-tiba berubah menjadi seorang pembangkang. Sikapnya semakin aneh pasca melahirkan secara caesar. Aku diam-diam sering memergokinya menangis tanpa sebab.Selain itu, emosinya pun terkadang berubah-ubah. Apa inikah yang dinamakan penyakit pasca melahirkan yang sering dialami oleh wanita pasca melahirkan? Kalau tidak salah, namanya ‘Baby Blues Syndrome.Dia memang mengeluhkan kelelahan begadang karena bayinya, sehingga meminta bergantian untuk menjaga. Tentu aku menolak, karena salahnya juga air asinya belum juga keluar sehingga bayinya menangis karena kelaparan.Aku juga tidak mau mengeluarkan uang untuk membeli susu formula untuk bayi itu. Walaupun tidak dipungkiri, wajah bayi ketiga ini sangat mirip denganku. Namun tetap saja, aku tidak bisa bersikap peduli karena jenis kelaminnya bukan laki-laki.“Bang Gun, stok oli dan beberapa suku cadang di gudang sudah menipis. Sebaiknya segera pesan kepada sales yang biasa Bapak Hartawan pesan,” lapor Hadi salah satu pekerja yang sikapnya sejak awal kurang menyukaiku.Dia selalu mencari kesalahan untuk menjatuhkanku di depan pak Hartawan, ayahnya Hanum.“Aku sudah tahu, nggak usah kamu ingatkan lagi. Urus saja pekerjaanmu sana, biar itu menjadi urusanku!” ketusku dengan wajah sinis.Laki-laki seperti Hadi memang jangan pernah diberi hati, karena dia type orang yang tidak tahu berterima kasih. Padahal sebenarnya aku termasuk orang yang royal kepada karyawan dengan memberikan bonus kepada mereka jika pendapatan bengkel mengalami kenaikan.Aku beruntung diberi kepercayaan penuh mengelola bengkel milik mertua. Namun semua hasil pendapatan wajib disetorkan ke rekening khusus bengkel setiap bulannya. Bagiku yang berotak pintar ini tidak masalah karena semua laporan bisa dimanipulasi.Kebetulan ayah mertua tidak terlalu perhatian dengan bengkelnya, jadi aku bisa leluasa mengeruk pendapatan tiap bulannya. Aku harus membalas semua kebaikan Mbak Sita dan Kak Rahmat. Berkat mereka, aku tumbuh menjadi laki-laki yang sehat, tampan, serta pintar. Oleh sebab itu, aku tidak keberatan jika harus mengirimi mereka uang setiap bulannya.Masalah Hanum yang meminta jatah bulanannya dinaikkan, akan aku pikirkan nanti. Kalau dia tetap memaksa, tinggal pecat saja Bik Inah dan uang gajinya bisa aku gunakan untuk menambah jatah bulanan Hanum.Aku segera menghubungi kontak sales baru yang bisa memesan oli dan suku cadang dengan harga jauh lebih murah. Sehingga aku bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Untuk keuntungan ini, akan aku transfer ke rekening pribadi.Sore harinya aku pulang ke rumah dengan malas, karena yang aku lihat wajah Hanum yang semakin hari semakin terlihat tidak menarik dan tidak terawatBelum lagi mendengar jerit tangisan kedua anakku, sekarang ditambah bayi yang suaranya melengking mencapai belasan oktaf mengalahkan penyanyi kelas dunia.Mau bagaimana lagi, semuanya harus diterima agar tetap bisa hidup enak dan membantu perekonomian kedua kakakku. Namun aku heran saat melihat suasana rumah yang terlihat sepi dan pintu tidak terkunci. Kemana perginya Hanum dan anak-anak?Dadaku bergemuruh menahah emosi, tubuhku lelah selepas bekerja tetapi dia malah tidak berada dirumah. Setelah memeriksa kesemua penjuru rumah yang kosong melompong, aku mendatangi rumah Bu Andi tetangga yang rumahnya terletak bersebrangan. Kebetulan ia sedang menyapu halaman rumahnya, lebih baik aku tanyakan kepadanya.“Permisi Bu Andi. Apakah Ibu melihat Anak dan Istri saya?” tanyaku seraya menyunggingkan senyum.“Memangnya Pak Gunawan tidak tahu, Istri Bapak dibawa ke rumah sakit oleh Kakaknya. Katanya Bu Hanum ditemukan pingsan dikamarnya. Kalau anak-anak sudah dibawa sama Bik Inah kerumahnya!” jawab Bu Andi dan berhasil membuatku bagai tersambar petir disiang hari.Aku bergegas meninggalkan Bu Andi tanpa berpamitan. Mengendarai motor menuju rumah sakit untuk mengetahui keadaan Hanum. Bisa gawat kalau sampai kak Lala bahkan ayah tahu kalau aku sudah meninggalkan Hanum yang sedang sakit.Aku mengendarai motor dengan kecepatan penuh agar segera tiba di rumah sakit. Setibanya di tempat tujuan, aku bergegas memarkirkan kendaraan dan berlari menuju bagian informasi. Setelah mendapatkan informasi, aku setengah berlari menuju lift untuk sampai ke lantai dua rumah sakit tempat Hanum dirawat.Sepanjang perjalanan, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Kak Lala dan ayah pasti marah besar karena kesalahanku. Kenapa Hanum tidak menghubungiku? Aku jadi ingat, terakhir Hanum meminta dibelikan kuota dua bulan yang lalu. Pasti kuotanya habis sehingga tidak bisa menghubungiku.Otakku rasanya buntu memikirkan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan kedua orang yang aku segani itu.“Hanum!” panggilku saat memasuki kamar perawatannya.Benar saja, kak Lala dan ayah berada disana. Mereka menatapku dengan tatapan penuh amarah.“Mau apa kamu datang kemari?” bentak kak Lala kepadaku. Sorot matanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.“Mengapa Kak Lala berbicara seperti itu? Aku suaminya Hanum, wajar jika aku datang kesini!” jawabku dengan dengan mimik wajah dibuat sendu. Aku berpura-pura bersedih melihat keadaan Hanum agar terlihat meyakinkan.“Suami macam apa kamu, membiarkan Adikku pingsan di rumah sendirian?” hardiknya lagi.Kilatan amarah terpancar dari sorot matanya. Aku sedikit gugup, tetapi berusaha menampilkan wajah bersalah agar akting yang dijalani terlihat natural.Aku tidak menanggapi ucapan kak Lala, malah berjalan mendekat ke arah Hanum dan memeluknya. Aku kembali berakting supaya kak Lala tidak terus-terusan menyalahkan.“Hanum sayang, kenapa kamu tidak menghubungiku kalau kamu sakit? Tadi pagi saat aku akan pergi bekerja, kamu terlihat baik-baik saja,” ucapku masih dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Hanum terlihat meneguk saliva dan memalingkan wajahnya. Jangan sampai wanita cengeng ini mengadu kepada ayahnya kalau aku sengaja meninggalkannya saat dia sedang kesakitan.“Kamu lihat kan, Adikku sudah muak melihatmu. Sebaiknya kamu pergi dan jangan pernah ganggu adikku lagi. Aku dan Ayah masih sanggup merawat dan membiayainya tanpa kamu!” kali ini suara kaka Lala semakin meninggi.Sementara ayah mertua hanya terdiam menjadi pendengar setia. Padahal biasanya beliau yang sellau membelaku.Ya Tuhan...apakah ini akhir dari sandiwaraku?"Nggak usah kebanyakan drama kamu, cepat pergi dari sini dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" bentak kak Lala pada sosok laki-laki di hadapanku ini dengan wajah memelas.Namun tiba-tiba ayah yang berada di dekatku terlihat memegangi dadanya. Nafasnya terlihat naik turun. Aku dan kak Lala langsung panik. Pasti penyakit jantung ayah kumat lagi. Kak Lala segera berlari keluar ruangan, sepertinya hendak memanggil bantuan. Sementara Mas Gunawan terlihat terkejut dengan keadaan ayah mertuanya.Dia berinisiatif untuk memapah ayah ke arah sofa yang berada di pojokan ruangan. Lalu kemudian membaringkannya perlahan. Ayah masih memegangi dadanya dan matanya terlihat terpejam. Selang beberapa lama kemudian, kak Lala datang bersama seorang laki-laki yang aku duga sebagai dokter.Laki-laki berpakaian putih serta berkacamata itu memeriksa kondisi ayah."Sebaiknya Ayah Anda dipindahkan ke ruang IGD, untuk pemeriksaan lebih lanjut!" ucapnya setelah selesai melakukan pemeriksaan."Baik,
Aku berada di ambang kebimbangan. Antara harus percaya atau tidak dengan pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal itu. Namun apa salahnya jika mengecek keberadaan Mas Gunawan di bengkel, karena dugaanku memang mengarah kesana.Aku segera bersiap untuk menuju bengkel. Beruntung kedua anakku Hana dan Hani masih tertidur. Aku berangkat hanya membawa si bayi dalam gendongan. Sebenarnya merasa khawatir meninggalkan kedua anakku yang masih balita dirumah tanpa ada yang mengawasi. Namun aku terpaksa, karena tidak ada Bik Inah yang dimintai tolong untuk menjaga mereka.Sedangkan untuk meminta bantuan Bu Andi tetanggaku rasanya sungkan. Aku sangat sering merepotkannya. Sebenarnya jarak bengkel dengan tempat tinggal lumayan dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun untuk menghemat waktu memilih menggunakan ojek agar tiba dengan cepat dan kembali sebelum anak-anak bangun.Setibanya dibengkel, suasana masih terlihat sepi karena masih pagi. Para pekerja belum ada satu pun yang d
PoV: Lala“Hanum!!!” teriakku, saat melihatnya ingin melukai leher anaknya sendiri menggunakan pecahan kaca yang tidak diketahui darimana asalnya.Bahkan beberapa goodie bag yang aku bawa terlepas begitu saja dari genggaman karena terkejut melihat pemandangan mengerikan di depan mata.Hanum menoleh ke arahku seiring terjatuhnya kaca yang berada digenggamannya. Beberapa detik kemudian, dia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi kepada adikku.Namun yang jelas kondisi kamarnya kini sudah hancur berantakan. Rupanya pecahan kaca tadi didapat dari cermin meja riasnya yang sudah tercerai berai. Sungguh pemandangan yang memilukan. Aku segera memeluk Hana dan Hani yang menangis ketakutan di pojok kamar. “Atagfirullah, ada apa, La?” tanya ayah sama terkejutnya saat melihat pemandangan yang mengerikan di depan mata.Aku memang masuk terlebih dahulu saat ayah sedang memarkirkan kendaraannya. Aku sangat bersemangat untuk bertemu dengan keponakan
"Te-tapi Ba-pak Gunawan sudah memecat saya, Bu Lala," jawab Bik Inah terdengar gugup.Aku tersentak mendengar jawaban Bik Inah. Rupanya alasan inilah yang membuat kondisi adikku memburuk. Dia kelelahan karena menghandle semua pekerjaan rumah tangga, ditambah mengurus tiga anak sekaligus. Padahal dia melahirkan secara operasi caesar. "Dasar keterlaluan si Gunawan itu" makiku dalam hati."Bik, Adik saya sekarang dirawat di rumah sakit. Luka caesarnya robek dan terpaksa dijahit kembali," ucapku menimpali jawaban Bik Inah."Astagfirullah, Bu Hanum dirawat di rumah sakit? Kasihan sekali Bu Hanum," ujar Bik Inah ikut terkejut mendengar kabar Hanum."Iya, Bik. Sepertinya sejak tidak ada Bibik, Hanum kerepotan mengurus semuanya sendirian. Tujuan saya menghubungi Bibik ingin meminta bantuan untuk merawat anak-anak Hanum yang sekarang berada di rumah Ayah. Kalau Bibik bersedia, nanti ada sopir yang menjemput," ucapku memberikan alasan menghubunginya."Siap, Bu Lala. Saya bersedia merawat anak-a
Pikiranku pusing karena mendengar keluhan dari Hanum yang merasa kelelahan setelah Bik Inah belum juga masuk kerja. Sebelumnya Bik Inah izin tidak masuk kerja satu hari karena ada urusan dikeluarganya. Namun sudah dua minggu berjalan, Bik Inah tidak kunjung masuk bekerja. Hanum tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah memecatnya.Lumayan jatah gajinya bisa aku gunakan untuk mentraktir Lisa, wanita berstatus janda yang baru sebulan ini bekerja di bengkel. Wanita bertubuh sexy itu membuatku bersemangat bekerja. Senyum dan suaranya yang merdu itu membuatku mabuk kepayang.Jika dihitung-hitung, sudah berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan untuk menggaji Bik Inah. Oleh sebab itu, aku memecatnya agar Hanum tidak lagi manja mengandalkan bantuan Bik Inah. Aku malas berdebat dengan Hanum, makanya aku pergi meninggalkan rumah untuk mencari udara segar. Rasanya kurang asyik jika aku hanya sendirian saja, sehingga menghubungi Lisa dan dia pun tidak menolak untuk menemani.Setelah puas mengajakn
Aku terbangun saat mendengar suara teriakan dan rintihan seseorang. Rasanya suara itu tidak asing di telingaku. Perlahan aku membuka kedua mata dan menengok ke arah sumber suara. Aku terkejut saat melihat Mas Gunawan sedang terbaring dilantai memegangi wajah dan tubuhnya yang mendapatkan kekerasan dari ayah.Saat ayah akan kembali melayangkan tendangan, aku berteriak menghentikannya."Ayah, cukup!!" teriakku kepada sosok yang selama ini menyayangiku dengan tulus.Aku tidak tahu alasan ayah berbuat kasar kepada Mas Gunawan. Padahal selama ini, beliau selalu membela Mas Gunawan."Kenapa kamu menghentikan Ayah? Laki-laki ini pantas mendapatkannya. Kalau perlu, dia harus mati di tangan Ayah. Dia sudah berani menyakiti harta yang selama ini Ayah jaga mati-matian," ucap ayah dengan kilatan amarah di kedua netranya.Aku tidak mengerti maksud perkataan ayah. Namun yang pasti, aku tidak ingin ayah mendapatkan masalah karena melakukan tindak kekerasan.Sementara itu, Mas Gunawan yang terlihat l
PoV: GunawanAku tersungkur di lantai rumah sakit, setelah diseret paksa seperti seekor hewan oleh ayah mertua. Bukan hanya rasa sakit di wajah serta tubuh yang aku rasakan saat ini, tetapi juga rasa sakit di hati yang tidak terperi. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Ayah mertua mengetahui semua sandiwaraku selama ini. Padahal aku sudah berusaha menutupinya sebaik mungkin. Bukan hanya ayah mertua, tetapi Hanum juga sudah tidak lagi menganggapku suaminya. Bahkan dengan beraninya dia meminta kata talak dariku. Hancur sudah semua rencana dan siasat yang sudah aku susun dengan rapi. Aku harus bersiap kehilangan semua yang dimiliki selama ini.Aku tertatih memasuki lif untuk turun ke lantai bawah. Malu rasanya melihat tatapan aneh orang-orang yang berpapasan denganku. Rasa sakit yang mendera sudah tidak aku hiraukan. Tubuh dan pikiranku rasanya sangat letih. Mungkin sebaiknya aku pulang ke rumah untuk beristirahat dan memikirkan langkah selanjutnya. Aku masih optimis bisa meng
Aku penasaran, apa yang sebenarnya dilihat Hana sehingga membuatnya ketakutan. Mataku tertuju ke arah pintu gerbang. Jantungku berpacu lebih cepat, serta aliran darah terasa berhenti mengalir saat mengetahui penyebab Hana ketakutan.Mas Gunawan berdiri di ambang pintu gerbang rumah. Penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Dia terlihat lusuh karena memakai pakaian yang tidak layak pakai. Pantas saja Hana ketakutan, bahkan dia sampai tidak mengenali ayahnya.Aku memberi kode kepada ayah dan kak Lala agar meninggalkanku berdua dengan Mas Gunawan. Meskipun tatapan mereka menyiratkan penolakan, tetapi akhirnya mereka masuk ke dalam rumah termasuk dengan anak-anak.Setelah kepergian mereka, Mas Gunawan terlihat melangkah ke arahku. Saat jarak kami hanya terpaut beberapa meter saja, Mas Gunawan terlihat ingin memelukku. Sontak saja membuatku terkejut dan menghindarinya."Jangan sentuh aku, Mas!" bentakku dengan tatapan penuh emosi."Kenapa, Hanum? Aku masih Suami sahmu. Kamu berdosa jika
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
PoV: GunawanSi*al … Gara-gara Hanum, hidupku jadi sengsara seperti ini. Menghabiskan waktu di dalam jeruji besi yang membuatku hampir gila. Bagaimana tidak? Aku hidup dalam sel yang dihuni puluhan orang. Tidur berdesakan dengan hanya beralaskan kasur yang sangat tipis, setipis imanku. Selain itu, menu makanan disini juga sangat tidak menggugah selera. Baru beberapa minggu saja tinggal disini, aku merasa bobot tubuh merosot drastis.“Hei Gunawan, kenapa kamu melamun? Jangan bermimpi bisa kabur dari sini, karena aku sudah mencobanya berpuluh kali namun selalu gagal,” ledek Agus, teman sesama napi yang mendapatkan vonis seumur hidup. “Lihat saja nanti, aku akan keluar dari sel terkutuk ini,” jawabku jumawa.Agus terkekeh. Saking gelinya, ia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Mungkin baginya ucapanku seperti sebuah lelucon yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku seorang narapidana yang tergolong baru bisa keluar dari sel ini dengan selamat. Sedangkan dirinya yang sudah tinggal puluhan t
Aku terjaga di sepertiga malam, menengadahkan kedua tangan memohon ampunan dan petunjuk-Nya. Bukan berputus asa, namun aku lelah menghadapi masalah yang tidak jelas akar permasalahannya ini sendirian. Suamiku yang hangat dan penyanyang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan acuh. Begitu pun dengan kedua putriku Hana dan Hani. Mereka yang penurut juga tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang dan lebih menuruti ucapan Rani, asisten rumah tanggaku.Ya, Rani. Ia penyebab semua permasalahan di keluargaku. Semenjak kedatangannya di rumah ini, hidupku yang bahagia berubah menjadi sebuah malapetaka. Aku terus bermuhasabah dan introspeksi diri, khawatir ada sikap atau kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sengaja sehingga Allah memberikan teguran dengan mendatangkan permasalahan ini. Akan tetapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.Aku pikir dengan memecat Rani, semua permasalahan akan selesai. Namun ternyata perkiraanku salah, karena justru menambah m
"Aduh ... sakit. Jangan sakiti saya, Bu." Aku sengaja berakting seolah sedang disakiti oleh Bu Hanum, tujuannya untuk mencari perhatian Bapak Hadi, suaminya.Sontak aktingku menarik perhatiannya. Begitupun dengan kedua anak-anaknya, mereka berlari menghampiriku."Kamu kenapa, Rani?" tanya Bapak Hadi dengan wajah cemas. Ini memang tujuanku, menarik perhatiannya."Ibu Hanum mengusir saya dari rumah, Pak. Saya menolaknya karena merasa tidak mempunyai kesalahan, namun Ibu Hanum mendorong saya sampai jatuh," jawabku dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Jawabanku sontak membuat Bapak Hadi terkejut. Matanya menatap ke arah Ibu Hanum yang tengah berdiri di belakangku dengan gugup. "Hanum, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" hardik Bapak Hadi kepada istrinya."M-as Hadi. Ini semua tidak benar. Rani kembali memfitnahku. Oleh karena itu aku memintanya untuk berhenti bekerja disini, agar keluarga kita kembali harmonis seperti dulu lagi," jawab Ibu Hanum dengan mata yang berembun.Puas r
"Kamu jangan fitnah, Rani. Aku dan Bu Hanum hanya mengobrol biasa!" hardik Badru pada Rani yang sedang menatap kami berdua dengan tajam.Rupanya teriakan Rani memancing kedatangan Mas Hadi. Laki-laki yang bergelar suami itu menunjukkan wajah penuh amarah."Siapa yang selingkuh Rani?" tanya Mas Hadi dengan wajah tegang.Aku membulatkan kedua bola mata. Jangan sampai Mas Hadi terkena hasutan Rani yang menuduh berselingkuh dengan Badru. "Badru, Pak." Jawab Rani mantap."Iya, maksudnya Badru selingkuh sama siapa?" tanya Mas Hadi lagi."Sama ...." Rani menggantung kalimatnya.Kedua kalinya aku membulatkan kedua bola mata menatap ke arah Rani. Jangan sampai ia mengadu yang tidak-tidak kepada Mas Hadi."Sama siapa?" tanya Mas Hadi tidak sabar."Sama Bu Hanum," jawab Rani seraya menundukkan wajahnya. Ia tampak seperti seolah merasa bersalah, namun aku tahu itu hanya aktingnya semata.Mas Hadi membelalakkan matanya, menatap ke arahku dan Badru secara bergantian. Jantungku rasanya seperti berh
Sontak aku berlari menuju kamar tamu yang ditempati oleh kak Lala. Aku terkejut saat melihat kak Lala seperti orang yang ketakutan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap ke arah kolong tempat tidur."Kak Lala kenapa?" tanyaku heran bercampur curiga. "H-hanum, ada u-ular ....." jawab kak Lala dengan terbata. "Ular? Dimana, Kak?" tanyaku seolah tidak percaya dengan jawaban kak Lala."Di kolong tempat tidur. Ularnya besar sekali, Kakak takut!" jawab kak Lala dengan wajah sedikit mulai pias.Aku menghampiri dan berusaha menenangkannya. Mataku menatap tajam kolong tempat tidur yang ditunjuk oleh kak Lala. Rasanya tidak mungkin jika ada ular di kamar tamu ini. Seumur hidup tinggal di rumah ini, aku tidak pernah berjumpa dengan binatang berbisa itu. Jangankan binatang berbisa, seekor kecoa dan nyamuk pun tidak pernah aku lihat di rumah ini. Aku sangat menjaga kebersihan rumah ini."Kakak yang tenang, ya. Tidak mungkin di rumah ini ada ular. Apa Kakak barusan tengah tertidur dan bermimpi?
Kak Lala menelponku. Apakah ini jawaban dari doaku? Sosok kakak yang selalu melindungi adiknya itu hadir setelah beberapa bulan tidak memberi kabar. Setelah peristiwa berdarah di Surabaya tempo hari, kak Lala menemukan jodohnya dan diboyong oleh suaminya ke daerah yang sama. Dengan perasaan suka cita, aku segera menerima panggilan darinya.“Assalamualaikum Kak Lala, apa kabar?” sapaku mengawali pembicaraan dengan antusias.“Waalaikumslaam, Adikku Sayang. Alhamdulillah, kabar Kakak baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”“Kabarku kurang baik, Kak. Seandainya Kakak ada disini, aku ingin bercerita banyak,” jawabku lirih.“Kakak siap mendengarkannya. Tunggu Kakak sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Jika tidak ada halangan, Insya Allah Kakak ingin menginap di rumahmu, Num.”Aku terkejut mendengar jawaban Kak Lala. Mungkin Allah telah mengirimkan Kak Lala sebagai jawaban atas doa-doa sebelumnya mengenai solusi kemelut dalam rumah tanggaku.Setelah berpamitan, Kak Lala mengakhiri teleponnya.
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi