Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.
Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti. Kalau saja ia tak berkata kasar terhadap ibu mertuanya mungkin Bu Ine tak akan sampai seperti itu. “Sudahlah, Ranti. Ini semua bukan salahmu. Kita doakan saja Bu Ine bisa melewatinya. Semoga beliau selamat dan kembali sehat,” hibur Bu Hana yang tak beranjak sama sekali dari samping sang putri. Mereka telah berada di depan ruang IGD untuk menunggui Bu Ine ditangani oleh tim Dokter. “Lagipula juga ini kan salah suami kamu. Irwan sendiri yang membuat ibunya sampai begitu.” Pak Andi yang yang masih diselimuti amarah mengepalkan tangan seolah siap hendak melepaskannya pada menantu kurang ajarnya nanti. Ranti hanya termenung menyesal. Telah lama ia berhasil menyembunyikan semua keretakan rumah tangganya dengan Irwan di hadapan Bu Ine. Tapi kejadian malam itu terlalu membuatnya tertekan hingga ia lepas kendali tadi. Wanita mana yang masih bisa sabar bila melihat dengan mata kepala sendiri suaminya langsung pergi ke rumah wanita lain selepas mengucapkan talak? Derap langkah kaki berlari menghampiri tempat Ranti dan dua orangtuanya menunggui Bu Ine. “Ranti, kenapa sama Ibu, Ran?” tanya Irwan yang langsung mencengkeram lengan istrinya dan mengguncangnya pelan. “Masih berani kamu tanya kenapa, ha?” Pak Andi langsung menarik bahu Irwan dengan kasar agar menghadap ke arahnya. “Pak? Bapak dan Ibu juga di sini?” tanya Irwan yang sepertinya tadi terlalu panik hingga tidak memperhatikan dua orang lain selain Ranti. “Jangan banyak tanya kamu! Ibu kamu pingsan dan kena serangan jantung karena ulahmu, tahu! Dasar lelaki gak punya otak kamu!” Tanpa bisa menahan amarahnya lagi, Pak Andi melepaskan bogem mentah yang sedari tadi memang ia siapkan untuk sang menantu kurang ajar. Ranti dan Bu Hana tersentak kaget dan masing-masing kini memegangi dua pria yang saling berhadapan dengan wajah penuh emosi itu. Keduanya berusaha menenangkan suami masing-masing agar tak melanjutkan keributan. “Sabar, Pak. Ini di rumah sakit,” ucap Bu Hana seraya menarik sang suami agar duduk agak menjauh di sisi lain ruang IGD. Sementara Ranti tak berucap sepatah pun, hanya mengempaskan lengan Irwan tanpa menatap wajah sang suami yang pipinya memerah kena tonjok Pak Andi. “Bapak kamu itu gila ya—“ “Kamu yang gila, Mas! Kamu emang pantas dihajar tahu, nggak! Kamu dari rumah Mona, kan? Nggak peduli sama istri yang sudah kamu talak dan ibu kamu yang shock dengan fakta kebusukanmu, ha? Itu namanya gila!” Ranti mendamprat habis Irwan saat itu juga. “Ap-apa? Rumah siapa?” Dengan mata membelalak, Irwan tampak kebingungan bagaimana bisa Ranti sampai tahu mengenai ia yang berada di rumah Mona segala? “Jangan menyangkal kamu! Aku ngikutin kamu dan lihat sendiri mobilmu ada di halaman rumah Mona! Rupanya kalian selama ini ada main di belakangku, ya? Pantas saja gajimu lari semuanya bukan ke istrimu tapi ke dia. Iya? Katamu uangmu habis untuk cicilan rumah dan mobil tapi Ibu bilang sendiri rumah itu sudah dibeli cash oleh mendiang ayahmu! Bualan macam apa itu! Itu namanya suami gila, Irwan! Kamu yang gila, bukan Bapakku!” Irwan meneguk ludahnya susah payah. Dari mana Ranti sampai tahu semua itu? Astaga, segala kebohongannya telah ketahuan rupanya. Dalam waktu semalam? Bagaimana mungkin? Benak Irwan masih bertenya-tanya soal bagaimana Ranti bisa mengetahui semuanya dalam waktu sekejap mata. Padahal biasanya Ranti begitu patuh dan penurut hingga bahkan tak pernah protes mau diberi uang belanja berapapun. “Mau ngomong apa lagi kamu, ha? Kehabisan bualan yang lain lagi, iya?” tantang Ranti sambil berusaha menekan suaranya agar tak meninggi. Ia sadar itu di rumah sakit dan ia tak boleh menciptakan keributan. Belum sempat Irwan menjawab, tim dokter sudah keluar dan mengabarkan bahwa Bu Ine sudah sadar. Gegas Irwan berlari masuk ke dalam ruangan untuk menghampiri ibunya sementara Ranti diajak pulang oleh dua orangtuanya. Tak perlu mereka melihat Bu Ine, toh dokter sudah bilang kalau beliau sudah melewati masa kritisnya dan kini sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Di dalam ruangan, Bu Ine yang masih mnegerjap-ngerjap lemah menyebut nama Ranti, tapi yang menghampirinya adalah Irwan. “Irwan, mana Ranti?” tanya wanita itu lemah. “Bu, Ibu nggak apa-apa, kan, Bu? Apa yang sakit, Bu?” tanya Irwan khawatir karena di tubuh ibunya masih dipasangi beberapa kabel yang tersambung ke alat rekam jantung yang terpasang di dinding atas kepala ranjang pasien. “Irwan, mana Ranti? Ranti bilang kamu—“ Bu Ine tampak bingung. Kondisi setelah tidak sadar membuatnya sedikit mengalami de javu dan belum bisa mengingat banyak hal detail yang baru saja terjadi. “Ibu tenang, Bu—“ “Tidak, Irwan. Mana Ranti? Ibu mau ketemu istri kamu!” bentak Bu Ine keras. “Iya, Bu, Iya, biar Irwan panggil dulu. Ranti di luar,” jawabnya kemudian berbalik keluar untuk memanggil sang istri. Betapa terkejutnya saat ia tak mendapati siapa pun di depan ruang IGD itu. Ranti dan kedua mertuanya telah pergi dari sana tanpa pamit. “Mereka pasti langsung pulang, huuuft ....” Bahunya melorot dan ia bingung harus menelepon Ranti untuk minta tolong agar menemui ibunya atau masuk lagi ke dalam dengan risiko kena omel Bu Ine. Oh, keduanya sama-sama bukan hal yang mudah. Akhirnya ia memilih menelepon Ranti karena yakin wanita itu pasti belum jauh. Siapa tahu Ranti masih mau menyempatkan diri menemui ibunya karena Bu Ine yang mencarinya. Namun, sayang sekali ponsel istrinya itu ternyata kini dimatikan. Ya, Bu Hana yang melihat panggilan di ponsel putrinya dengan nama Irwan terpampang di layar langsung berinisiatif untuk mematikan ponsel sang putri. “Biar dia urus sendiri ibunya, Ranti. Biar dia tahu gimana repotnya tanpa istri!” bersambung ….Ranti menghela napas panjang. Ia masih sedikit khawatir dengan keadaan Bu Ine. Tapi, untuk tetap bertahan di sana dan berada dalam satu ruangan dengan Irwan ia sudah tak nyaman. Pokoknya sebisa mungkin ia akan menghindar. Pria dengan kelakuan busuk itu kini telah membuatnya muak. Pengorbanan dan kepatuhannya selama ini sebagai istri rupanya sama sekali tak dihargai. Balasan yang ia terima justru adalah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Sesampai di rumah, Bu Hana masih menahan HP sang putri. Wanita keibuan itu tahu betul Ranti pasti masih kepikiran aka kondisi mertuanya. Dan ia hanya berjaga agar tak sampai Ranti terbujuk untuk mengasihani Irwan si brengsek itu. Ia sudah tak mau lagi putrinya akan luluh dimanfaatkan lagi oleh lelaki kurang ajar yang sayangnya adalah menantunya itu. Lebih baik Ranti bercerai dengan tenang dan menjalani kembali kehidupannya. Toh putrinya masih muda. Sementara Irwan kebingungan membujuk ibunya agar mau hanya diurus oleh dirinya saja. Mau bagaimana
Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri.“Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang
Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
Melihat Irwan yang kemudian menutup ponselnya dengan raut wajah kalah pun membuat Mona murka. Ia berkacak pinggang di hadapan kekasih haramnya itu sambil mulai mengomel khas wanita."Apa-apaan itu tadi, Irwan? Kamu nggak berani sama si buluk istrimu itu, ha? Pria macam apa sih kamu?”“Mona, jangan memperkeruh suasana. Aku udah cukup pusing dengan masalahku—““Apa? Masalahmu? Ini juga masalahku, Irwan. Jelas-jelas netizen udah bertindak menyerang akunku gila-gilaan! Sekarang mau ditaruh di mana mukaku, coba? Semua orang kini akan mengataiku pelakor dan kamu bilang cuma kamu yang punya masalah? Iya?” Mona menggamit lengan Irwan dan dengan gemas memuntirnya lalu menghujaninya dengan cubitan keras.“Tapi aku juga mengalami hal yang sama, Mona. Bukan kamu aja. Ya udah, kita harus terima ini sebagai salah satu konsekwensi dari perbuatan kita di belakang Ranti—““Hah? Kamu kok jadi kayaknya ngebelain istri kamu itu, sih? Kamu udah simpati sama dia dan mau kembali sama dia?” tuding Mona yang
“Sial! Ini gila! Gimana mungkin kita bisa sama-sama dipecat gini, coba?” Mona mencak-mencak setelah mereka sudah keluar dari ruangan Pak Jodi.“Pak Jodi keterlaluan sih. Harusnya dia nggak sekeras itu. Paling tidak kasih SP dulu lah. Bukan langsung main pecat gini!” Irwan sama emosinya dengan Mona.Pikiran mereka semakin kalut mengingat berbagai tagihan yang harus mereka bayar setiap bulan. Apa jadinya kalau mereka sudah tak lagi punya sumber penghasilan berupa gaji seperti biasanya? Siapa lagi yang bisa diandalkan? Sial!“Ini semua gara-gara istri buluk kamu itu! Kamu pokoknya harus kasih pelajaran ke dia, Irwan! Bikin dia kapok dan minta dia bilang ke Pak Jodi untuk menganulir pemecatan kita! Aku yakin kalau dia mau menjadi penengah, mungkin Pak Jodi akan mau mempertimbangkan—“ Mona kembali mengumpati Ranti soal tersebarnya skandal penyebab dipecatnya mereka itu.“Huuuft ... Pak Jodi pasti tidak akan menggubris Ranti, Mona. Siapa dia sampai bisa membuat Pak Jodi membatalkan keputusa
Ranti mendengarkan dengan tenang cerita dari Dewi. Ada sedikit rasa tak nyaman dalam hatinya karena sesungguhnya ia tak mengharapkan kejadian buruk yang menimpanya itu disebarluaskan. Bukan hanya Mona dan Irwan, dirinya sendiri pun menanggung malu meskipun tentu saja bukan sebagai pesakitan.Tapi, jadi korban dalam sebuah perselingkuhan sama sekali bukan hal yang pantas untuk dibanggakan juga, kan? Baginya sebenarnya itu adalah aib yang layak ditutupi. Tapi kalau menurut Dewi hal itu akan bisa menjadikan efek jerqa bagi para pelaku perselingkuhan dan sebagai bagian dari sanksi sosial yang pantas didapat oleh Irwan dan pelakornya, maka biarlah terjadi.Ia sendiri juga mendapati akun sosial medianya diserbu dengan berbagai dukungan, simpati dan bahkan motivasi dari mereka yang tampaknya juga pernah mengalami hal sama. Oke, itu cukup menghibur meskipun sesungguhnya yang ia perlukan saat itu hanyalah sebuah privasi dan waktu bersama dirinya sendiri. Waktu untuk menyembuhkan sakit hati dan
Hukuman terberat bukan dipenjara atau membayar sejumlah besar denda yang diajukan oleh perusahaan milik Jodi. Bukan!Irwan sama sekali tak keberatan kalau ia harus dipenjara selama beberapa saat atau menumpuk utang hanya untuk membayar denda asalkan setelah itu ia masih bisa memiliki Ranti!Ya, kini Irwan benar-benar sadar dan menyesal setengah mati mengapa dulu ia sampai terpikir untuk mengkhianati istri tercintanya itu. Sungguh, ia mengutuk hari di mana Mona berhasil meruntuhkan kesetiaannya. Hari di mana ia terpesona oleh bujuk rayu wanita sial*n itu. Astaga! Andai bisa ia mengulang waktu!Pengacara dari perusahaan barunya sudah membereskan semua urusan jaminan hingga ia tak perlu sampai menginap di balik tahanan. Tapi meskipun pulang ke rumah, pikirannya hanya terpusat pada satu hal. Bagaimana ia bisa mendapatkan kembali simpati dan cinta dari Ranti, mantan istri yang masih sangat dicintai serta diharapkannya itu.Tapi nyatanya kuasa hukum Jodi justru memberikannya dua pilihan, be
"Ada apa ini?"Sambil berusaha bersikap setenang mungkin, Irwan menghampiri tiga petugas tesebut dan mempersilakan mereka duduk kembali di sofa ruang tamu."Ini surat penahanan Anda, Pak Irwan. Harap bersikap kooperatif karena sudah berkali-kali surat panggilan interogasi datang, tetapi Anda sama sekali tidak memberikan respon." Seorang petugas yang sepertinya adalah senior di antara dua lainnya itu berkata sambil menyodorkan sebuah amplop putih panjang.Irwan mengambil dan membuka lalu membacanya dalam hati. Betul yang petugas itu katakan. Ia benar-benar harus ditahan saat itu juga. Astaga!"Tapi, Pak. Bukankah seharusnya saya berhak mendapatkan bantuan pengacara? Perusahaan baru saya sudah pasti akan bersedia menyediakan pengacara mahal untuk saya--""Silakan, Pak. Di pengadilan nanti Bapak bebas didampingi pengacara. Tapi saat ini yang penting Anda harus ikut kami," jawab sang petugas senior lagi.Irwan tak punya pilihan lain. Ia izin untuk berganti pakaian dulu ke kamar sambil mel
"Apa? Berani nyamperin kamu ke rumah? Mau apa katanya?" Jodi yang mendapat laporan dari Ranti segera terpantik emosi."Tau tuh, katanya mau bicara empat mata. Pake bilang minta ampun dan sumpah nggak akan ngulangin kesalahan lah, apa lah, ish." Ranti menjelaskan sambil bibirnya mengerucut kesal sendiri atas sikap Irwan tadi.Mereka berdua tengah makan siang di cafe dekat MP Distro milik Ranti. Biasanya mereka juga sekalian membahas hal-hal penting mengenai distro yang berhubungan dengan Jodi dan tentu saja juga diselipi urusan pribadi."Lalu, kamu kasih dia kesempatan lagi?" tanya Jodi sambil hatinya ketar-ketir. Bagaimana pun, Irwan adalah cinta pertama Ranti. Dan banyak sekali orang yang bilang bahwa namanya cinta pertama itu pasti susah hilang sama sekali meski sudah berpisah sekalipun. Siapa yang tidak khawatir?"Ya nggak, lah. Langsung kutinggalin dia di sana. Biarin deh ngomong sama pagar sana sekalian! Enak amat minta dimaafin setelah apa yang dia perbuat!" Ranti masih menggebu
Malam-malam dingin terus menyelimuti Irwan. Dalam kesepian, ia terus merindui sosok Ranti, sang mantan istri. Di ranjang, di sudut-sudut kamar, di depan meja rias, bahkan di dalam kamar mandi, seringkali ia dapati bekas-bekas aroma Ranti yang masih tertinggal.Ah, kenapa ia begitu gegabah? Kenapa sampai sebodoh itu menggugat cerai istri sebaik Ranti cuma demi seorang Mona yang nyatanya sama sekali tak sepadan?vLihat sekarang, Ranti bisa kembali jadi bahkan jauh lebih cantik dari dulu semasa perawan. Dan pekerjaan? Kini wanita itu sudah jauh melampaui pencapaian Irwan sendiri, apalagi Mona! Tidak ada apa-apanya!Ranti pandai memasak, menu yang ia sediakan tak pernah gagal memanjakan lidah Irwan maupun ibunya. Ranti juga pandai mengambil hati sang mertua dengan bersikap penurut serta tanpa banyak protes dan bersedia melayani apa pun pinta Bu Ine. Berbanding terbalik sekali dengan Mona yang sebagai wanita taunya hanya bersolek, belanja dan menghabiskan duit! Selain itu nol!"Kembalilah
“Kamu kok jadi jarang banget pulang ke rumahku, sih?” protes Mona di kantor hari itu.“Ya aku kan harus nemenin Ibuku, Mon. Lagipula kan kita udah selalu ketemu di kantor." Irwan menjawab santai karena ia tak begitu tertarik lagi dengan Mona. Baginya, mengejar Ranti kembali merupakan sebuah misi yang jauh lebih penting ketimbang menuruti kemauan wanita di depannya itu.“Ya beda dong, Sayang ….” Mona merapatkan tubuhnya dan menyentuhkan jemari ke rahang Irwan.Biasanya Irwan akan meleleh lalu turut mencumbu wanita itu, tapi tidak kali ini. Irwan justru menepis tubuh Mona dan bangkit dari kursi putarnya untuk keluar dari ruangan.“Dengar, Mona. Kita masih baru di perusahaan ini, jadi jaga sikapmu sebelum kita bisa dapat peringatan atau parahnya dipecat lagi seperti dulu!”Mona memelototi Irwan yang meninggalkannya begitu saja di ruangan.“Sial! Kenapa sih dia? Kayaknya udah ada yang lain lagi ini!” gerutu Mona menyipitkan mata sambil bertekad akan menyelidiki.Tidak mungkin Irwan cuek p
"Aku pulang langsung atau boleh mampir dulu?" tanya Jodi saat sudah sampai di depan pagar rumah Ranti.Ranti menengok jam tangan yang menunjuk angka 9 dan kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Udah kemalaman banget, Jod. Kapan-kapan aja ya mampirnya.""Bukain gih gerbangnya," pinta Jodi kemudian seraya bersiap memutar mobil untuk masuk rumah."Loh, kubilang pulang aja, ini udah kemaleman," ulang Ranti yang sejenak mengira Jodi salah mengartikan ucapannya tadi."Iya aku langsung pulang. Ini cuma mau masukin mobil dulu kok," sergah Jodi yang tak sabar lalu keluar sendiri dan dengan cepat mendorong pintu besi berwarna hitam itu menggeser ke samping hingga terbuka semua.Ranti masih terperangah. Gimana sih, kan disuruh pulang, kok malah mobilnya dimasukin? Pikirannya tak sampai menerka maksud Jodi.Sementara Jodi memilih melanjutkan tindakan. Memasukkan mobil sedan maticnya ke teras, bersebelahan dengan mobil ayah Ranti. Kemudian ia keluar dari kursi kemudi dan menyerahkan kunci pada R
"Would you be mine?"Hening. Hembusan angin pantai meniup lembut jilbab Ranti hingga berkibar menutup hampir separuh wajahnya. Melihat itu, jemari Irwan tak kuasa untuk tak menyentuh helai jilbab yang dikenakan oleh wanita di hadapan."Cantik ...." Sebuah kata meluncur lancar dari bibir Jodi. Tak ayal membuat wajah Ranti yang sudah merona semakin tampak matang sempurna.Astaga! Kalau ada tempat kabur dan sembunyi, rasanya Ranti akan melompat ke sana secepatnya. Tak ada yang bisa dilakukannya kini selain menundukkan kepala. Memandangi ujung sepatunya sambil dengan susah payah menjaga agar debaran jantung tak sampai terdengar oleh pria di hadapan."Ran ...? Tidur ya kamu?" Mendadak Jodi mengangkat lembut dagu Ranti dan menengadahkan wajah ayu itu hingga menghadap langsung ke matanya.Dan saat dua pasang mata bertemu, kembali tak ada sepatah pun terucap. Hanya desau angin yang terasa semakin kencang saja hingga Jodi memutuskan mengambilkan jas yang tadi ia letakkan di mobil untuk dikenak
"Udah beres semua urusan Distro?" tanya Jodi kala Ranti sudah masuk ke dalam mobilnya."Udah, kok. Nanti kalau ada apa-apa Imel akan hubungin aku. Tapi nggak ada jadwal khusus hari ini, sepertinya aman," jawab Ranti meyakinkan.Biasanya ia memang akan menolak diajak keluar kalau ada jadwal kedatangan stok bahan atau produk jadi yang datang. Juga bila ada janji temu dengan supplier atau buyer partai besar. Tapi hari ini bebas, ia bisa keluar dengan Jodi entah ke mana pria itu akan membawanya."Oke, berarti kalau kita perginya agak jauhan bisa kan?" tanya Jodi lagi.Seketika Ranti menoleh ke arah pria di belakang kemudi itu."Agak jauh ke mana maksud kamu?""Ya ada deh, nggak jauh-jauh banget. Palingan dua jam perjalanan," jawab Jodi penuh misteri.Mobil sudah melaju membelah jalanan kota Bandung di jam pulang kerja. Bisa dibayangkan macetnya, tetapi rupanya hanya sebentar mereka berjibaku dalam padatnya kendaraan karena Jodi kemudian berbelok ke areal yang lumayan sepi, menuju ke Indra
Jodi lumayan terkejut kala siang itu mendapati sosok Irwan ada di kantornya. Sejujurnya ia tak menyangka Irwan akan berani menginjakkan kaki lagi di Giant Textile. Rupanya nyalinya besar juga, pikir Jodi sambil kemudian bersikap waspada.“Kau kemari, Irwan? Untuk apa?” tanya Jodi akhirnya.“Untuk berbincang secara lelaki!” tukas Irwan pendek. Tampak dadanya naik turun menahan emosi. Hal mana membuat Jodi terheran karena seharusnya yang emosi kala melihat Irwan adalah dirinya. Jelas-jelas Jodi yang dirugikan dan dikhianati sedemikian rupa hingga Giant Textile kehilangan tender potensialnya.“Perbincangan antar lelaki? Wow!” komentar Jodi sedikit mencibir.“Saya kemari karena Bapak rupanya begitu takut dengan aksi saya sampai-sampai mulai mengintimidasi Ibu dan Ranti untuk ikut membujuk saya. Di mana nyali Anda sebagai lelaki, Pak? Bukankah ini urusan pribadi kita berdua?” Irwan langsung melabrak Jodi.“Tunggu, siapa yang mengintimidasi Ibu kamu dan Ranti?” Jodi menaikkan alis tanda tak