Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.
Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri. “Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang rekannya yang sepertinya mulai gerah tiap kali Irwan ditanya soal istrinya tapi tak pernah mau mengajaknya di acara gathering perusahaan. Sebenarnya banyak juga rekan lainnya yang risih dengan sikap Irwan yang lagaknya jadi seperti pria single yang masih suka tebar pesona karena tak bersama istri. Kedekatannya dengan Mona juga mengundang cibiran tak suka di kalangan mereka. Selama itu Irwan hanya menanggapinya dengan datar dan tak menghiraukan mereka. Baginya saran dan kritikan mereka bak angin lalu. Asal dirinya nyaman dan ada Mona yang senantiasa menempel padanya, ia tak merasa kesepian meski yang lain mengajak istrinya masing-masing. Toh, kalau ia mengajak Ranti, justru istrinya itu hanya akan membuatnya rendah diri dan kurang gengsi. Sepulang kerja, sesuai janjinya, Irwan membawa Mona untuk menemui Bu Ine. Wanita separuh baya yang sedang bersantai di ruang tengah itu menanggapi kehadiran Mona dengan raut wajah menilai. Ia menatap Mona dari atas ke bawah hingga membuat wanita muda itu merasa canggung dan tak percaya diri. Tapi segera ditepisnya perasaan itu sebab ia sudah yakin betul penampilan serta riasannya tak ada yang kurang. Sudah sesempurna biasanya. “Jadi kamu pelakor yang merusak rumah tangga putraku?” JLEB! Satu kalimat yang langsung saja membuat Mona seolah dilempar ke jurang kenistaan. Rasa percaya diri serta keangkuhannya tadi lenyap seketika. Sungguh ia tak pernah menduga bahwa ibu Irwan akan setega itu berbicara kepadanya. Bibir berpoles lipstik merah menyala itu menganga saking kagetnya. “M-Mas—“ Sebelah tangannya mencengkeram lengan Irwan untuk mencari pembelaan. Tapi rupanya Irwan juga masih tercengang hingga tak mampu berkata apa pun. “Nggak usah sok kaget begitu. Memang kamu pelakor, kan? Nggak mau disebut gitu?” lanjut Bu Ine dengan telaknya. Oke, untuk perkara berbicara blak-blakan memang Bu Ine lah jagonya. Selama bersama Ranti pun wanita itu tak pernah berusaha sedikit saja menjaga lisan untuk menjaga perasaan menantunya. Padahal Ranti selalu berusaha untuk mengambil hati sang mertua. Apalagi terhadap Mona yang nyata-nyata membuat rumah tangga sang putra berantakan. Tentu saja Bu Ine merasa tak perlu sama sekali bersikap lembut atau pura-pura ramah terhadapnya. Pelakor untuk apa diramahin? Baiknya memang disumpahin! Emosi Mona yang sedari tadi ditahan akhirnya meluap juga mendengar Bu Ine terus-menerus menghina. Memangnya siapa dia sampai berani mengatai seburuk itu? “Bu! Ibu jangan sembarangan bicara, ya! Ibu itu nggak tahu apa-apa! Sudah tua bukannya jaga ucapan malah sembarangan ngatain orang!” sembur Mona sambil jemari berkutek beningnya menunjuk-nunjuk wajah Bu Ine. Bu Ine yang tak pernah sama sekali mendapati perlakuan sekasar itu dari siapa pun sebelumnya pun auto mengamuk. “Heh! Ini wanita yang kamu bilang mau jadi menantu baru Ibu, Irwan? Nggak sudi aku punya mantu kayak gitu! Pelakor nggak tahu sopan santun!” balas Bu Ine yang bangkit dan ikut menunjuk-nunjuk wajah Mona. “Sudah, Bu, Mona. Jangan bertengkar, dong—“ Irwan tergesa memisahkan dua wanita di hadapannya yang tengah bersitegang itu. “Pergi kamu dari sini, wanita sund*l! Jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini! Haram hukumnya kamu masuk lagi ke sini! Dengar nggak kamu, ha?” Bu Ine yang ditarik Irwan untuk masuk ke kamarnya meronta marah dan terus mengomeli Mona dengan suara keras. “Mas Irwan! Kamu kok diem aja, sih? Kamu dengerin wanita tua ini ngehina aku dari tadi, kan?” Mona mengamuk pada Irwan. Ia menuntut pembelaan dari pria yang mengaku mencintainya tetapi ternyata bungkam saat ia dicerca begitu rupa. Apa daya Irwan, karena pelaku cercaan itu adalah tak lain ibu kandungnya sendiri! Ah, bagai memakan buah simalakama saja nasibnya! “Bu, tolong jangan bicara begitu pada Mona, Bu. Ibu salah paham. Mona tidak seburuk itu. Dia cuma—“ Irwan berusaha menengahi meskipun langsung disela oleh sang ibunda. “Oh, tidak seburuk apa maksud kamu, Irwan? Apa lagi sebutan untuk wanita yang menggoda pria lain yang jelas-jelas sudah beristri, ha? Memangnya dia sudah tidak laku lagi di mata pria single yang lain, ya? Kalau dia wanita terhormat, bahkan kalau di dunia ini sudah tak bersisa lagi satu un pria single, dia tidak akan pernah mau merebut suami dari wanita lain! Tapi nyatanya apa? Pria single masih banyak, tapi dia malah menggodamu dan membuatmu berpisah dari Ranti. Apa lagi sebutannya kalau bukan pelakor sund*l?” Sambil berkata begitu, Bu Ine maju dengan pose seakan gemas sekali ingin mencakar atau menampar wajah wanita di hadapannya. Sungguh, Mona memang cantik putih luar biasa. Tapi kelakuan bej*tnya membuat Bu Ine sebagai sesama wanita merasa murka dan tak terima! “Cantik rupa tapi busuk hatinya! Cih! Bermimpilah jadi menantuku! Sampai kamu tua pun aku tak akan memberi restu!” teriak Bu Ine lagi kala Irwan memilih menarik lengan Mona dan setengah menyeretnya untuk keluar rumah. Sepertinya Irwan akhirnya sadar bahwa yang teraman ialah memisahkan dua wanita yang tengah bertengkar hebat itu. Setidaknya ia harus mencari waktu yang lebih pas untuk mempertemukan mereka lagi kelak. Astaga, sungguh tak terbayangkan kalau ibunya akan bersikap sebegitu kerasnya pada Mona. “Ibu kamu bener-bener gila ya! Sumpah, mana ada wanita tua yang sekasar itu bicaranya! Dih, ogah banget aku serumah sama dia! Mendingan kita tinggal di rumahku aja setelah menikah nanti!” Mona mencerocos sambil melangkah menuju mobil Irwan. Tak pernah ia menerima hinaan seburuk itu, terlebih dari seorang wanita yang sedianya akan menjadi mertuanya. “Jangan katai ibuku gila, Mona. Aku anaknya! Emangnya kamu mau aku punya ibu gila, ya?” Irwan tersinggung juga mendengar Mona menghina Bu Ine. “Tapi tadi itu dia duluan loh yang ngatain aku buruk-buruk gitu. Mulutnya itu loh, ya ampuuun, kalau nggak inget dia ibu kamu, udah kurobek—“ “Diam, Mona! Kamu itu masih muda dan nggak pantas bicara kasar sama orang tua. Apalagi dia itu ibu aku! Kamu emang beda banget sama Ranti!” sergah Irwan lagi. “Hah? Sekarang kamu mulai banding-bandingin lagi aku sama mantan istri kamu itu, iya, Mas?” Mona semakin naik pitam yang akhirnya membuat Irwan memilih diam. Astaga! Seribet ini urusan dengan para wanita, pikirnya mengeluh. Kepalanya mulai pening karena hari-hari yang ia lalui sejak ditalaknya Ranti malam itu benar-benar berlalu dengan buruk! Esok entah peristiwa buruk apa lagi yang akan menimpanya .… bersambung ….Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
"Suamimu mana, Ranti? Belum pulang juga jam segini?" Bu Ine bertanya sambil memandang bergantian ke arah jam dinding dan pintu depan.Ranti yang tadinya menyibukkan diri dengan draft novel di laptop akhirnya menjawab letih,"Belum, Bu. Sudah kutanya pulang jam berapa tapi katanya masih ada lembur."Biasanya ia mengetik di dalam kamar, tetapi karena sambil menunggu sang suami pulang, maka diboyongnya laptop kesayangan ke ruang tamu."Duh, Irwan ini kok semakin hari lemburnya semakin malam saja. Kalau sakit gimana?" gerutu sang ibu mertua seraya mengentakkan kaki lalu kembali masuk ke kamar.Ranti menghela napas panjang. Kejadian serupa ini telah berulang di hampir setiap malam belakangan. Ya, suaminya pulang selalu terlambat dan ibu mertua seolah menyalahkan Ranti atas hal itu.Segera ia meraih ponsel dan kembali mengirim pesan pertanyaan yang sama soal posisi di mana dan mau pulang jam berapa. Chat itu sejak tadi belum dijawab meskipun sudah terbaca. Namun, tentu saja ia tak bisa meng
“Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini, sih? Kamu kok nggak pernah bilang apa-apa sama Ibu, Ranti? Kamu nggak menghargai Ibu sebagai orangtua? Iya?”Serasa belum cukup guncangan hidup yang dialami Ranti barusan, sang ibu mertua justru malah menggarami luka dengan lagi-lagi mempersalahkannya.Ranti memilih bungkam. Tubuhnya yang goyah saja belum mampu ia tegakkan, Bu Ine malah dengan tanpa empatinya menagih penjelasan dengan nada menumpahkan kesalahan. Mengapa sebagai sesama wanita bahkan ia tak sadar bila menantu di hadapannya kini tengah terajam? Sungguh, memang ada makhluk yang hatinya bisa sedemikian tanpa perasaan!“Kamu sudah melakukan apa sampai suami kamu minta cerai gitu, ha?” teriak Bu Ine tampak gemas karena merasa tak tahu apa-apa.Ranti menghela napas panjang sebelum kemudian menumpahkan perasaan. Tidak, ia tak akan menangis kali ini. Tidak lagi. Sudah cukup di malam-malam yang lalu ia menangis di atas sajadah dan mengadukan semua perlakuan buruk Irwan terhadapnya. Tenta
Mertua dan menantu itu beberapa lama saling pandang. Isi pikiran mereka sepertinya serupa, tetapi keduanya sama-sama tak percaya dan ingin membantah. Terdiam tanpa kata, tetapi air muka dan tatapan mereka telah saling mengungkapkan segalanya.“Kita nggak boleh gegabah menuduh dulu, Ranti. Nggak mungkin Irwan itu ....” Ucapan Bu Ine terhenti. Pikirannya berkecamuk akan tetap mencurigai putranya sendiri atau mencoba mencarikan alasan yang lain lagi demi menjawab tanda tanya besar dalam hati. Sebagai ibu, ia tentu berkeinginan membela Irwan dengan segenap hati. Tapi fakta-fakta yang barusan terungkap membuat naluri sebagai wanitanya juga terlukai. Ia jadi sedikit merasa kasihan pada nasib Ranti selama ini. Kuat sekali wanita itu hanya dijatah tiga juta dengan kebutuhan yang sedemikian banyaknya. Dan menantunya itu sama sekali tak pernah terdengar mengeluh atau protes selama ini. Mau tak mau hatinya jadi ikut terenyuh. Hatinya seluas apa si Ranti ini, pikirnya sambil merasa bersalah tela
Sementara itu, ojek online yang telah tiba langsung mengantar Ranti ke rumah Mona juga. Sepanjang perjalanan, hati Ranti kebat-kebit, antara berharap kecurigaannya akan perselingkuhan Irwan tidak terbukti tapi juga naluri yang merasa hal itu sangat besar kemungkinan memang terjadi."Mbak, sudah sampai. Di sini kan alamatnya?" Terkejut, Ranti geragapan karena sedari tadi rupanya ia melamun saja. Ya Tuhan, bahaya sekali melamun semalam ini dengan ojek tak dikenal pula.Usai turun dan meminta untuk ditunggu sebentar oleh si Abang ojek, Ranti mendekati sebuah rumah di hadapannya yang memang persis seperti rumah yang ada di foto Mona. Ada nomor 65 di pagar hitam kayu tertutupnya.Jam yang sudah menunjuk angka delapan malam membuat Ranti ragu dan beberapa kali menoleh ke belakang. Takut-takut kalau ada orang lingkungan situ yang akan mencurigainya. Tapi tujuannya sudah bulat. Ia harus memeriksa apa benar suaminya ke situ atau tidak. Apa benar suaminya ada main dengan Mona atau tidak.Jantun
Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti.
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri.“Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang
Ranti menghela napas panjang. Ia masih sedikit khawatir dengan keadaan Bu Ine. Tapi, untuk tetap bertahan di sana dan berada dalam satu ruangan dengan Irwan ia sudah tak nyaman. Pokoknya sebisa mungkin ia akan menghindar. Pria dengan kelakuan busuk itu kini telah membuatnya muak. Pengorbanan dan kepatuhannya selama ini sebagai istri rupanya sama sekali tak dihargai. Balasan yang ia terima justru adalah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Sesampai di rumah, Bu Hana masih menahan HP sang putri. Wanita keibuan itu tahu betul Ranti pasti masih kepikiran aka kondisi mertuanya. Dan ia hanya berjaga agar tak sampai Ranti terbujuk untuk mengasihani Irwan si brengsek itu. Ia sudah tak mau lagi putrinya akan luluh dimanfaatkan lagi oleh lelaki kurang ajar yang sayangnya adalah menantunya itu. Lebih baik Ranti bercerai dengan tenang dan menjalani kembali kehidupannya. Toh putrinya masih muda. Sementara Irwan kebingungan membujuk ibunya agar mau hanya diurus oleh dirinya saja. Mau bagaimana
Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti.
Sementara itu, ojek online yang telah tiba langsung mengantar Ranti ke rumah Mona juga. Sepanjang perjalanan, hati Ranti kebat-kebit, antara berharap kecurigaannya akan perselingkuhan Irwan tidak terbukti tapi juga naluri yang merasa hal itu sangat besar kemungkinan memang terjadi."Mbak, sudah sampai. Di sini kan alamatnya?" Terkejut, Ranti geragapan karena sedari tadi rupanya ia melamun saja. Ya Tuhan, bahaya sekali melamun semalam ini dengan ojek tak dikenal pula.Usai turun dan meminta untuk ditunggu sebentar oleh si Abang ojek, Ranti mendekati sebuah rumah di hadapannya yang memang persis seperti rumah yang ada di foto Mona. Ada nomor 65 di pagar hitam kayu tertutupnya.Jam yang sudah menunjuk angka delapan malam membuat Ranti ragu dan beberapa kali menoleh ke belakang. Takut-takut kalau ada orang lingkungan situ yang akan mencurigainya. Tapi tujuannya sudah bulat. Ia harus memeriksa apa benar suaminya ke situ atau tidak. Apa benar suaminya ada main dengan Mona atau tidak.Jantun
Mertua dan menantu itu beberapa lama saling pandang. Isi pikiran mereka sepertinya serupa, tetapi keduanya sama-sama tak percaya dan ingin membantah. Terdiam tanpa kata, tetapi air muka dan tatapan mereka telah saling mengungkapkan segalanya.“Kita nggak boleh gegabah menuduh dulu, Ranti. Nggak mungkin Irwan itu ....” Ucapan Bu Ine terhenti. Pikirannya berkecamuk akan tetap mencurigai putranya sendiri atau mencoba mencarikan alasan yang lain lagi demi menjawab tanda tanya besar dalam hati. Sebagai ibu, ia tentu berkeinginan membela Irwan dengan segenap hati. Tapi fakta-fakta yang barusan terungkap membuat naluri sebagai wanitanya juga terlukai. Ia jadi sedikit merasa kasihan pada nasib Ranti selama ini. Kuat sekali wanita itu hanya dijatah tiga juta dengan kebutuhan yang sedemikian banyaknya. Dan menantunya itu sama sekali tak pernah terdengar mengeluh atau protes selama ini. Mau tak mau hatinya jadi ikut terenyuh. Hatinya seluas apa si Ranti ini, pikirnya sambil merasa bersalah tela
“Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini, sih? Kamu kok nggak pernah bilang apa-apa sama Ibu, Ranti? Kamu nggak menghargai Ibu sebagai orangtua? Iya?”Serasa belum cukup guncangan hidup yang dialami Ranti barusan, sang ibu mertua justru malah menggarami luka dengan lagi-lagi mempersalahkannya.Ranti memilih bungkam. Tubuhnya yang goyah saja belum mampu ia tegakkan, Bu Ine malah dengan tanpa empatinya menagih penjelasan dengan nada menumpahkan kesalahan. Mengapa sebagai sesama wanita bahkan ia tak sadar bila menantu di hadapannya kini tengah terajam? Sungguh, memang ada makhluk yang hatinya bisa sedemikian tanpa perasaan!“Kamu sudah melakukan apa sampai suami kamu minta cerai gitu, ha?” teriak Bu Ine tampak gemas karena merasa tak tahu apa-apa.Ranti menghela napas panjang sebelum kemudian menumpahkan perasaan. Tidak, ia tak akan menangis kali ini. Tidak lagi. Sudah cukup di malam-malam yang lalu ia menangis di atas sajadah dan mengadukan semua perlakuan buruk Irwan terhadapnya. Tenta