Sementara itu, ojek online yang telah tiba langsung mengantar Ranti ke rumah Mona juga. Sepanjang perjalanan, hati Ranti kebat-kebit, antara berharap kecurigaannya akan perselingkuhan Irwan tidak terbukti tapi juga naluri yang merasa hal itu sangat besar kemungkinan memang terjadi.
"Mbak, sudah sampai. Di sini kan alamatnya?" Terkejut, Ranti geragapan karena sedari tadi rupanya ia melamun saja. Ya Tuhan, bahaya sekali melamun semalam ini dengan ojek tak dikenal pula. Usai turun dan meminta untuk ditunggu sebentar oleh si Abang ojek, Ranti mendekati sebuah rumah di hadapannya yang memang persis seperti rumah yang ada di foto Mona. Ada nomor 65 di pagar hitam kayu tertutupnya. Jam yang sudah menunjuk angka delapan malam membuat Ranti ragu dan beberapa kali menoleh ke belakang. Takut-takut kalau ada orang lingkungan situ yang akan mencurigainya. Tapi tujuannya sudah bulat. Ia harus memeriksa apa benar suaminya ke situ atau tidak. Apa benar suaminya ada main dengan Mona atau tidak. Jantungnya seketika berhenti berdetak kala mengintip melalui celah kecil di pintu pagar kayu tinggi rumah itu. Terlihat di halamannya ada mobil CRV hitam yang sangat dikenalinya. Tidak salah lagi! Suaminya benar-benar ada di situ. "Mbak, nggak apa-apa?" tanya si Abang ojek yang rupanya sedari tadi tampak mengawasi Ranti. "Aman, Bang," jawab Ranti sekenanya, meski getaran dalam suaranya sudah pasti menyiratkan sebaliknya. Ranti menghela napas panjang sekedar untuk meregangkan hati dan mentalnya yang tengah dihajar habis-habisan. Dalam semalam, ia mendapati suaminya melempar talak, berbohong besar soal larinya uang gaji, dan bahkan kini ketahuan berselingkuh dengan rekan kerjanya sendiri! Meski dalam kondisi hancur sehancur-hancurnya, beruntungnya Ranti masih bisa berpikir waras. Pagar kayu terkunci itu tak mungkin bisa didobraknya. Lagipula ia juga tak perlu melakukan hal itu. Membuat onar di rumah seseorang malam begitu bukan tabiatnya. Hal itu pasti hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. "Yang penting aku sudah punya bukti, Mas," ucapnya pelan sambil mengeluarkan ponsel dan memfoto mobil Irwan dari celah pagar. "Setidaknya kamu nggak akan bisa mengelak telah selingkuh di belakangku," katanya lagi. Usai itu, ia kembali naik di boncengan si Abang ojek dan meminta untuk diantar kembali ke rumah Bu Ine. Ada keinginan memeriksa ke dalam rumah Mona dan menangkap basah suaminya. Tapi rasanya itu tak perlu. Toh rasanya ia juga tak akan sanggup melihat kenyataannya nanti. Fakta bahwa selama ini Irwan telah berkhianat membuat hatinya murka. Ia bertekad tak akan sudi bahkan hanya untuk bertatap muka lagi dengan Irwan di kemudian hari. Sesampai di rumah Bu Ine, Ranti mendapati ibu mertuanya masih menunggu di sofa ruang tamu. Wanita tua itu menyongsong Ranti dengan pertanyaan bertubi-tubi. “Kamu udah ketemu Irwan? Di mana dia? Katakan dia baik-baik saja, kan, Ranti?” "Baik-baik aja, Bu. Anak Ibu sedang asyik-asyikan di rumah wanita lain, teman kerjanya." Ranti menjawab lugas tanpa memandang wajah sang ibu mertua. "Ap-apa? Kamu jangan sembarangan memfitnah suami kamu sendiri, Ranti!" Bu Ine langsung marah dan malah menuduh dengan keras. "Ibu nggak percaya ya udah, yang penting aku udah tau kenyataannya dengan mata kepalaku sendiri. Kami fix akan bercerai." Sambil berusaha bersikap tegar, Ranti berlalu ke kamar untuk kemudian keluar lagi dengan menyeret dua koper besar berisi baju-baju dan barang pribadinya. “Ranti! Jangan pergi dulu, Ranti. Ibu akan membujuk Irwan untuk minta maaf sama kamu, Ibu akan--” "Maaf kata Ibu? Kata maaf udah nggak ada gunanya, Bu. Sampai mati pun aku nggak akan pernah maafin dia. Dan akan kupastikan anak Ibu itu dapat pelajaran yang setimpal karena telah mengkhianatiku, Bu," sela Ranti penuh amarah. Gegas ia keluar menuju pagar karena taxi online yang dipesannya tampak sudah datang dan menunggunya di depan. Sia-sia Bu Ine meneriaki sang menantu agar tetap di situ. Sakit hati Ranti sudah tak terperi. Tak ada satu hal pun yang membuatnya sudi bertahan di rumah itu lagi. Ranti memilih pulang ke rumah orangtuanya sendiri. Kedua orangtuanya menyambut dengan sangat terkejut. Sebab, selama ini mana pernah Ranti bercerita tentang masalah apa pun di rumah tangganya. Kini mendadak saja malam-malam putri kesayangan mereka pulang dengan membawa cerita memilukan. Sesaat tadi dia memang dikuasai amarah, hingga yang tersisa di dalam dadanya hanyalah dendam dan sakit hati. Tapi begitu sampai di rumah masa kecilnya itu, hatinya kembali merasakan nyeri tak terkira akibat sakitnya dikhianati Irwan. Tak sesuai keinginan, ia justru menangis sesenggukan menumpahkan segala amarah sekaligus kehancuran hatinya saat itu di hadapan kedua orangtuanya. Di hadapan dua orang yang seumur hidup berusaha sekuat tenaga agar air mata putri mereka tak pernah tumpah sama sekali! "Ya Allah, Nak. Gimana bisa sampai sejauh itu kelakuan suami kamu? Mana janjinya dulu yang akan membahagiakanmu? Ibu kan sudah bilang kalau kamu itu seharusnya nurut sama kami. Biar kami yang cari suami yang jelas budi pekerti dan akhlaknya--" Bu Hana, ibunda Ranti, mulai berceloteh sedih sambil mempersalahkan keputusan Ranti di masa lalu. "Keterlaluan itu si Irwan. Suruh dia ke sini, Ranti. Bapak akan bikin perhitungan sama dia. Berani-beraninya dia itu sampai mengkhianati kamu!" Pak Andi tak kalah emosi. Orangtua mana yang tega bila putri yang sangat mereka sayangi telah dinikahi tapi kemudian dikhianati oleh lelaki? Sungguh, bila saja ada Irwan di hadapan Pak Andi saat itu, sang pria setengah baya dengan uban sudah memenuhi separuh kepalanya ini tak akan ragu untuk menghajarnya habis-habisan. Tak lama kemudian, ada telepon dari Bu ine yang diangkat oleh Bu Hana. Parahnya, seorang ibu yang tengah tersakiti akibat luka hati putrinya itu langsung emosi dan menumpahkan amarah pada sang besan. "Begitu kelakuan putra Ibu, ya! Sama sekali tidak punya adab. Berani sekali berselingkuh setelah Ranti begitu patuh menjadi istri selama ini. Apa kurangnya putri kami pada Irwan, Bu?" tuntut Bu Hana lepas kendali. Entah apa jawaban Bu Ine dari seberang sambungan, yang pasti Ranti langsung mencegah ibunya untuk berbicara lebih panjang. Ia meminta gagang telepon dan berkata pada sang mertua dengan nada dibuat sedatar mungkin. “Tak perlu Ibu membujukku untuk pulang ke situ, Bu. Kami nggak akan pernah kembali bersatu bahkan meskipun Irwan datang dan bersujud padaku sekalipun.” “Tunggu, Ranti. Ini pasti hanya salah paham aja. Ibu yakin Irwan nggak seburuk perkiraan kamu, Ranti. Kasih dulu dia kesempatan untuk menjelaskan semuanya--” "Menjelaskan apa, Bu? Bahwa dia udah menemukan wanita yang jauh lebih sedap dipandang mata daripada aku? Hanya itu penjelasannya bila Ibu masih belum paham juga, Bu!" Dengan perkataan itu, Ranti hampir menutup teleponnya sebelum mendengar seraknya suara Bu Ine diikuti suara benda terjatuh. Seketika Ranti dengan cemas memanggili sang ibu mertua dari gagang telepon yang ia genggam. “Bu? Bu? Ada apa Bu? Ibu kenapa, Bu? Ibuuuuu!” bersambung ….Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti.
Ranti menghela napas panjang. Ia masih sedikit khawatir dengan keadaan Bu Ine. Tapi, untuk tetap bertahan di sana dan berada dalam satu ruangan dengan Irwan ia sudah tak nyaman. Pokoknya sebisa mungkin ia akan menghindar. Pria dengan kelakuan busuk itu kini telah membuatnya muak. Pengorbanan dan kepatuhannya selama ini sebagai istri rupanya sama sekali tak dihargai. Balasan yang ia terima justru adalah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Sesampai di rumah, Bu Hana masih menahan HP sang putri. Wanita keibuan itu tahu betul Ranti pasti masih kepikiran aka kondisi mertuanya. Dan ia hanya berjaga agar tak sampai Ranti terbujuk untuk mengasihani Irwan si brengsek itu. Ia sudah tak mau lagi putrinya akan luluh dimanfaatkan lagi oleh lelaki kurang ajar yang sayangnya adalah menantunya itu. Lebih baik Ranti bercerai dengan tenang dan menjalani kembali kehidupannya. Toh putrinya masih muda. Sementara Irwan kebingungan membujuk ibunya agar mau hanya diurus oleh dirinya saja. Mau bagaimana
Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri.“Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang
Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
"Suamimu mana, Ranti? Belum pulang juga jam segini?" Bu Ine bertanya sambil memandang bergantian ke arah jam dinding dan pintu depan.Ranti yang tadinya menyibukkan diri dengan draft novel di laptop akhirnya menjawab letih,"Belum, Bu. Sudah kutanya pulang jam berapa tapi katanya masih ada lembur."Biasanya ia mengetik di dalam kamar, tetapi karena sambil menunggu sang suami pulang, maka diboyongnya laptop kesayangan ke ruang tamu."Duh, Irwan ini kok semakin hari lemburnya semakin malam saja. Kalau sakit gimana?" gerutu sang ibu mertua seraya mengentakkan kaki lalu kembali masuk ke kamar.Ranti menghela napas panjang. Kejadian serupa ini telah berulang di hampir setiap malam belakangan. Ya, suaminya pulang selalu terlambat dan ibu mertua seolah menyalahkan Ranti atas hal itu.Segera ia meraih ponsel dan kembali mengirim pesan pertanyaan yang sama soal posisi di mana dan mau pulang jam berapa. Chat itu sejak tadi belum dijawab meskipun sudah terbaca. Namun, tentu saja ia tak bisa meng
“Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini, sih? Kamu kok nggak pernah bilang apa-apa sama Ibu, Ranti? Kamu nggak menghargai Ibu sebagai orangtua? Iya?”Serasa belum cukup guncangan hidup yang dialami Ranti barusan, sang ibu mertua justru malah menggarami luka dengan lagi-lagi mempersalahkannya.Ranti memilih bungkam. Tubuhnya yang goyah saja belum mampu ia tegakkan, Bu Ine malah dengan tanpa empatinya menagih penjelasan dengan nada menumpahkan kesalahan. Mengapa sebagai sesama wanita bahkan ia tak sadar bila menantu di hadapannya kini tengah terajam? Sungguh, memang ada makhluk yang hatinya bisa sedemikian tanpa perasaan!“Kamu sudah melakukan apa sampai suami kamu minta cerai gitu, ha?” teriak Bu Ine tampak gemas karena merasa tak tahu apa-apa.Ranti menghela napas panjang sebelum kemudian menumpahkan perasaan. Tidak, ia tak akan menangis kali ini. Tidak lagi. Sudah cukup di malam-malam yang lalu ia menangis di atas sajadah dan mengadukan semua perlakuan buruk Irwan terhadapnya. Tenta
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri.“Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang
Ranti menghela napas panjang. Ia masih sedikit khawatir dengan keadaan Bu Ine. Tapi, untuk tetap bertahan di sana dan berada dalam satu ruangan dengan Irwan ia sudah tak nyaman. Pokoknya sebisa mungkin ia akan menghindar. Pria dengan kelakuan busuk itu kini telah membuatnya muak. Pengorbanan dan kepatuhannya selama ini sebagai istri rupanya sama sekali tak dihargai. Balasan yang ia terima justru adalah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Sesampai di rumah, Bu Hana masih menahan HP sang putri. Wanita keibuan itu tahu betul Ranti pasti masih kepikiran aka kondisi mertuanya. Dan ia hanya berjaga agar tak sampai Ranti terbujuk untuk mengasihani Irwan si brengsek itu. Ia sudah tak mau lagi putrinya akan luluh dimanfaatkan lagi oleh lelaki kurang ajar yang sayangnya adalah menantunya itu. Lebih baik Ranti bercerai dengan tenang dan menjalani kembali kehidupannya. Toh putrinya masih muda. Sementara Irwan kebingungan membujuk ibunya agar mau hanya diurus oleh dirinya saja. Mau bagaimana
Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti.
Sementara itu, ojek online yang telah tiba langsung mengantar Ranti ke rumah Mona juga. Sepanjang perjalanan, hati Ranti kebat-kebit, antara berharap kecurigaannya akan perselingkuhan Irwan tidak terbukti tapi juga naluri yang merasa hal itu sangat besar kemungkinan memang terjadi."Mbak, sudah sampai. Di sini kan alamatnya?" Terkejut, Ranti geragapan karena sedari tadi rupanya ia melamun saja. Ya Tuhan, bahaya sekali melamun semalam ini dengan ojek tak dikenal pula.Usai turun dan meminta untuk ditunggu sebentar oleh si Abang ojek, Ranti mendekati sebuah rumah di hadapannya yang memang persis seperti rumah yang ada di foto Mona. Ada nomor 65 di pagar hitam kayu tertutupnya.Jam yang sudah menunjuk angka delapan malam membuat Ranti ragu dan beberapa kali menoleh ke belakang. Takut-takut kalau ada orang lingkungan situ yang akan mencurigainya. Tapi tujuannya sudah bulat. Ia harus memeriksa apa benar suaminya ke situ atau tidak. Apa benar suaminya ada main dengan Mona atau tidak.Jantun
Mertua dan menantu itu beberapa lama saling pandang. Isi pikiran mereka sepertinya serupa, tetapi keduanya sama-sama tak percaya dan ingin membantah. Terdiam tanpa kata, tetapi air muka dan tatapan mereka telah saling mengungkapkan segalanya.“Kita nggak boleh gegabah menuduh dulu, Ranti. Nggak mungkin Irwan itu ....” Ucapan Bu Ine terhenti. Pikirannya berkecamuk akan tetap mencurigai putranya sendiri atau mencoba mencarikan alasan yang lain lagi demi menjawab tanda tanya besar dalam hati. Sebagai ibu, ia tentu berkeinginan membela Irwan dengan segenap hati. Tapi fakta-fakta yang barusan terungkap membuat naluri sebagai wanitanya juga terlukai. Ia jadi sedikit merasa kasihan pada nasib Ranti selama ini. Kuat sekali wanita itu hanya dijatah tiga juta dengan kebutuhan yang sedemikian banyaknya. Dan menantunya itu sama sekali tak pernah terdengar mengeluh atau protes selama ini. Mau tak mau hatinya jadi ikut terenyuh. Hatinya seluas apa si Ranti ini, pikirnya sambil merasa bersalah tela
“Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini, sih? Kamu kok nggak pernah bilang apa-apa sama Ibu, Ranti? Kamu nggak menghargai Ibu sebagai orangtua? Iya?”Serasa belum cukup guncangan hidup yang dialami Ranti barusan, sang ibu mertua justru malah menggarami luka dengan lagi-lagi mempersalahkannya.Ranti memilih bungkam. Tubuhnya yang goyah saja belum mampu ia tegakkan, Bu Ine malah dengan tanpa empatinya menagih penjelasan dengan nada menumpahkan kesalahan. Mengapa sebagai sesama wanita bahkan ia tak sadar bila menantu di hadapannya kini tengah terajam? Sungguh, memang ada makhluk yang hatinya bisa sedemikian tanpa perasaan!“Kamu sudah melakukan apa sampai suami kamu minta cerai gitu, ha?” teriak Bu Ine tampak gemas karena merasa tak tahu apa-apa.Ranti menghela napas panjang sebelum kemudian menumpahkan perasaan. Tidak, ia tak akan menangis kali ini. Tidak lagi. Sudah cukup di malam-malam yang lalu ia menangis di atas sajadah dan mengadukan semua perlakuan buruk Irwan terhadapnya. Tenta