Qi Yun melipat surat dengan hati-hati. Surat yang dikirimkan oleh Tetua Cheng dari Perbatasan Timur membawa berita yang membuat sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman licik.
Ternyata para dewa lebih berpihak kepadanya daripada sang musuh bebuyutan, Yu Ping. Pikiran ini membuat dadanya dipenuhi rasa puas yang memabukkan, bagai arak terbaik yang pernah ia cicipi.
Pemilik Golok Pembunuh Naga itu bergegas menuju meja kerja yang terbuat dari kayu cendana, aromanya lembut memberi suasana hangat. Ia duduk dengan tegap, lalu mengambil kuas dan mulai menulis surat balasan kepada Tetua Cheng. Tinta hitam mengalir dengan mulus di atas kertas putih, membentuk karakter-karakter yang indah dan penuh makna.
Setelah menyelesaikan tulisannya, Qi Yun meniup permukaan surat dengan hati-hati, memastikan tinta telah ker
"Kakak Qi, tak kusangka kau sangat licik dan jahat!" jerit Cao Lie histeris, suaranya melengking memenuhi ruangan. Air mata mulai mengalir di pipinya yang merona. "Sudah berbuat tapi masih menyangkal perbuatanmu!"Tiba-tiba, suara lembut namun tegas terdengar dari arah pintu, membuat mereka berdua tersentak dan menoleh."Ada apa ini?"Qing Ning dan Dewa Golok Putih berdiri di ambang pintu, mata mereka menyiratkan keheranan. Aura kehadiran mereka seketika mengubah atmosfer ruangan."Istriku, bukan masalah penting!" jawab Qi Yun cepat, berusaha menenangkan situasi. "Pergilah tidur, aku akan segera menyusul!"Namun, bukannya menuruti arahan suaminya, Qing Ning justru melangkah masuk dengan anggun ke dalam ruangan.&nb
Malam merangkak perlahan di perbukitan yang menjulang tak jauh dari kota Xian Feng. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan tanah lembab. Di bawah cahaya rembulan yang sebagian tertutup awan gelap, sesosok wanita cantik berbalut gaun merah menyala berlari terseok-seok menuju tebing curam. Rambut hitamnya yang panjang berkibar liar tertiup angin, sementara air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat.Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Cao Lie, putri dari Jin She, ketua Sekte Iblis Darah. Wanita muda itu kini merasa dunianya telah hancur berkeping-keping. Hatinya remuk, seolah-olah ribuan jarum menusuk jiwanya yang rapuh. Dalam benaknya, ia merasa masa depannya telah sirna, lenyap bagai kabut pagi yang terserap mentari, seiring dengan hilangnya kegadisan yang direnggut pria tua buruk rupa. Ditambah lagi dengan kondisinya yang tengah hamil anak pria tersebut.Dengan pikiran kalut, Cao Lie memutuskan untuk mengakhiri hidupnya daripada harus menanggu
Sang surya mulai terbit di ufuk timur, sinarnya membalut istana QI dengan cahaya keemasan. Lorong-lorong panjang berlantai marmer bersih mengkilap, sementara tirai-tirai sutra berayun pelan tertiup angin pagi yang sejuk. Para penjaga berdiri gagah di setiap titik, nyaris tak bergerak bagaikan patung-patung hidup.Di taman, air mancur bergemericik lembut, menciptakan musik indah yang berpadu dengan kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon-pohon persik. Aroma wangi bunga memenuhi udara, menambah kesan damai yang menyelimuti kompleks istana yang megah.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terkoyak oleh suara nyaring benda pecah yang berasal dari kamar Putri Qi Yue. Sang putri terlihat sedang uring-uringan, wajahnya memerah karena amarah yang tak terbendung.Dengan gerakan kasar, ia membanting piring porselen
Taman istana terbentang luas, dipenuhi dengan aneka bunga warna-warni yang mekar sempurna. Pepohonan rindang menaungi jalan setapak berliku yang terbuat dari batu alam. Di tengah taman, sebuah kolam ikan yang luas memantulkan sinar mentari pagi. Ikan-ikan koi berenang dengan anggun di antara teratai yang mengambang di permukaan air yang jernih.Putri Qi Yue berdiri di tepi kolam, matanya yang indah menyapu sekeliling, menanti kedatangan seseorang. Angin berhembus membelai rambutnya yang hitam legam, menerbangkan aroma bunga-bunga di taman itu..Tak lama kemudian, sosok pelayan wanita yang mengantarkan sarapan ke kamarnya tadi pagi muncul dari balik semak-semak."Tuan Putri!" Wanita berbaju pelayan itu membungkuk hormat, suaranya terdengar lirih."Bukankah kau teman
Keheningan kembali menyelimuti ruangan saat Raja Qi Xiang tampak menimbang-nimbang usulan berani Qi Yun.Tiba-tiba pintu masuk aula berukirkan naga emas terbuka perlahan, sosok Kasim Liu memasuki ruangan. Dengan sikap tubuh membungkuk hormat, ia berkata terbata-bata, "Maaf, Yang Mulia, Tuan Putri Qi Yue ingin ...."Belum sempat Kasim Liu menyelesaikan kalimatnya, sosok anggun Qi Yue menerobos masuk tanpa permisi. Jubah sutranya yang berwarna merah muda berkibar lembut ketika ia melangkah cepat memasuki ruangan.Raja Qi Xiang mengibaskan tangannya dengan gestur tak sabar, menyuruh Kasim Liu menyingkir. Pria tua itu, dengan patuh dan sedikit gemetar, mundur perlahan sebelum menutup kembali pintu aula."Ayah!" seru Qi Yue dengan nada riang. Ia berlari ke sisi singgasa
Bataar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. Dengan suara berat, ia berkata, "Ma-maaf, kami tak berhasil menyelamatkan mereka!"Ia berhenti sejenak, matanya berkaca-kaca. "Saat kami datang, mereka sudah dimangsa siluman ular.""Tidak!" Istri Nergui menjerit, tubuhnya limbung sebelum akhirnya jatuh pingsan. Tiga wanita lainnya pun segera menyusul, tubuh mereka ambruk di tanah berumput.Suasana perkemahan berubah riuh. Orang-orang bergegas membantu, mengangkat para wanita yang pingsan dan membawa mereka ke ger masing-masing. Yu Ping, yang sejak tadi hanya bisa menyaksikan, ikut membantu dengan wajah prihatin.Tak lama kemudian, suara isak tangis mulai terdengar dari beberapa ger. Ratapan duka menandai dimulainya masa berkabung bagi keluarga yang ditinggalk
Di bawah langit cerah tanpa awan menggantung, dua sosok pria berdiri berhadapan di tengah lapangan tandus. Angin gurun yang kering dan panas mulai bertiup kencang, menerbangkan butiran pasir di sekeliling mereka.Taban, sang Panglima Mongolia, berdiri dengan postur mengancam. Tubuhnya yang besar dan berotot menjulang tinggi, bayangan tubuh kekarnya terbentang di atas tanah retak yang gersang. Matanya yang gelap berkilat penuh kebencian, menatap tajam ke arah lawannya."Kau, orang Qi!" geram Taban, suaranya serak dan dalam. "Hari ini kau akan merasakan kehebatan Tinju Pasir Mongolia!"Di hadapannya, Yu Ping, sang Pendekar Seruling Sakti dari negeri Qi, berdiri dengan tenang. Jubah putihnya melambai tertiup angin, wajahnya teduh tak menampakkan kegentaran sedikitpun."Panglima Taban," ucap Yu Ping, suaranya terdengar dalam penuh wibawa, "kekerasan bukanlah jalan untuk menyelesaikan perselisihan kita. Saya datang dengan maksud baik, masih ada cara lain yang lebih bijak. Izinkan saya bert
Yu Ping melangkah memasuki ger megah milik Raja Batu Khan, aroma dupa wangi bercampur dengan bau kulit dan wol yang khas, menyambut kedatangannya.Jubah putihnya yang bersih kontras dengan interior ger yang didominasi warna merah dan emas. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan singgasana Raja Batu Khan, lalu membungkuk memberi hormat."Yu Ping dari negeri Qi menghadap Yang Mulia Raja Batu Khan," ucap Yu Ping dengan suara yang jernih dan tenang.Raja Batu Khan, meski usianya telah menginjak enam puluh tahun, masih terlihat gagah dan berwibawa. Janggutnya yang mulai memutih terawat rapi, matanya tajam memancarkan kebijaksanaan. Ia menatap Yu Ping dengan sorot mata penuh tanda tanya..Panglima Taban, yang berdiri di samping singgasana, bergerak mendekati Raja. Ia membungkuk hormat sebelum berbisik di telinga sang Raja, suaranya begitu pelan hingga hanya Raja yang bisa mendengarnya."Paduka, pemuda ini telah mengalahkan hamba dalam pertarungan, namun ia melakukannya tanpa melukai harga