Fajar menyingsing di kediaman Qi Yun, membawa kesejukan udara pagi yang menyapu lembut dedaunan di taman. Suara kicauan burung-burung kecil terdengar merdu di telinga siapapun yang mendengarnya.
Cao Lie berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya yang telah berdandan cantik. Aroma wangi semerbak menguar dari tubuhnya yang dibalut gaun sutra mahal berwarna merah muda lembut. Jemarinya yang lentik menyisir rambutnya yang hitam berkilau untuk terakhir kali. Dalam hati, ia berharap penampilannya ini akan menarik perhatian Qi Yun, pemuda pujaannya.
Dengan langkah ringan, Cao Lie melangkah menuju dapur. Ia yakin bahwa Qing Ning, istri Qi Yun, dan putra mereka yang masih balita, Qi Fei, telah meninggalkan Wisma Barat. Kesempatan emas untuk merayu Qi Yun, pikirnya sambil tersenyum.
Cao Lie mengambil nampan berisi m
Malam merayap perlahan di kota Xian Feng. Rembulan pucat mengintip di balik awan, menyinari jalanan yang mulai sepi. Di sebuah kedai arak, satu-satunya di kota itu, Cao Lie duduk termenung, hatinya hancur dan kesal karena gagal menyingkirkan Qing Ning.Aroma arak yang tajam memenuhi udara saat Cao Lie menenggak botol terakhirnya hingga tak tersisa setetes pun. Dengan suara parau, ia berteriak pada pelayan, "Pelayan, berikan aku arak lagi!"Kedai arak ini terkenal menyediakan arak terbaik di seluruh Xian Feng. Para pelayan dengan sigap mengantarkan botol demi botol ke meja Cao Lie. Tanpa terasa, malam semakin larut, dan gadis itu telah menghabiskan lima botol arak.Pemilik kedai, seorang pria paruh baya dengan wajah ramah namun lelah, menghampiri Cao Lie yang mulai mabuk berat. Gadis itu kini meletakkan kepalanya yan
Jenderal Xiao Gang dan Yu Ping sedang larut dalam diskusi strategi yang intens, ketika suara ketukan lembut terdengar dari pintu kayu berukir."Masuk!" perintah Jenderal Xiao Gang dengan suara berwibawa.Pintu terbuka perlahan, dan Kepala Pelayan melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Ia membungkuk dalam-dalam seolah takut bila membuat kesalahan."Tuanku Jenderal Xiao," lapor Kepala Pelayan dengan suara jernih, "Di luar ada beberapa tamu yang ingin menghadap Anda."Jenderal Xiao dan Yu Ping bertukar pandang penuh arti. Tanpa kata-kata, mereka berdua bangkit dan melangkah keluar untuk menemui para tamu yang menunggu di halaman depan yang luas dan terawat.Setibanya di halaman, mereka disambut oleh pemandangan yang mengejutk
Yu Ping tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati sosok kakak angkatnya, Xin Ru, telah berdiri di dekatnya. Wajah cantik Xin Ru diterangi cahaya bulan, matanya memancarkan kehangatan dan pengertian."Kakak," sapa Yu Ping dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan gejolak perasaannya. "Bagaimana kabarmu? Kau pasti sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang untuk menemui dan mengajak Biarawati Feng Huang bekerja sama."Xin Ru tersenyum lembut, "Cukup melelahkan memang. Tapi percayalah, Yu Ping, aku akan melakukan apa pun untuk mendukungmu." Ia mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan, "Oh ya, Nyonya Feng Huang telah melepas jabatannya sebagai ketua Hoa Mei dan biarawati. Ia sudah menikah dengan Guru Liu Heng."Mendengar kabar itu, Yu Ping tersenyum tulus, "Aku turut senang mendengarnya, semoga Paman Liu Heng bisa segera sembuh dari gangguan ingatannya."Keduanya terdiam sejenak, membiarkan angin malam yang sejuk membelai wajah mereka. Yu Ping merasa sedikit lebih tena
Yu Ping menoleh ke arah Xue Yi, "Kulihat Kak Xue Yi mengajak Tetua Cheng ikut."Xue Yi mengangguk ragu-ragu, rasa bersalah terpancar di wajahnya."Benar, aku minta maaf karena tidak mengetahui permasalahan di antara kalian."Yu Ping tersenyum kecil, berusaha menenangkan rekannya. "Tidak apa-apa, Kakak Xue," ujarnya dengan nada memaafkan. "Aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja," ia berhenti sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati, "kita perlu berhati-hati padanya. Dia bukan orang yang berhati tulus."Ia mengambil napas dalam sebelum melanjutkan, "Terus terang, aku sempat heran bagaimana dia bisa setuju denganmu untuk mendukung Jenderal Xiao."“Ketika aku berkunjung ke Perguruan Kunlun, Tetua Cheng terlihat paling antusias dibandingkan Zhai Xing, Ketua Kunlun sendiri!” tutur Xue Yi terus terang, “Bahkan Tetua Cheng membawa serta tiga murid terbaiknya untuk ikut ke Perbatasan Timur. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan curiga karena ia terlihat bersungguh-sungguh.”Suasana menjad
Hari-hari selanjutnya di Perbatasan Timur dipenuhi kesibukan yang tiada henti. Udara terasa tebal oleh debu dan keringat, sementara suara dentingan logam dan teriakan perintah bergema di seluruh penjuru kota. Penduduk kota, para prajurit di bawah kepemimpinan Jenderal Xiao, dan para pendekar dari dunia persilatan bahu-membahu memperkuat benteng perbatasan dengan tekad membara.Lelaki, perempuan, bahkan anak-anak secara sukarela berlatih ilmu bela diri dan menggunakan berbagai macam senjata. Tangan-tangan yang biasa mengolah tanah kini menggenggam erat pedang dan tombak. Mata mereka berkilat penuh keyakinan, lebih memilih gugur mempertahankan kota daripada menyaksikan Jenderal Xiao Gang - panutan mereka yang dihormati - jatuh ke tangan Raja Qi Xiang.Liu Kang dan Adik Keempat dengan penuh semangat melatih para penduduk dan prajurit. Teriakan instruksi mereka bercampur dengan deru napas dan derap langkah para pejuang yang berlatih tanpa kenal lelah.Yu Ping berdiri tegak di atas benten
Yu Ping mampu mendengar suara-suara sumbang itu melalui mata batinnya. Ia hanya bisa terdiam, dalam hati bertekad akan membuktikan bahwa ia mampu menjadi pemimpin yang bijaksana seperti Jenderal Xiao dan almarhum ayah kandungnya, Raja Qi You."Jenderal, aku ingin pergi menyeberang ke Mongolia untuk menjalin kerja sama dengan bangsa lain!" Tiba-tiba Yu Ping berbisik pada Jenderal Xiao, matanya berkilat-lilat menunjukkan tekad yang kuat.Jenderal Xiao tertegun, menatap pemuda itu ragu-ragu. "Raja Mongol tidak akan bersedia karena Qi Xiang sudah beberapa kali berusaha menyerang dan menaklukkan bangsa itu. Kedatanganmu justru bisa dianggap ancaman bagi mereka.""Aku akan mencobanya, karena kita membutuhkan bantuan mereka dalam menaklukkan Paman Qi Xiang dan Qi Yun!" kata Yu Ping berkeras, suaranya tegas menandakan keyakinan atas apa yang menjadi rencananya."Baiklah kalau itu memang menjadi keputusanmu, aku akan mendukungmu! Bawalah Panglima Ding Fu untuk mengawalmu!""Tidak, aku akan per
Malam merayap perlahan di Perbatasan Timur, cahaya bulan yang lembut menerangi taman. Di ruang tengah yang diterangi beberapa cahaya lilin, Jenderal Xiao duduk dengan tenang, menikmati secangkir teh yang masih mengepul. Aroma teh hijau yang menenangkan mengisi ruangan, sementara di sampingnya, Ding Fu, orang kepercayaannya, berdiri dengan sikap siaga.Keheningan malam itu terpecah oleh suara langkah kaki yang mendekat. Kepala Pelayan memasuki ruangan dengan langkah tergesa. Ia membungkuk hormat di hadapan pria yang telah mengabdi pada negeri Qi selama lima puluh tahun itu."Tuanku Jenderal," lapor Kepala Pelayan dengan penuh hormat, "Sesepuh Ming sedang berada di luar rumah, beliau mengatakan ingin bertemu dengan Anda."Jenderal Xiao meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, matanya yang tajam menatap lurus ke depan. "Persilakan ia masuk," perintahnya dengan suara berwibawa.Setelah Kepala Pelayan undur diri, Ding Fu mendekat ke arah Jenderal Xiao. Ia membungkuk sedikit, suaranya ber
Mata Sesepuh Ming terbelalak lebar mendengar bisikan Tetua Perguruan Kunlun. "Tapi, apakah hal itu tidak membahayakan?" tanyanya ragu-ragu. Tetua Cheng kembali berbisik, kali ini lebih panjang dan detail. Sesepuh Ming menganggukkan kepala perlahan, meski raut wajahnya masih menyiratkan keraguan. "Baiklah, saya setuju!" kata Sesepuh Ming akhirnya, suaranya terdengar berat namun kali ini lebih tegas. "Bagus," Tetua Cheng tersenyum puas. "Semoga dengan cara ini kita bisa membebaskan Jenderal Xiao dari pengaruh ilmu hitam!" Kedua pria tua itu kemudian berjalan menjauh, bayangan mereka memanjang di bawah sinar rembulan. Tak ada seorang pun tahu apa yang sedang direncanakan mereka untuk mengubah nasib Perbatasan Timur. *** Fajar menyingsing di kota Jining. Yu Ping memasuki kota dengan langkah tenang. Ia menuntun kuda hitamnya yang gagah, suara derap kaki kuda itu terdengar mewarnai jalanan kota yang mulai ramai. Aroma menggiurkan dari sebuah kedai makan menarik perhatian Sang Pendeka