Share

sepulangnya 3

"Bukan hal seperti itu yang ingin aku ketahui, Nin! Aku mohon kejujuran mu! Ini untuk kebaikan kita berdua. Apa kamu selingkuh?" tanya Rizki to the point membuat Nina salah tingkah.

"Mas Rizki... Aku..."

Nina terdiam menatap Rizki yang tampak kacau. Dia menggenggam tangan suami nya.

"Aku tidak pernah selingkuh, aku sangat mencintai kamu, Mas!" ujar Nina sungguh-sungguh.

"Lalu darimana datangnya penyakit yang kamu alami ini? Aku juga tidak pernah selingkuh, Nin. Di kapal, aku berusaha menjaga iman ku dan selalu mengingatmu. Aku juga tidak pernah men ye n tuh perempuan lain."

Rizki menjeda kalimat nya sejenak.

"Apa kamu pernah tra ns fu si saat aku berlayar?" tanya Rizki lagi.

Nina menggeleng.

"Tidak, Mas."

"Lalu dari mana asal penyakit ini?" tanya Rizki.

Nina hanya bisa mengedikkan bahunya.

"Aku juga tidak tahu dari mana asalnya penyakit ini. Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin mengalami sakit seperti ini, Mas. Aku juga tidak mau membuat kamu cu ri ga," ujar Nina lirih.

Rizki merasakan ke pa lanya sakit. Selama tiga bulan dia menahan keinginan nya untuk melakukan hal itu dan menjaga kesetiaan nya dan berharap bisa disalurkan saat di rumah, tapi ternyata harapan nya hanya tinggal harapan. Istri nya terinfeksi penyakit yang men ji ji k kan.

Rizki menghela napas. 'Mana ada ma li ng ngaku. Kalau ma li ng ngaku, mungkin

pen ja ra sudah penuh,' batin Rizki. Dia akhirnya beringsut dari r an ja ng dan berjalan ke arah pintu kamar ruang rawat inap.

"Mas, kamu mau kemana? Temani aku di sini, Mas. Pinggang dan pe r ut aku sakit," pinta Nina.

Rizki menoleh ke arah istri nya sekilas. "Aku nyari udara segar di depan kamar," ujar Rizki dan berlalu begitu saja.

**

Rizki yang ketiduran di depan ruang rawat inap Nina, terbangun dan melihat ke ponsel nya.

"Wah, sudah jam 7 pagi. Gimana ya kondisi Nina?" gumam Rizki. Dia lalu masuk kembali ke kamar Nina.

Terlihat Nina masih tidur pulas. Rizki pun mencuci muka di wastafel kamar mandi lalu duduk di kursi sofa mungil di dalam kamar. Mendadak dia mendengar dering telepon ponsel Nina di atas nakas. Rizki segera meraih ponsel Nina. Terlihat di layar ponsel itu kontak atas nama 'papa' sedang menelepon.

Papa adalah ayah Rizki yang menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu karena ibu Rizki me ni ng gal terkena serangan ja nt ung. Dan sampai sekarang, ayah Rizki memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Dan Rizki memilih untuk mem be li rumah secara K P R dengan jarak 300 meter dari rumah papanya agar dia bisa menjenguk papanya dengan mudah saat libur berlayar, karena kedua kakak Rizki sudah berkeluarga dan ikut dengan suaminya.

"Halo, Pa?"

"Halo, lho, Rizki? Kamu sudah pulang dari berlayar, Nak?!" tanya Papanya dari seberang telepon.

"Iya, Pa. Ini Rizki. Aku memang sudah pulang."

"Kenapa nggak ngabarin papa, Riz?"

"Iya, Pa. Aku juga tidak memberi tahu Nina kok. Rencana nya ingin membuat kejutan dengan pulang lebih dulu dan sampai rumah jam sebelas malam. Ternyata Nina semalam harus ke rumah sakit," ujar Rizki.

"Lho, Nina sakit apa? Pantas saja jam segini dia belum mengantarkan sarapan untuk papa," ujar papa Rizki.

Rizki terdiam sejenak. Bingung harus menjelaskan penyakit istrinya pada papanya. "Hm, yah, belum tahu, nanti baru ketemu dengan dokter spesialis nya," ujar Rizki berbo h ong.

"Ya sudah, nanti papa jenguk. Papa mau nyari sarapan dulu. Tadinya papa telepon Nina untuk menanyakan dia masak nggak hari ini," ujar papanya.

"Iya, Pa. Ingat ya, kalau makan hati- hati, jangan pedas dan jangan santan, papa punya sakit lambung dan kolesterol," ujar Rizki mengingat kan.

"Iya, Riz. Papa tutup dulu ya telepon nya."

Baru saja Rizki mengakhiri panggilan telepon nya, terdengar suara salam dan pintu diketuk dari luar. Bersamaan dengan itu, Nina terbangun.

Rizki bergegas membuka pintu dan terlihat seorang perawat yang datang membawa kursi roda.

"Selamat, pagi, Pak. Pagi ini Bu Nina akan diperiksa ke ruangan dokter kulit dan

ke la min," ujar perawat itu ramah.

"Siap, Sus," ujar Rizki lalu menyingkir dan memberi ruang pada suster itu untuk masuk ke dalam kamar.

Tak membutuhkan waktu lama, Nina sudah berpindah dari ra nj ang pasien ke kursi roda. Suster itu lalu mendorong kursi roda melewati koridor menuju ke poli kulit dan ke la min.

Dokter perempuan cantik dan berjilbab itu dengan ramah mempersilahkan Nina untuk naik ke bed pasien. Lalu dokter itu mulai melakukan serangkaian pemeriksaan di dalam bilik yang ditutup tirai.

"Berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium, pasien mengalami infeksi me n u lar se k ** l, pasien akan mendapatkan te ra pi a n t i b i o tik dan tidak diperkenankan sama sekali untuk ber hu bu n g an. Beruntung, infeksi belum terlalu parah," ujar dokter itu.

Rizki dan Nina berpandangan.

"Dokter, apa penyebab penyakit istri saya?" tanya Rizki.

Dokter perempuan itu menghentikan kegiatan menulis resep sejenak.

"PMS atau IMS disebabkan karena berganti- ganti pasangan, Pak, tra n s fusi dan penggunaan ja ru m sun ti k secara bergantian. Hm, apa bapak juga tidak mengalami gejala nyeri saat bu an g air kecil atau keluar na na h saat kencing dan nyeri saat ber sa ma istri?" tanya dokter itu.

Rizki menggeleng. "Sama sekali tidak, Dok."

Dokter itu menatap ke arah Nina yang menunduk dengan wajah prihatin.

"Kapan bapak bersama dengan istri terakhir kali?"

"Sekitar tiga bulan lalu. Kemudian saya berlayar, Dok. Jadi penyakit ini pasti karena istri saya selingkuh kan, Dok?"

Dokter itu menghela napas panjang. "Tentang masalah itu, silakan diselesaikan secara pribadi. Yang penting keluhan pasien diobati dulu," ujar dokter itu lalu menyerah kan kertas resep pada perawat yang mengantarkan Nina tadi.

Perawat itu lalu mengantarkan Nina kembali ke ruangannya.

"Nin, jujur saja padaku, kamu seli n gk uh dengan siapa?!" tanya Rizki setelah mereka kembali ke ruang rawat inap.

"Aku nggak selingkuh, Mas! Seharusnya kamu pun juga di cek ke laboratorium! Jangan- jangan kamu yang membawa penyakit itu dari luar tapi nggak mau ngaku. Bisa juga kan?" tanya Nina sengit.

"Hah? Apa?"

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status