"Bukan hal seperti itu yang ingin aku ketahui, Nin! Aku mohon kejujuran mu! Ini untuk kebaikan kita berdua. Apa kamu selingkuh?" tanya Rizki to the point membuat Nina salah tingkah.
"Mas Rizki... Aku..." Nina terdiam menatap Rizki yang tampak kacau. Dia menggenggam tangan suami nya. "Aku tidak pernah selingkuh, aku sangat mencintai kamu, Mas!" ujar Nina sungguh-sungguh. "Lalu darimana datangnya penyakit yang kamu alami ini? Aku juga tidak pernah selingkuh, Nin. Di kapal, aku berusaha menjaga iman ku dan selalu mengingatmu. Aku juga tidak pernah men ye n tuh perempuan lain." Rizki menjeda kalimat nya sejenak. "Apa kamu pernah tra ns fu si saat aku berlayar?" tanya Rizki lagi. Nina menggeleng. "Tidak, Mas." "Lalu dari mana asal penyakit ini?" tanya Rizki. Nina hanya bisa mengedikkan bahunya. "Aku juga tidak tahu dari mana asalnya penyakit ini. Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin mengalami sakit seperti ini, Mas. Aku juga tidak mau membuat kamu cu ri ga," ujar Nina lirih. Rizki merasakan ke pa lanya sakit. Selama tiga bulan dia menahan keinginan nya untuk melakukan hal itu dan menjaga kesetiaan nya dan berharap bisa disalurkan saat di rumah, tapi ternyata harapan nya hanya tinggal harapan. Istri nya terinfeksi penyakit yang men ji ji k kan. Rizki menghela napas. 'Mana ada ma li ng ngaku. Kalau ma li ng ngaku, mungkin pen ja ra sudah penuh,' batin Rizki. Dia akhirnya beringsut dari r an ja ng dan berjalan ke arah pintu kamar ruang rawat inap. "Mas, kamu mau kemana? Temani aku di sini, Mas. Pinggang dan pe r ut aku sakit," pinta Nina. Rizki menoleh ke arah istri nya sekilas. "Aku nyari udara segar di depan kamar," ujar Rizki dan berlalu begitu saja. ** Rizki yang ketiduran di depan ruang rawat inap Nina, terbangun dan melihat ke ponsel nya. "Wah, sudah jam 7 pagi. Gimana ya kondisi Nina?" gumam Rizki. Dia lalu masuk kembali ke kamar Nina. Terlihat Nina masih tidur pulas. Rizki pun mencuci muka di wastafel kamar mandi lalu duduk di kursi sofa mungil di dalam kamar. Mendadak dia mendengar dering telepon ponsel Nina di atas nakas. Rizki segera meraih ponsel Nina. Terlihat di layar ponsel itu kontak atas nama 'papa' sedang menelepon. Papa adalah ayah Rizki yang menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu karena ibu Rizki me ni ng gal terkena serangan ja nt ung. Dan sampai sekarang, ayah Rizki memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dan Rizki memilih untuk mem be li rumah secara K P R dengan jarak 300 meter dari rumah papanya agar dia bisa menjenguk papanya dengan mudah saat libur berlayar, karena kedua kakak Rizki sudah berkeluarga dan ikut dengan suaminya. "Halo, Pa?" "Halo, lho, Rizki? Kamu sudah pulang dari berlayar, Nak?!" tanya Papanya dari seberang telepon. "Iya, Pa. Ini Rizki. Aku memang sudah pulang." "Kenapa nggak ngabarin papa, Riz?" "Iya, Pa. Aku juga tidak memberi tahu Nina kok. Rencana nya ingin membuat kejutan dengan pulang lebih dulu dan sampai rumah jam sebelas malam. Ternyata Nina semalam harus ke rumah sakit," ujar Rizki. "Lho, Nina sakit apa? Pantas saja jam segini dia belum mengantarkan sarapan untuk papa," ujar papa Rizki. Rizki terdiam sejenak. Bingung harus menjelaskan penyakit istrinya pada papanya. "Hm, yah, belum tahu, nanti baru ketemu dengan dokter spesialis nya," ujar Rizki berbo h ong. "Ya sudah, nanti papa jenguk. Papa mau nyari sarapan dulu. Tadinya papa telepon Nina untuk menanyakan dia masak nggak hari ini," ujar papanya. "Iya, Pa. Ingat ya, kalau makan hati- hati, jangan pedas dan jangan santan, papa punya sakit lambung dan kolesterol," ujar Rizki mengingat kan. "Iya, Riz. Papa tutup dulu ya telepon nya." Baru saja Rizki mengakhiri panggilan telepon nya, terdengar suara salam dan pintu diketuk dari luar. Bersamaan dengan itu, Nina terbangun. Rizki bergegas membuka pintu dan terlihat seorang perawat yang datang membawa kursi roda. "Selamat, pagi, Pak. Pagi ini Bu Nina akan diperiksa ke ruangan dokter kulit dan ke la min," ujar perawat itu ramah. "Siap, Sus," ujar Rizki lalu menyingkir dan memberi ruang pada suster itu untuk masuk ke dalam kamar. Tak membutuhkan waktu lama, Nina sudah berpindah dari ra nj ang pasien ke kursi roda. Suster itu lalu mendorong kursi roda melewati koridor menuju ke poli kulit dan ke la min. Dokter perempuan cantik dan berjilbab itu dengan ramah mempersilahkan Nina untuk naik ke bed pasien. Lalu dokter itu mulai melakukan serangkaian pemeriksaan di dalam bilik yang ditutup tirai. "Berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium, pasien mengalami infeksi me n u lar se k ** l, pasien akan mendapatkan te ra pi a n t i b i o tik dan tidak diperkenankan sama sekali untuk ber hu bu n g an. Beruntung, infeksi belum terlalu parah," ujar dokter itu. Rizki dan Nina berpandangan. "Dokter, apa penyebab penyakit istri saya?" tanya Rizki. Dokter perempuan itu menghentikan kegiatan menulis resep sejenak. "PMS atau IMS disebabkan karena berganti- ganti pasangan, Pak, tra n s fusi dan penggunaan ja ru m sun ti k secara bergantian. Hm, apa bapak juga tidak mengalami gejala nyeri saat bu an g air kecil atau keluar na na h saat kencing dan nyeri saat ber sa ma istri?" tanya dokter itu. Rizki menggeleng. "Sama sekali tidak, Dok." Dokter itu menatap ke arah Nina yang menunduk dengan wajah prihatin. "Kapan bapak bersama dengan istri terakhir kali?" "Sekitar tiga bulan lalu. Kemudian saya berlayar, Dok. Jadi penyakit ini pasti karena istri saya selingkuh kan, Dok?" Dokter itu menghela napas panjang. "Tentang masalah itu, silakan diselesaikan secara pribadi. Yang penting keluhan pasien diobati dulu," ujar dokter itu lalu menyerah kan kertas resep pada perawat yang mengantarkan Nina tadi. Perawat itu lalu mengantarkan Nina kembali ke ruangannya. "Nin, jujur saja padaku, kamu seli n gk uh dengan siapa?!" tanya Rizki setelah mereka kembali ke ruang rawat inap. "Aku nggak selingkuh, Mas! Seharusnya kamu pun juga di cek ke laboratorium! Jangan- jangan kamu yang membawa penyakit itu dari luar tapi nggak mau ngaku. Bisa juga kan?" tanya Nina sengit. "Hah? Apa?" Next?"Aku nggak selingkuh, Mas! Seharusnya kamu pun juga dicek ke laboratorium! Jangan- jangan kamu yang membawa penyakit itu dari luar tapi nggak mau ngaku. Bisa juga kan?" tanya Nina sengit. "Hah? Apa?" "Iya! Bisa saja kan kamu sebelum berlayar tiga bulan yang lalu terkena penyakit ini lalu menulariku!? Dan karena kamu lebih sehat dariku atau penyakit mu diketahui lebih dulu akhirnya kamu lebih cepat sembuh dariku karena bisa saja kamu minum o b at yang lebih manjur dariku, Mas!?" tanya Nina memberanikan diri. Rizki mengerut kan dahinya. "Jangan sembarangan kalau bicara, Nin! Jangan lempar batu sembunyi tangan!" ujar Rizki tegas. "Aku ingin keadilan, Mas!" ujar Nina tegas. "Hah, keadilan!? Keadilan mana yang kamu maksud kan?" tanya Rizki bingung. "Kamu juga harus dites, Mas! Aku juga tidak mau hanya aku yang di cu ri gai berbuat cu ra ng!" tuntut Nina. Rizki tercengang. "Hah, untuk apa aku dites? Aku kan tidak menunjukkan gejala apapun?" tanya Rizki."Ya, memang kamu tidak menun
Mendadak Rizki mendelik melihat bagian bawah papanya yang kemerahan. "Papa? Papa kenapa?"Papanya berusaha berdiri dengan berpegangan pada tiang besi mendatar yang terpasang di dinding kamar mandi. "Tadi jatuh saat lari-lari. Jatuh ke depan. Njlungup sampai tengkurap gara - gara kesandung pas lari-lari tadi," ujar papa Rizki. Rizki memegangi lengan papanya perlahan. "Kalau memang ngilu dan sakit, lebih baik papa ber o b a t ke dokter UGD atau poli. Biar Rizki antar papa," tawar Rizki. Papanya menggeleng. "Enggak usah, Riz. Biasanya diurut biar sembuh," tukas papanya, Rizki dan papanya pun kembali ke dalam kamar ruang rawat inap. Nina tampak sedang memainkan ponselnya sesaat, dan saat melihat Rizki kembali ke kamar, dia meletakkan ponselnya kembali. Ekspresi wajah Nina terlihat kalut dan dengan cepat dia menghela napas panjang, berusaha menormalkan ekspresi wajahnya. "Papa nggak apa-apa?" tanya Nina saat melihat mertuanya keluar dari kamar mandi diikuti Rizki di belakang nya.
"Ah! Kenapa tidak kepikiran hal itu saja untuk membuktikan perselingkuhan Nina!" seru Rizki bersemangat. Dia lalu segera meraih ponselnya untuk menelepon seseorang. "Halo..."Terdengar suara berat menyapa dari seberang telepon. "Halo, Adi! Kamu hari ini ngapain?" tanya Rizki. Adi dan Rizki bersahabat sejak SMA sampai sekarang. "Aku sedang nungguin toko. Emang kenapa?" tanya Adi. "Aku mau ke toko kamu sekarang, Di. Tunggu ya. Aku butuh sharing," ujar Rizki. "Hm, oke boleh. Baik, aku tunggu ya?!""Iya. Oh ya, kamu kok nggak kaget aku sudah pulang dari berlayar dan sekarang sedang di darat?" "Lah, emangnya harus kaget gitu? Aku kan sudah tahu kalau kamu anak buah kapal. Jadi nggak kaget lah kalau kamu datang tak diundang dan pergi tak diantar," ujar Adi tertawa. Di seberang telepon, Rizki juga ikut terkekeh. "Ya sudah, aku mau siap- siap dulu ke toko kamu.""Oke, aku tunggu, Riz. Aku juga penasaran banget kamu mau ngomongin apa," ujar Adi. "Nanti juga tahu sendiri," sahut Rizki
"Darimana kamu tahu kalau selingkuhan Nina tidak akan berhubungan lagi dengan nya? Apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya Rizki penuh selidik. Sejenak Adi menatap Rizki, lalu tersenyum. "Yah, itu sih menurut ku. Coba kamu bayangkan sekarang. Andai saja kamu jadi selingkuhan istri orang, lalu istri orang itu menderita penyakit ke la min, sebagai selingkuhan nya apa kamu masih mau ti d ur sama dia? Beri kesempatan kedua istri kamu lah. Lagipula kamu pernah bilang padaku kan kalau pem be lian rumah dan mobil kamu dibantu oleh mertua kamu dengan adanya surat perjanjian pra nikah," usul Adi bersemangat. Rizki mengerutkan keningnya. "Eh, kok jadi kamu sih yang semangat kalau aku baikan sama Nina?" tanya Rizki. "Hm, ya gimana ya. Aku rasa kalian berdua itu couple goals. Yang cewek cantik banget, kamunya juga ganteng," sahut Adi. "Jadi sayang banget aja kalau kalian pisah begitu saja," sambung Adi. Rizki menghela napas ka s ar. Di dunia ini rasa nya tak ada orang yang sudi berbagi pasanga
"Mami, papi, baru datang?!" tanya Rizki mendekat. Tangan nya terulur hendak menyalami kedua mertuanya. Tapi to n jok an dari papi Nina membuat Rizki terkejut. Buaaagghh! "Dasar suami tidak bertanggung jawab!" Rizki hampir saja tersungkur karena diga m p ar mertua laki-lakinya. Tapi dia segera menyeimbangkan kedua kakinya. Pipinya terasa perih, bahkan keluar d a ra h segar dari sudut bibir Rizki. Rizki yang sudah bisa menguasai diri dan berdiri seimbang itu menatap ke arah mertuanya. Dia tidak gentar dan tidak mundur sedikit pun karena merasa tidak bersalah. "Ada apa, Pi? Kenapa mendadak me mu kul saya?" tanya Rizki dengan menatap ta j am ke arah mertuanya. "Kamu ini yang kenapa?? Tega sekali membiarkan Nina sendirian dirawat di rumah sakit! Kalau kamu sudah tidak cinta lagi pada Nina, kembalikan anak satu-satunya pada kami secara baik-baik. Kamu dulu meminta nya dengan baik, jadi kembalikan anak kami secara baik - baik juga pada kami. Tapi ingat, perjanjian pra nikah kalian,
Lalu akhirnya dia mencari tahu di google tentang cara sa d ap WA milik pasangan."Ah, ini dia caranya!"Rizki membaca artikel tentang cara me nya dap WA milik pasangan dengan seksama. Dia lalu mengambil tangkapan layar tentang artikel itu dan memahami serta menghafalkan nya. Rizki terdiam sesaat lalu memejam kan matanya. Rasanya dia masih tidak percaya dan ingin menolak kenyataan yang baru saja tersaji di hadapan nya. "Kemeja itu..., kemeja bersulam huruf A itu tidak mungkin berada di lemari milik Nina tanpa alasan kan??" gumam Rizki pada diri nya sendiri. "Dan hanya satu alasan yang bisa kutemukan dan masuk akal kenapa kemeja itu bisa ada di lemari Nina."Rizki menghembus kan napas panjang. Da danya terasa se sak. "Tapi aku sungguh tidak menyangka mereka melakukan nya di belakang ku. Pantas dia mengatakan kalau laki-laki selingkuhan Nina tidak akan men y en tuh Nina lagi. Ternyata dia sendiri pelakunya. Tunggu dulu, sekarang coba aku pikirkan lagi. Kemungkinan lain yang menyeba
"Done! Sekarang kita lihat apa yang akan terjadi, Nin!" gumam Rizki menoleh ke arah istri nya yang sedang tertidur lelap. Rizki mengembalikan ponselnya ke atas nakas lalu me re ba hkan diri di sofa. Dia meraih ponsel nya sendiri dan mendadak muncul keinginan nya untuk menghubungi Adi. [Malam, Bro? Lagi apa?]Adi dengan cepat membalas pesan dari Rizki. [Lagi mau ke rumah sakit. Gimana?]Rizki mengerutkan keningnya. Memikirkan siapa yang sedang sakit. Mendadak pikiran nya menebak jika Adi sedang mengalami penyakit yang sama dengan Nina. [Siapa yang sakit, Di?]Mata Rizki mel ot ot saat membaca balasan dari Adi. [Aku cuma kontrol sekalian mengantarkan cewekku yang sedang ha m il nih.]Mereka memang sering berbagi rahasia. Tapi dia tidak menyangka jika pada akhir nya Adi memintanya berbagi istri. **[Wah, sebentar lagi kamu bakal jadi ayah dong! Aku akan datang ke pernikahan kamu, Di.]Rizki dengan tegang menanti jawaban dari Adi. [Hahaha, cewekku memang sedang ha mil. Tapi aku ng
Flash back on :Pagi itu langit gerimis rintik - rintik, saat Rizki harus kembali bekerja. "Sayang, aku berangkat dulu ya?! Hati- hati di rumah. Jangan telat makan terus aku minta tolong untuk menjaga papa ya? Papa kan sakit lambung dan kolesterol jadi...""Jadi jangan lupa untuk memasakkan sayur bening dan pepesan atau botok atau lauk dikukus untuk papa kan?" sahut Nina saat Rizki berpamitan untuk pergi berlayar lagi. Rizki tersenyum dan mengelus rambut Nina. "Pinternya istri aku! Sudah cantik, baik, pinter masak, perhatian pada suami dan mertua, setia, aku sungguh - sungguh beruntung memiliki kamu," ujar Rizki. Nina hanya tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya saat suami nya hendak berangkat ke pelabuhan dengan travel. Nina menutup pintu depan saat mobil travel yang mengantar Rizki menghilang dari pandangan. Dia segera bergegas ke dapur untuk memeriksa bahan yang ada di kulkas. "Duh, tahu dan telur habis ya? Padahal untuk sarapan papa harus be li telur dan tahu untuk jad