"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya.
Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—saya harus melunasi biaya pengobatan ibu saya, Pak. Rentenir tempat saya meminjam uang memberi saya waktu tiga hari untuk melunasinya. Kalau saya tidak membayar, maka saya harus siap menjadi istri ketiga," jawab Naura jujur. Matanya berkaca-kaca karena harapannya hanya pada Davin, meski terdengar mustahil untuk dikabulkan. "Bukankah itu jauh lebih baik daripada berhutang Naura?" suara Davin seperti mengejeknya. Naura tercekat tak mampu menjawabnya. "Lalu kamu mau membayarnya pakai apa? Gaji kamu sebagai sekretaris baru di kantor ini berapa?" cecarnya lagi. "Sa—saya siap bekerja sampai tua di kantor ini, Pak." Davin mendengus sebal mendengar jawaban Naura. "Dan kamu pikir, setelah kamu bekerja sampai tua di kantor ini, uangnya akan terkumpul? Lalu, biaya hidup kamu mau dicari di mana? Kenapa kamu tidak pinjam pada kekasihmu? Bukankah dia jabatannya bagus di kantor ini, hmmmm?" tanya Davin. Andai Davin tahu kalau Naura sudah lebih dulu minjam uang sama Aldo, tapi pria itu justru memarahi Naura. Jabatan Aldo sebagai manajer keuangan di kantor ini memang sudah terkenal punya penghasilan fantastis setiap bulan. Tapi dia tak ingin membantu Naura, terlebih uang yang Naura butuhkan sangat besar. "Apa harta paling berharga yang kamu punya dan bisa dijaminkan pada saya?" tanya Davin. "Tubuh saya. Hanya tubuh saya yang paling berharga untuk saat ini." Linangan air mata semakin deras, dan Naura tak peduli jika dia disebut menjual diri pada atasannya. Davin memicingkan mata. "Maksud kamu, kamu mau menyerahkan dirimu untuk melayani saya?" Naura mengangguk. "Maafkan saya, Pak, karena hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya tidak ingin menjadi istri ketiga pria rentenir tua yang bahkan anaknya sudah seusia ibu saya." Davin ikut geram mendengarnya. "Memangnya kamu masih perawan, sampai berani bilang kalau tubuhmu yang paling berharga?" tanya Davin. "Ma--masih Pak." "Kamu yakin Aldo tak pernah menyentuhmu?" Naura mengangguk, berhasil membuat pria tampan itu menarik sudut bibirnya. "Baiklah. Sekarang kamu ikut dengan saya ke hotel. Kalau kamu benar masih perawan dan kamu bisa memuaskan saya, maka saya akan memberimu pinjaman hari ini juga dengan syarat-" "Sya--syarat?" Naura terbata. "Ya. Kamu harus tidur dengan saya setiap hari, dan selalu ada saat saya menginginkanmu. Dan kamu baru boleh berhenti melakukannya kalau saya sudah bosan denganmu!" Naura membisu beberapa saat, entah Aldo akan mau menerimanya dalam keadaan tidak perawan, atau hubungan mereka akan berakhir? "Baik, Pak," jawab Naura cepat. Wanita cantik berusia 24 tahun itu tidak memiliki pilihan lain. Dia harus siap menanggung segala risiko. Naura tak peduli dengan pandangan buruk Davin tentang dirinya, juga tak peduli kalau dianggap menjual tubuh pada atasannya, karena saat ini tidak ada cara lain yang bisa ditempuh. Waktu tiga hari sangat singkat untuk bisa mengumpulkan uang sebesar itu. CEO dan sekretaris barunya pun keluar dari kantor menuju ke hotel yang sudah direservasi sebelumnya. Setelah sampai di hotel, Davin segera melakukan check-in dan langsung menuju kamar. Jantung Naura semakin berdebar ketika suara pintu kamar hotel dikunci oleh atasannya. Pria itu duduk di atas sofa sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja. "Buka bajumu, saya mau melihatnya sekarang," ucap Davin. Naura benar-benar gugup melakukannya. Ini pertama kali ia harus membuka pakaian di hadapan orang lain. "Cepat buka!" bentak Davin saat menyadari Naura hanya diam. Tak ada pilihan lain, Naura segera melepaskan pakaiannya hingga menyisakan pakaian dalam yang menutupi aset paling berharga miliknya. Kulit putih mulus tanpa noda sedikit pun berhasil membuat Davin terpesona. Pria itu melonggarkan dasi yang mulai terasa mencekik lehernya, lalu berjalan mendekati Naura sambil melepaskan jas kerjanya. "Ukuran dadamu sangat menggoda mataku Naura," ucap Davin berbisik di samping telinga Naura. Pria itu berdiri di belakang tubuh Naura, mulai menyentuh lengannya hingga ke bawah, membuat tubuh Naura meremang. Davin mulai mencium leher Naura dengan lembut, dan dengan sekali gerakan, Davin berhasil membuka pengait penutup gunung kembar Naura hingga terlepas ke lantai. Davin mulai menyentuh dan meremasnya pelan. "Aaaaaaah," desah pria itu, merasakan gejolak dalam tubuhnya yang tak bisa dikendalikan. Sementara Naura menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara desahan. Davin membalik tubuh sang sekretaris hingga keduanya berhadapan, mencium bibir Naura penuh hasrat, lalu melepaskannya setelah keduanya kehabisan napas. "Ingat Naura, kamu harus menjadi simpananku sampai aku yang memintamu pergi, dan jangan pernah berani menceritakan hubungan terlarang kita pada siapapun termasuk Aldo. Apa kamu mengerti?" "Mengerti, Pak," jawab Naura yang merasa harga dirinya telah hancur. Kegadisan yang ia pertahankan untuk calon suaminya kelak, kini terpaksa ia jual demi biaya pengobatan ibunya. "Saya janji akan melakukannya dengan pelan, dan saya akan membiayai seluruh keperluanmu bila kamu berhasil membuat saya puas dan ketagihan," kata Davin lagi. Naura kembali hanya bisa mengangguk pasrah. Davin mulai melepaskan pakaiannya sendiri hingga tubuh keduanya polos. Dia mendorong tubuh Naura pelan ke atas ranjang. Baru saja Davin hendak mengambil posisi di atas tubuh sang sekretaris, suara ketukan pintu kamar hotel itu menghentikan niatnya. Note Author : Buku ini akan update bab baru setiap jam 12.00 Wib"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang
Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan. "Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggara
Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
"Kamu tahu kan kalau aku sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah?" tanya Davin lagi saat Naura belum memberikan jawaban. "Jujur, aku puas main dengan kamu. Naura, milikmu sangat sempit, dan belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti saat menyentuhmu. Kamu sendiri juga tahu, sudah banyak sekali wanita malam yang aku ajak bercinta setiap malam. Jujur, kamu berbeda dari mereka. Kalau kamu mau menjadi simpananku dan merahasiakan hubungan kita dari siapapun, serta berusaha bersikap profesional di hadapan orang lain, aku janji akan membiayai pengobatan ibumu," ucap Davin lagi memberi tawaran. Naura hampir saja melupakan keadaan ibunya yang masih berjuang di ruang ICU. Lebih baik dia berkorban perasaan daripada membiarkan ibunya tanpa perawatan medis yang bagus. Naura menarik napas berat lalu menjawab, "Baiklah, Pak Davin. Saya mau menjadi simpanan Anda," sahutnya. Davin tersenyum bahagia. "Jadi mulai sekarang, bila hanya ada kita berdua saja, kamu harus memposisikan di
Tok tok.“Sayang, kenapa pintunya dikunci?” Suara Anna terdengar lembut namun memaksa dari balik pintu.Davin yang saat itu sedang bersama Naura di ruang kerjanya langsung panik. Ia menoleh cepat ke arah Naura dan berbisik, “Cepat, kamu sembunyi di bawah meja.” Naura, dengan wajah gugup, segera berjongkok dan menyelinap di bawah meja besar di hadapan Davin.Davin menarik napas dalam-dalam dan merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Tangannya bergerak cepat meraih remote untuk membuka kunci pintu secara otomatis. Tak ada suara yang terdengar dari luar, membuat Anna tak sadar bahwa pintu itu sudah terbuka.“Sayang...” panggil Anna sekali lagi, nada suaranya terdengar sedikit kesal.“Masuk,” jawab Davin, kali ini dengan suara tegas dan datar.Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Anna Rosiana yang segera melangkah masuk. Wajah cantiknya tampak penuh dengan rasa penasaran, namun tersamar oleh raut marah yang kian jelas. Ia berjalan cepat mendekati Davin, tumit sepatu hak tin
“Panggil namaku sayang,” ucap Davin dengan suara parau.“Pak Davin.”“Aaaaahhhhh,” erangan panjang itu menandakan kalau keduanya sudah ada di puncak surga dunia.Dalam ruangan khusus yang tidak terlalu luas dan tersembunyi dari hiruk pikuk kantor, Davin menatap Naura yang masih terbaring di sampingnya, kulitnya yang berkeringat menempel di seprai, napasnya masih terengah-engah.Di ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak; mereka sama-sama terbuai dalam keintiman yang begitu dalam.Namun, di balik itu, ada kenyataan yang tak bisa mereka abaikan hubungan mereka hanya berlandaskan kebutuhan yang saling menguntungkan, bukan perasaan tulus.Davin mengusap lembut pipi Naura sebelum berkata dengan nada yang nyaris berbisik, "Terima kasih, Naura. Kamu sudah memberikan kenikmatan yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku janji, mulai sekarang, aku tidak akan lagi mencari wanita malam."Mata Davin menatap Naura dalam, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. "Tapi, a