Tok tok.“Sayang, kenapa pintunya dikunci?” Suara Anna terdengar lembut namun memaksa dari balik pintu.Davin yang saat itu sedang bersama Naura di ruang kerjanya langsung panik. Ia menoleh cepat ke arah Naura dan berbisik, “Cepat, kamu sembunyi di bawah meja.” Naura, dengan wajah gugup, segera berjongkok dan menyelinap di bawah meja besar di hadapan Davin.Davin menarik napas dalam-dalam dan merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Tangannya bergerak cepat meraih remote untuk membuka kunci pintu secara otomatis. Tak ada suara yang terdengar dari luar, membuat Anna tak sadar bahwa pintu itu sudah terbuka.“Sayang...” panggil Anna sekali lagi, nada suaranya terdengar sedikit kesal.“Masuk,” jawab Davin, kali ini dengan suara tegas dan datar.Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Anna Rosiana yang segera melangkah masuk. Wajah cantiknya tampak penuh dengan rasa penasaran, namun tersamar oleh raut marah yang kian jelas. Ia berjalan cepat mendekati Davin, tumit sepatu hak tin
“Panggil namaku sayang,” ucap Davin dengan suara parau.“Pak Davin.”“Aaaaahhhhh,” erangan panjang itu menandakan kalau keduanya sudah ada di puncak surga dunia.Dalam ruangan khusus yang tidak terlalu luas dan tersembunyi dari hiruk pikuk kantor, Davin menatap Naura yang masih terbaring di sampingnya, kulitnya yang berkeringat menempel di seprai, napasnya masih terengah-engah.Di ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak; mereka sama-sama terbuai dalam keintiman yang begitu dalam.Namun, di balik itu, ada kenyataan yang tak bisa mereka abaikan hubungan mereka hanya berlandaskan kebutuhan yang saling menguntungkan, bukan perasaan tulus.Davin mengusap lembut pipi Naura sebelum berkata dengan nada yang nyaris berbisik, "Terima kasih, Naura. Kamu sudah memberikan kenikmatan yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku janji, mulai sekarang, aku tidak akan lagi mencari wanita malam."Mata Davin menatap Naura dalam, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. "Tapi, a
Jantung Naura masih berdetak kencang seperti maling yang tertangkap basah. Namun dia segera memulihkan suasana hatinya agar tak terlihat gugup di depan Aldo."Kenapa kamu lama sekali di ruangan Pak Davin? Mana ponsel gak dibawa!" tanyanya dengan nada ketus, raut wajahnya jelas memperlihatkan kecemburuan yang mendidih.Naura berjalan menuju meja kerjanya lalu menatap Aldo dengan tatapan tajam. Ia sudah cukup lelah dengan sikap posesif Aldo yang selalu penuh kecurigaan. "Menurutmu, aku ngapain di dalam, Aldo?" jawabnya, suaranya sengaja dibuat ketus, berusaha menahan kekesalan yang sudah menumpuk.Aldo tidak menyerah. "Aku dari tadi di sini, kamu lama sekali di dalam. Jangan bilang kamu ada apa-apa dengan Pak Davin," tuduh Aldo sambil melipat kedua tangannya di depan dada.BRAAAK!Naura menggebrak meja kerjanya, membuat beberapa kertas berserakan. "Kalau kau datang hanya untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi sekarang, Aldo!" serunya, suaranya bergetar penuh emosi. "Oh ya, motor
Saat Aldo hendak masuk ke ruang kerjanya, tatapannya langsung tertuju pada Naura, yang saat ini ada di ruang divisi pemasaran. Dengan nada yang tak bisa ditolak, ia menyembulkan kepala ke dalam dan langsung mengingatkannya tentang rencana makan malam mereka."Pokoknya nanti malam aku akan menjemputmu, Naura. Tolong jangan kecewakan keluargaku," katanya tegas.Para karyawan lain yang mendengar perkataan Aldo hanya bisa saling bertukar pandang dan menggelengkan kepala. Mereka tampak tak asing lagi dengan cara Aldo memperlakukan Naura seolah-olah ia sudah pasti akan mengikuti semua keinginannya. Sementara itu, Naura hanya diam, enggan menanggapi ocehan Aldo yang semakin sering mengatur kehidupannya.Di tengah suasana itu, manajer pemasaran mendekati Naura sambil membawa berkas yang sudah dipegangnya sejak tadi."Ini data yang kamu minta, Naura. Nanti tolong sampaikan ke Pak Davin kalau semuanya sudah lengkap. Tapi, dicek lagi ya, siapa tahu ada yang belum sesuai dengan total yang saya
Davin mengambil alih kemudi dari Pak Udin, sopir pribadinya, yang tampak cukup lelah."Biar saya saja yang bawa mobil, Pak Udin. Bapak istirahat saja," ucap Davin sambil mengulurkan tangan untuk menerima kunci mobil.Pak Udin, yang sudah berpuluh tahun mengabdi, hanya tersenyum tipis sambil menyerahkan kunci. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan," jawabnya sambil memberi hormat.Davin kemudian masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi, sementara Naura, yang sudah lebih dulu masuk, duduk di kursi belakang. Melihat hal itu, Davin mengerutkan keningnya dan segera menoleh ke belakang, menegur Naura."Aku bukan sopirmu. Cepat duduk di depan," ucapnya ketus.Naura tersentak mendengar perintahnya. Dengan wajah sedikit canggung, ia keluar dari kursi belakang, lalu bergegas pindah ke kursi penumpang depan, tepat di samping Davin."Maaf, Pak," ucapnya pelan.Davin hanya mengangguk, matanya kembali fokus ke jalan. Mobil pun melaju pelan meninggalkan kantor. Suasana di luar cukup lengang karena jam m
Naura merasa canggung dan tidak nyaman, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Di hadapan Davin, ia berkata dengan hati-hati, "Sa—saya minta maaf, Pak Davin. Mungkin saya hanya belum terbiasa."Davin menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Naura. Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu untuk terbiasa dengan situasi ini," ucapnya dengan nada yang lebih lembut. "Tapi ingat, aku tak punya banyak waktu untuk menunggu agar kamu menjadi wanita yang kuinginkan."Naura mengangguk mantap, berusaha menunjukkan keseriusannya. "Baik, Pak."Davin tersenyum tipis, lalu menatap makanan di depannya. "Sekarang, kita makan dulu. Pertemuan kita sudah hampir tiba," ujarnya sambil mempersilakan Naura makan.Naura segera mengalihkan pandangan ke makanannya, mencoba mengumpulkan fokus dan menghabiskan makanan di depannya. Mereka berdua menyelesaikan makan siang dalam suasana yang sedikit kaku, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.Setelah makan, mereka meninggalkan restoran dan melanjutkan perjal
Naura merasa bingung dan canggung saat melangkah memasuki apartemen mewah yang tidak ia kenali. Matanya menyapu sekeliling ruangan dengan kekaguman bercampur keheranan."Ini apartemen siapa, Pak?" tanya Naura dengan suara pelan, nyaris berbisik.Davin mengerling padanya sambil tersenyum tipis. "Sudah, jangan banyak tanya. Ayo turun," jawab Davin singkat. Naura mengangguk ragu-ragu dan mengikuti langkah Davin saat mereka turun dari mobil. Keduanya berjalan ke arah resepsionis, di mana Davin meminta kunci apartemen tersebut.Sepanjang perjalanan menuju unit, pikiran Naura dipenuhi tanda tanya. Di mana mereka ini? Apa rencana Davin sebenarnya? Sejak kapan Davin punya apartemen di tempat ini?Dengan menempelkan kartu dan sekali klik, pintu terbuka, menampilkan pemandangan interior yang menakjubkan. Apartemen tersebut tampak sangat mewah, jauh lebih mewah dari apartemen yang sempat Davin berikan beberapa hari yang lalu, apartemen ini dengan perabotan lengkap dan desain modern yang elegan
“Sial!” umpatnya marah.Davin menatap layar ponselnya dengan kesal, mengepalkan tangan sambil berdecak. Nada kesal terlukis di wajahnya ketika menerima panggilan dari Anna, calon istrinya. Suasana di ruangan apartemen yang tadinya hangat mendadak terasa berubah."Halo," jawab Davin dengan nada ketus, tak menyembunyikan kejengkelannya."Halo, sayang! Tiga puluh menit lagi jemput aku di depan hotel, ya. Aku mau kamu antar ke salon. Jangan menolak, karena ini perintah langsung dari mamamu," sahut Anna, terdengar seperti perintah daripada permintaan."Iya," jawab Davin singkat, lalu tanpa menunggu balasan, ia langsung menutup telepon, memutuskan sambungan sepihak.Naura, yang menyaksikan semua itu, merasa suasana menjadi canggung. Davin memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu menatap Naura yang masih berdiri di dekatnya.Davin menghela napas dan mendekati Naura. "Sayang, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ambil barang-barangmu dulu, ya, lalu langsung pindah ke sini. Aku tidak ingin kekasih
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti
Sementara itu, sebuah mobil mewah dengan interior elegan melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit siang yang cerah. Jalanan kota tampak sibuk, namun di dalam kendaraan tersebut, suasana terasa lebih hening dibandingkan hiruk-pikuk di luar sana. Penelope duduk di kursi belakang dengan anggun, kedua kakinya yang jenjang disilangkan, sementara Fernando dengan tenang mengemudi di depan, memastikan perjalanan mereka berjalan lancar.Meskipun suasana di dalam mobil tampak tenang, pikiran Penelope justru sedang penuh dengan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Sejak keluar dari restoran tempat pertemuan bisnisnya dengan Davin Abimanyu, benaknya dipenuhi oleh bayangan pria itu. Ketegasan dalam suaranya, cara ia membawa diri, serta tatapan tajam yang memancarkan kecerdasan dan kharisma yang begitu memikat.Dia sudah banyak bertemu pria sukses di dunia bisnis, tetapi tidak ada yang seperti Davin. Pria itu tidak hanya berwibawa dan cerdas, tetapi juga memiliki sesuatu yang lebih langk