Davin mengambil alih kemudi dari Pak Udin, sopir pribadinya, yang tampak cukup lelah."Biar saya saja yang bawa mobil, Pak Udin. Bapak istirahat saja," ucap Davin sambil mengulurkan tangan untuk menerima kunci mobil.Pak Udin, yang sudah berpuluh tahun mengabdi, hanya tersenyum tipis sambil menyerahkan kunci. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan," jawabnya sambil memberi hormat.Davin kemudian masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi, sementara Naura, yang sudah lebih dulu masuk, duduk di kursi belakang. Melihat hal itu, Davin mengerutkan keningnya dan segera menoleh ke belakang, menegur Naura."Aku bukan sopirmu. Cepat duduk di depan," ucapnya ketus.Naura tersentak mendengar perintahnya. Dengan wajah sedikit canggung, ia keluar dari kursi belakang, lalu bergegas pindah ke kursi penumpang depan, tepat di samping Davin."Maaf, Pak," ucapnya pelan.Davin hanya mengangguk, matanya kembali fokus ke jalan. Mobil pun melaju pelan meninggalkan kantor. Suasana di luar cukup lengang karena jam m
Naura merasa canggung dan tidak nyaman, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Di hadapan Davin, ia berkata dengan hati-hati, "Sa—saya minta maaf, Pak Davin. Mungkin saya hanya belum terbiasa."Davin menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Naura. Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu untuk terbiasa dengan situasi ini," ucapnya dengan nada yang lebih lembut. "Tapi ingat, aku tak punya banyak waktu untuk menunggu agar kamu menjadi wanita yang kuinginkan."Naura mengangguk mantap, berusaha menunjukkan keseriusannya. "Baik, Pak."Davin tersenyum tipis, lalu menatap makanan di depannya. "Sekarang, kita makan dulu. Pertemuan kita sudah hampir tiba," ujarnya sambil mempersilakan Naura makan.Naura segera mengalihkan pandangan ke makanannya, mencoba mengumpulkan fokus dan menghabiskan makanan di depannya. Mereka berdua menyelesaikan makan siang dalam suasana yang sedikit kaku, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.Setelah makan, mereka meninggalkan restoran dan melanjutkan perjal
Naura merasa bingung dan canggung saat melangkah memasuki apartemen mewah yang tidak ia kenali. Matanya menyapu sekeliling ruangan dengan kekaguman bercampur keheranan."Ini apartemen siapa, Pak?" tanya Naura dengan suara pelan, nyaris berbisik.Davin mengerling padanya sambil tersenyum tipis. "Sudah, jangan banyak tanya. Ayo turun," jawab Davin singkat. Naura mengangguk ragu-ragu dan mengikuti langkah Davin saat mereka turun dari mobil. Keduanya berjalan ke arah resepsionis, di mana Davin meminta kunci apartemen tersebut.Sepanjang perjalanan menuju unit, pikiran Naura dipenuhi tanda tanya. Di mana mereka ini? Apa rencana Davin sebenarnya? Sejak kapan Davin punya apartemen di tempat ini?Dengan menempelkan kartu dan sekali klik, pintu terbuka, menampilkan pemandangan interior yang menakjubkan. Apartemen tersebut tampak sangat mewah, jauh lebih mewah dari apartemen yang sempat Davin berikan beberapa hari yang lalu, apartemen ini dengan perabotan lengkap dan desain modern yang elegan
“Sial!” umpatnya marah.Davin menatap layar ponselnya dengan kesal, mengepalkan tangan sambil berdecak. Nada kesal terlukis di wajahnya ketika menerima panggilan dari Anna, calon istrinya. Suasana di ruangan apartemen yang tadinya hangat mendadak terasa berubah."Halo," jawab Davin dengan nada ketus, tak menyembunyikan kejengkelannya."Halo, sayang! Tiga puluh menit lagi jemput aku di depan hotel, ya. Aku mau kamu antar ke salon. Jangan menolak, karena ini perintah langsung dari mamamu," sahut Anna, terdengar seperti perintah daripada permintaan."Iya," jawab Davin singkat, lalu tanpa menunggu balasan, ia langsung menutup telepon, memutuskan sambungan sepihak.Naura, yang menyaksikan semua itu, merasa suasana menjadi canggung. Davin memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu menatap Naura yang masih berdiri di dekatnya.Davin menghela napas dan mendekati Naura. "Sayang, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ambil barang-barangmu dulu, ya, lalu langsung pindah ke sini. Aku tidak ingin kekasih
“Semua wanita sama saja. Gak mama, gak Anna, sukanya merintah seenaknya. Buat apa punya pasangan kalau cuma ngatur? Harus dijemputlah, dianterinlah. Kapan mandirinya?” Davin menggerutu sambil melajukan mobilnya menuju kantor. Pikirannya kalut dengan segala tuntutan Anna dan Mamanya, dan sejujurnya, kelelahan mental itu semakin hari semakin mengikis kebahagiaannya.Sesampainya di kantor, Davin menyerahkan kunci mobil kepada sopirnya. “Parkir di basement ya, Pak Udin. Saya ada pekerjaan mendesak,” ujarnya singkat.Pak Udin mengangguk hormat, “Baik, Pak Davin.” Setelah itu, Davin segera melangkah menuju lift di lobi gedung pencakar langit miliknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara familiar yang memanggilnya dari kejauhan.“Pak Davin!” seru Aldo, mendekati Davin dengan langkah yang terburu-buru.Davin menoleh malas ke arah suara itu, alisnya sedikit berkerut. "Hmmmm," sahutnya dengan nada menahan kesal.Aldo mendekat, tampak sedikit gelisah. “Pak, saya mau tanya. Naura d
"Terserah kamu mau bilang apa," gumam Naura, membiarkan kata-kata Aldo yang mengancamnya terbang hilang dari pikirannya. Ia menghela napas panjang lalu menutup ponselnya. Setelah itu, dia duduk dan kembali merapikan barang-barangnya, menyiapkan hati untuk kehidupan barunya. Pandangannya tertuju pada foto ibunya yang dibingkai indah dan berdiri di meja samping tempat tidur.Naura meraih bingkai foto itu, menatap penuh haru. Wajah ibunya terlihat damai, tetapi hatinya tahu bahwa di dalam tubuh yang rapuh itu, ibunya sedang berjuang melawan penyakit yang terus melemahkan. Naura mengusap sudut matanya yang mulai basah."Ibu, Naura kangen banget sama Ibu... Apa pun akan Naura lakukan demi kesembuhan Ibu," bisiknya lirih. "Meskipun harapannya sangat kecil, Naura tetap akan berjuang. Bertahan dan berjuanglah, Bu. Naura butuh Ibu... Naura nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini." Ucapannya terbata, tenggelam dalam isak halus yang menyusup di dadanya.Merasa tak ingin larut dalam perasaan s
"Aku harus pergi ke mal sekarang," ucap Naura pada dirinya sendiri sambil melihat bayangannya di cermin.Ia menilai penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan setiap detail tampak sempurna. Kali ini, Naura ingin tampil memukau. Ia menghela napas, lalu mengambil tas tangannya dan bergegas keluar, hatinya dipenuhi campuran semangat dan sedikit kegelisahan. Ia tahu bahwa malam ini harus terlihat cantik untuk Davin.Dalam perjalanan, ponselnya bergetar beberapa kali, menampilkan nama Aldo di layar. Naura hanya memandangi ponsel tersebut, lalu mengabaikannya."Untuk apa lagi dia menghubungiku?" pikirnya. Hubungannya dengan Aldo sudah ia anggap selesai, tak ada lagi yang tersisa selain kenangan yang tak ingin ia ingat. Bagi Naura, Aldo adalah pria egois yang hanya muncul ketika ia ingin bersenang-senang, tanpa pernah sungguh-sungguh peduli.Sesampainya di mal, Naura langsung menuju butik berkelas yang biasa menjual pakaian mewah. Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan menata
"Serendah itukah dirimu sampai menyerahkan diri untuk disentuh sebelum kita menikah? Jangan-jangan kamu sudah tak perawan lagi?" Davin melontarkan kalimat itu dengan nada dingin, memecah keheningan yang sejenak menyelimuti mereka. Suara Davin terdengar menusuk, membuat suasana di dalam mobil mendadak mencekam. Anna menatapnya dengan sorot mata terluka, namun ia berusaha menahan emosinya."Bukan begitu, sayang," jawab Anna dengan lembut, berusaha menormalkan nada suaranya meskipun hatinya terasa sedikit perih."Tapi tak ada salahnya, kan? Kita sudah bertunangan. Siapa tahu, kalau aku bisa segera hamil, kamu tidak punya alasan lagi untuk menunda pernikahan kita." Ucapannya terdengar penuh harapan, namun ia sadar bahwa kalimatnya mungkin tak cukup untuk mengubah hati Davin yang sekeras batu.Davin menyeringai sinis. "Jadi kamu sudah punya niat untuk menjebakku agar aku mau buru-buru menikahimu?" tanyanya dengan nada meremehkan. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Anna yang kini menunduk p