“Semua wanita sama saja. Gak mama, gak Anna, sukanya merintah seenaknya. Buat apa punya pasangan kalau cuma ngatur? Harus dijemputlah, dianterinlah. Kapan mandirinya?” Davin menggerutu sambil melajukan mobilnya menuju kantor. Pikirannya kalut dengan segala tuntutan Anna dan Mamanya, dan sejujurnya, kelelahan mental itu semakin hari semakin mengikis kebahagiaannya.Sesampainya di kantor, Davin menyerahkan kunci mobil kepada sopirnya. “Parkir di basement ya, Pak Udin. Saya ada pekerjaan mendesak,” ujarnya singkat.Pak Udin mengangguk hormat, “Baik, Pak Davin.” Setelah itu, Davin segera melangkah menuju lift di lobi gedung pencakar langit miliknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara familiar yang memanggilnya dari kejauhan.“Pak Davin!” seru Aldo, mendekati Davin dengan langkah yang terburu-buru.Davin menoleh malas ke arah suara itu, alisnya sedikit berkerut. "Hmmmm," sahutnya dengan nada menahan kesal.Aldo mendekat, tampak sedikit gelisah. “Pak, saya mau tanya. Naura d
"Terserah kamu mau bilang apa," gumam Naura, membiarkan kata-kata Aldo yang mengancamnya terbang hilang dari pikirannya. Ia menghela napas panjang lalu menutup ponselnya. Setelah itu, dia duduk dan kembali merapikan barang-barangnya, menyiapkan hati untuk kehidupan barunya. Pandangannya tertuju pada foto ibunya yang dibingkai indah dan berdiri di meja samping tempat tidur.Naura meraih bingkai foto itu, menatap penuh haru. Wajah ibunya terlihat damai, tetapi hatinya tahu bahwa di dalam tubuh yang rapuh itu, ibunya sedang berjuang melawan penyakit yang terus melemahkan. Naura mengusap sudut matanya yang mulai basah."Ibu, Naura kangen banget sama Ibu... Apa pun akan Naura lakukan demi kesembuhan Ibu," bisiknya lirih. "Meskipun harapannya sangat kecil, Naura tetap akan berjuang. Bertahan dan berjuanglah, Bu. Naura butuh Ibu... Naura nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini." Ucapannya terbata, tenggelam dalam isak halus yang menyusup di dadanya.Merasa tak ingin larut dalam perasaan s
"Aku harus pergi ke mal sekarang," ucap Naura pada dirinya sendiri sambil melihat bayangannya di cermin.Ia menilai penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan setiap detail tampak sempurna. Kali ini, Naura ingin tampil memukau. Ia menghela napas, lalu mengambil tas tangannya dan bergegas keluar, hatinya dipenuhi campuran semangat dan sedikit kegelisahan. Ia tahu bahwa malam ini harus terlihat cantik untuk Davin.Dalam perjalanan, ponselnya bergetar beberapa kali, menampilkan nama Aldo di layar. Naura hanya memandangi ponsel tersebut, lalu mengabaikannya."Untuk apa lagi dia menghubungiku?" pikirnya. Hubungannya dengan Aldo sudah ia anggap selesai, tak ada lagi yang tersisa selain kenangan yang tak ingin ia ingat. Bagi Naura, Aldo adalah pria egois yang hanya muncul ketika ia ingin bersenang-senang, tanpa pernah sungguh-sungguh peduli.Sesampainya di mal, Naura langsung menuju butik berkelas yang biasa menjual pakaian mewah. Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan menata
"Serendah itukah dirimu sampai menyerahkan diri untuk disentuh sebelum kita menikah? Jangan-jangan kamu sudah tak perawan lagi?" Davin melontarkan kalimat itu dengan nada dingin, memecah keheningan yang sejenak menyelimuti mereka. Suara Davin terdengar menusuk, membuat suasana di dalam mobil mendadak mencekam. Anna menatapnya dengan sorot mata terluka, namun ia berusaha menahan emosinya."Bukan begitu, sayang," jawab Anna dengan lembut, berusaha menormalkan nada suaranya meskipun hatinya terasa sedikit perih."Tapi tak ada salahnya, kan? Kita sudah bertunangan. Siapa tahu, kalau aku bisa segera hamil, kamu tidak punya alasan lagi untuk menunda pernikahan kita." Ucapannya terdengar penuh harapan, namun ia sadar bahwa kalimatnya mungkin tak cukup untuk mengubah hati Davin yang sekeras batu.Davin menyeringai sinis. "Jadi kamu sudah punya niat untuk menjebakku agar aku mau buru-buru menikahimu?" tanyanya dengan nada meremehkan. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Anna yang kini menunduk p
Mamanya, yang tampak anggun dengan pakaian rapi dan perhiasan mewah, menatap Aldo dengan dingin. "Kamu itu seorang manajer keuangan, Aldo. Gaji kamu besar, karier kamu sangat bagus di perusahaan itu. Kamu seharusnya bisa memilih wanita yang lebih berkelas, bukan perempuan yang hidupnya hanya untuk mengurus ibunya. Bayangkan, Aldo, entah sampai kapan ibunya akan hidup atau mungkin segera meninggal. Mama tidak ingin kamu menyia-nyiakan waktumu hanya untuk perempuan yang asal-usulnya tidak jelas," ia berkata penuh penekanan, sorot matanya tajam.Aldo menghela napas berat, menahan diri agar tidak terpancing lebih jauh."Tapi, Ma, Aldo sangat mencintai Naura. Aldo cuma mau dia yang menjadi istri Aldo, bukan yang lain," jawab Aldo dengan suara lembut namun penuh keyakinan.Mamanya tampak tidak terpengaruh, bahkan semakin mengeraskan suaranya. "Dia tidak akan pernah mencintai kamu dengan sungguh-sungguh, Aldo. Kalau saja kamu bukan seorang manajer keuangan, Mama yakin Naura itu tidak akan m
Davin memandang Naura dari ujung kepala hingga ujung kaki, memperhatikan setiap detail dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan."Kamu sangat cantik dan seksi, sayang. Aku suka melihatmu seperti ini," ucap Davin dengan suara rendah dan dalam, mengandung kekaguman sekaligus godaan. Tatapan matanya membuat Naura tersenyum malu, lalu ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menenangkan dirinya meski jantungnya berdegup kencang.Naura menatap Davin, lalu dengan perlahan mengangkat tangannya, melingkarkan kedua lengannya di leher pria itu. Mereka saling bertukar pandang sejenak, seolah-olah waktu terhenti. Davin merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk mendekap Naura lebih dekat, dan perlahan, ia menarik pinggang Naura, mempertemukan tubuh mereka dengan lembut namun intens.Ciuman yang mereka bagi terasa mendalam, seolah-olah dunia di sekeliling mereka lenyap. Setiap sentuhan seolah menceritakan hasrat yang mereka simpan selama ini. Ciuman keduanya terlepas untuk menghirup udara, me
Naura menatap Aldo dengan tatapan penuh ketegasan. Nafasnya teratur, tapi suaranya terdengar dingin dan mantap. "Aku tidak peduli, Aldo. Mau kamu menganggap kita sudah putus atau tidak, terserah. Yang jelas, aku merasa hubungan kita ini sudah tidak layak untuk dilanjutkan. Aku dan kamu sekarang punya visi dan misi yang berbeda. Jadi, saranku, sebaiknya kamu cari perempuan yang lebih baik dariku."Aldo hanya bisa menatap Naura dengan ekspresi terkejut. Kata-katanya begitu menusuk, dan hatinya tak siap mendengar ketegasan Naura yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, sebelum Aldo sempat merespons, Naura sudah berbalik dan melangkah cepat meninggalkannya. Dia berjalan tanpa menoleh, seolah memastikan bahwa setiap langkahnya adalah tanda keputusannya yang bulat.Aldo memandangi punggung Naura yang semakin menjauh, hingga akhirnya sosoknya menghilang di balik pintu lift di kantor. Amarah dan kekecewaan menggelegak dalam dirinya. Rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal kuat.
Naura memasuki ruang meeting bersama ahli IT perusahaan, memastikan segala persiapan teknis untuk pertemuan pagi ini sudah sempurna. Dengan cekatan, dia mengatur catatan kecil yang telah disusunnya untuk Davin, sang pemimpin rapat, yang berisi poin-poin utama yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Proyektor sudah menyala, dan layar besar di depan ruangan menampilkan grafik pencapaian perusahaan, siap untuk digunakan.Beberapa karyawan mulai berdatangan dan duduk di tempat yang telah disediakan. Aldo, bersama para manajer lainnya, mengambil tempat di barisan depan, tepat di hadapan Naura. Aldo menatap tajam ke arahnya, pandangan yang sulit diartikan. Meski perasaan tidak nyaman sedikit muncul di dalam dirinya, Naura berusaha tetap tenang. Dia mengalihkan perhatiannya pada catatan dan materi presentasi, mencoba fokus pada tugasnya.Ketika Davin memasuki ruangan, suasana seketika berubah. Seluruh karyawan memberikan hormat kepadanya. Kehadirannya yang berwibawa membawa energi t