Davin memandang Naura dari ujung kepala hingga ujung kaki, memperhatikan setiap detail dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan."Kamu sangat cantik dan seksi, sayang. Aku suka melihatmu seperti ini," ucap Davin dengan suara rendah dan dalam, mengandung kekaguman sekaligus godaan. Tatapan matanya membuat Naura tersenyum malu, lalu ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menenangkan dirinya meski jantungnya berdegup kencang.Naura menatap Davin, lalu dengan perlahan mengangkat tangannya, melingkarkan kedua lengannya di leher pria itu. Mereka saling bertukar pandang sejenak, seolah-olah waktu terhenti. Davin merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk mendekap Naura lebih dekat, dan perlahan, ia menarik pinggang Naura, mempertemukan tubuh mereka dengan lembut namun intens.Ciuman yang mereka bagi terasa mendalam, seolah-olah dunia di sekeliling mereka lenyap. Setiap sentuhan seolah menceritakan hasrat yang mereka simpan selama ini. Ciuman keduanya terlepas untuk menghirup udara, me
Naura menatap Aldo dengan tatapan penuh ketegasan. Nafasnya teratur, tapi suaranya terdengar dingin dan mantap. "Aku tidak peduli, Aldo. Mau kamu menganggap kita sudah putus atau tidak, terserah. Yang jelas, aku merasa hubungan kita ini sudah tidak layak untuk dilanjutkan. Aku dan kamu sekarang punya visi dan misi yang berbeda. Jadi, saranku, sebaiknya kamu cari perempuan yang lebih baik dariku."Aldo hanya bisa menatap Naura dengan ekspresi terkejut. Kata-katanya begitu menusuk, dan hatinya tak siap mendengar ketegasan Naura yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, sebelum Aldo sempat merespons, Naura sudah berbalik dan melangkah cepat meninggalkannya. Dia berjalan tanpa menoleh, seolah memastikan bahwa setiap langkahnya adalah tanda keputusannya yang bulat.Aldo memandangi punggung Naura yang semakin menjauh, hingga akhirnya sosoknya menghilang di balik pintu lift di kantor. Amarah dan kekecewaan menggelegak dalam dirinya. Rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal kuat.
Naura memasuki ruang meeting bersama ahli IT perusahaan, memastikan segala persiapan teknis untuk pertemuan pagi ini sudah sempurna. Dengan cekatan, dia mengatur catatan kecil yang telah disusunnya untuk Davin, sang pemimpin rapat, yang berisi poin-poin utama yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Proyektor sudah menyala, dan layar besar di depan ruangan menampilkan grafik pencapaian perusahaan, siap untuk digunakan.Beberapa karyawan mulai berdatangan dan duduk di tempat yang telah disediakan. Aldo, bersama para manajer lainnya, mengambil tempat di barisan depan, tepat di hadapan Naura. Aldo menatap tajam ke arahnya, pandangan yang sulit diartikan. Meski perasaan tidak nyaman sedikit muncul di dalam dirinya, Naura berusaha tetap tenang. Dia mengalihkan perhatiannya pada catatan dan materi presentasi, mencoba fokus pada tugasnya.Ketika Davin memasuki ruangan, suasana seketika berubah. Seluruh karyawan memberikan hormat kepadanya. Kehadirannya yang berwibawa membawa energi t
Naura berjalan mendekati meja kerjanya. Anna yang sedang sibuk melihat ponsel sesaat menoleh ke arah Naura dengan ekspresi puas. Setelah beberapa saat, Anna meletakkan ponselnya dan tersenyum tipis."Naura, saya mau pergi dengan tunangan saya saja, ya. Kamu tolong tangani semua pekerjaan Davin," ucap Anna santai sambil merapikan tasnya, siap meninggalkan kantor.Naura merasa lega mendengar itu, jantungnya yang sempat berdebar kini mulai tenang. Jika Anna memang ingin pergi bersama Davin, itu artinya dia tidak menyaksikan momen ketika Davin tiba-tiba mencium pipinya saat mereka keluar dari lift tadi pagi. Naura tersenyum kecil sambil menjawab dengan tenang."Baik, nona," jawab Naura dengan sopan.Anna melambaikan tangan dan berjalan menuju ruang kerja Davin, tampaknya siap untuk pergi. Tak berselang lama, Davin keluar dari ruangannya dengan jas rapi dan langsung menghampiri Anna."Ayo pergi,” ucap Davin dengan ketus membuat Anna terlihat semakin kesal dan jengah dengan sikap dingin san
"Naura…. Tungguuuu!" teriak Aldo dengan suara lantang, memburu Naura yang berjalan cepat menuju lobi kantor, berusaha menjauh dari pria yang kini justru membuntutinya.Naura menghentikan langkahnya seketika dan berbalik dengan wajah ketus. "Apaaa?" tanyanya dengan nada kesal, sorot matanya penuh amarah.Aldo mencoba mendekat dan tersenyum lebar, seolah tidak menyadari sikap dingin Naura. "Kamu bilang sudah tak mencintai aku?" tanyanya, nada suaranya meremehkan. "Tapi kenapa kamu malah membuntutiku saat jam makan siang, ha? Kalau cinta, bilang saja. Jangan pura-pura marah," ujar Aldo dengan nada menggoda. Tangannya berusaha menyentuh dagu Naura, mencoba meraih sentuhan yang dulu sering ia lakukan, tapi Naura cepat-cepat menepisnya dengan gerakan penuh penolakan."Jangan kepedean, Aldo!" Naura berseru, matanya menyipit menahan kejengkelan. "Kalau aku tahu kamu makan di sana, aku mending pesan makanan lewat online saja," jawabnya tegas, seolah menguatkan dinding dingin di antara mereka.
Naura menuju ruang kerjanya, sesekali ia menarik nafas berat. Sepertinya Naura harus menghindari untuk bertemu Aldo, Naura harus minta Davin membuatnya sibuk.Tiba-tiba pintu ruang kerja Davin terbuka, membuat Naura seketika mengalihkan pandangannya ke sana. Naura berdiri di meja kerjanya, sedikit membungkuk memberi hormat pada Anna.Anna tersenyum manis menatap Naura."Naura, saya nanti mau bicara denganmu. Apa sore ini kamu punya waktu untuk saya? Sebentar saja," ucap tunangan Davin, dengan nada lembut namun penuh permohonan. Tatapan matanya yang tenang membuat Naura merasa tak nyaman untuk menolak.Naura mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan. "Baik, Nona, saya akan usahakan untuk tidak lembur hari ini," jawabnya dengan sopan. Ada sedikit keraguan dalam suaranya, tapi ia tak ingin menunjukkan ketidaknyamanannya di depan Anna.Anna tersenyum, tampak lega. "Terima kasih, Naura. Nanti saya tunggu kamu di cafe Lion ya, jam 17.30," lanjutnya. Nada suaranya hangat, tetapi Naura menangk
“Sempit sekali, sayang. Setiap denyutannya membuatku gila,” ucapnya lagi.Naura meraup bibir sang atasan, menciumnya penuh hasrat. Tidak hanya Davin yang menginginkannya, tapi Naura juga sangat menginginkan Davin. Puas dengan posisi Naura di atasnya, Davin merubah posisinya. Davin menarik Naura dan diminta terlentang di atas meja kerjanya.Davin mulai bergerak maju mundur, semakin lama gerakan itu semakin cepat.“Aaaaaah,” desah Naura.“Kamu menyukainya kan, sayang?” tanya Davin.Dengan mata terpejam, Naura mengangguk membuat Davin tersenyum puas. Sampai akhirnya suara teriakan kecil dari bibir keduanya menandakan mereka sudah ada di puncak nirwana.Napas Davin dan Naura tersengal.“Terima kasih atas kenikmatan ini, sayang,” ucap Davin.“Sama-sama Pak. Terima kasih juga atas bantuan keuangan dari Bapak untuk saya,” jawabnya.Davin mengecup kening Naura. Lalu keduanya segera membersihkan diri dan menggunakan lagi pakaian mereka.Setelah rapi, Naura meminta izin untuk keluar dari dalam
“Aku harus segera ke rumah sakit. Takutnya nanti malam Pak Davin ke apartemen,” gumam Naura. Naura pun memesan taksi online lalu menuju ke rumah sakit.Harusnya hari ini Naura pergi ke rumah sakit bersama Davin untuk bertemu dokter yang merawat ibunya. Namun, permintaan mendadak dari tunangan Davin, membuatnya harus menunda rencana tersebut.Ia tak ingin menolak permintaan Anna, meski hatinya merasa sedikit cemas dengan kondisi ibunya. Makanya tadi setelah pertemuannya dengan Anna selesai pada pukul 18.30, Naura langsung memutuskan untuk tetap pergi ke rumah sakit.Setelah tiba di rumah sakit, Naura menuju ruang ICU, langkah Naura terasa berat. Ia mendapati pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi ibunya yang semakin menurun. “Bertahanlah Bu,” gumam Naura sendu.Naura menahan napas saat tiba di depan ruangan ICU. Namun, pandangannya langsung terpaku pada sosok pria yang tak asing lagi, Davin. Ia melihat Davin di dalam ruangan, berdiri di samping ranjang ibunya, seolah tengah