Naura berjalan mendekati meja kerjanya. Anna yang sedang sibuk melihat ponsel sesaat menoleh ke arah Naura dengan ekspresi puas. Setelah beberapa saat, Anna meletakkan ponselnya dan tersenyum tipis."Naura, saya mau pergi dengan tunangan saya saja, ya. Kamu tolong tangani semua pekerjaan Davin," ucap Anna santai sambil merapikan tasnya, siap meninggalkan kantor.Naura merasa lega mendengar itu, jantungnya yang sempat berdebar kini mulai tenang. Jika Anna memang ingin pergi bersama Davin, itu artinya dia tidak menyaksikan momen ketika Davin tiba-tiba mencium pipinya saat mereka keluar dari lift tadi pagi. Naura tersenyum kecil sambil menjawab dengan tenang."Baik, nona," jawab Naura dengan sopan.Anna melambaikan tangan dan berjalan menuju ruang kerja Davin, tampaknya siap untuk pergi. Tak berselang lama, Davin keluar dari ruangannya dengan jas rapi dan langsung menghampiri Anna."Ayo pergi,” ucap Davin dengan ketus membuat Anna terlihat semakin kesal dan jengah dengan sikap dingin san
"Naura…. Tungguuuu!" teriak Aldo dengan suara lantang, memburu Naura yang berjalan cepat menuju lobi kantor, berusaha menjauh dari pria yang kini justru membuntutinya.Naura menghentikan langkahnya seketika dan berbalik dengan wajah ketus. "Apaaa?" tanyanya dengan nada kesal, sorot matanya penuh amarah.Aldo mencoba mendekat dan tersenyum lebar, seolah tidak menyadari sikap dingin Naura. "Kamu bilang sudah tak mencintai aku?" tanyanya, nada suaranya meremehkan. "Tapi kenapa kamu malah membuntutiku saat jam makan siang, ha? Kalau cinta, bilang saja. Jangan pura-pura marah," ujar Aldo dengan nada menggoda. Tangannya berusaha menyentuh dagu Naura, mencoba meraih sentuhan yang dulu sering ia lakukan, tapi Naura cepat-cepat menepisnya dengan gerakan penuh penolakan."Jangan kepedean, Aldo!" Naura berseru, matanya menyipit menahan kejengkelan. "Kalau aku tahu kamu makan di sana, aku mending pesan makanan lewat online saja," jawabnya tegas, seolah menguatkan dinding dingin di antara mereka.
Naura menuju ruang kerjanya, sesekali ia menarik nafas berat. Sepertinya Naura harus menghindari untuk bertemu Aldo, Naura harus minta Davin membuatnya sibuk.Tiba-tiba pintu ruang kerja Davin terbuka, membuat Naura seketika mengalihkan pandangannya ke sana. Naura berdiri di meja kerjanya, sedikit membungkuk memberi hormat pada Anna.Anna tersenyum manis menatap Naura."Naura, saya nanti mau bicara denganmu. Apa sore ini kamu punya waktu untuk saya? Sebentar saja," ucap tunangan Davin, dengan nada lembut namun penuh permohonan. Tatapan matanya yang tenang membuat Naura merasa tak nyaman untuk menolak.Naura mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan. "Baik, Nona, saya akan usahakan untuk tidak lembur hari ini," jawabnya dengan sopan. Ada sedikit keraguan dalam suaranya, tapi ia tak ingin menunjukkan ketidaknyamanannya di depan Anna.Anna tersenyum, tampak lega. "Terima kasih, Naura. Nanti saya tunggu kamu di cafe Lion ya, jam 17.30," lanjutnya. Nada suaranya hangat, tetapi Naura menangk
“Sempit sekali, sayang. Setiap denyutannya membuatku gila,” ucapnya lagi.Naura meraup bibir sang atasan, menciumnya penuh hasrat. Tidak hanya Davin yang menginginkannya, tapi Naura juga sangat menginginkan Davin. Puas dengan posisi Naura di atasnya, Davin merubah posisinya. Davin menarik Naura dan diminta terlentang di atas meja kerjanya.Davin mulai bergerak maju mundur, semakin lama gerakan itu semakin cepat.“Aaaaaah,” desah Naura.“Kamu menyukainya kan, sayang?” tanya Davin.Dengan mata terpejam, Naura mengangguk membuat Davin tersenyum puas. Sampai akhirnya suara teriakan kecil dari bibir keduanya menandakan mereka sudah ada di puncak nirwana.Napas Davin dan Naura tersengal.“Terima kasih atas kenikmatan ini, sayang,” ucap Davin.“Sama-sama Pak. Terima kasih juga atas bantuan keuangan dari Bapak untuk saya,” jawabnya.Davin mengecup kening Naura. Lalu keduanya segera membersihkan diri dan menggunakan lagi pakaian mereka.Setelah rapi, Naura meminta izin untuk keluar dari dalam
“Aku harus segera ke rumah sakit. Takutnya nanti malam Pak Davin ke apartemen,” gumam Naura. Naura pun memesan taksi online lalu menuju ke rumah sakit.Harusnya hari ini Naura pergi ke rumah sakit bersama Davin untuk bertemu dokter yang merawat ibunya. Namun, permintaan mendadak dari tunangan Davin, membuatnya harus menunda rencana tersebut.Ia tak ingin menolak permintaan Anna, meski hatinya merasa sedikit cemas dengan kondisi ibunya. Makanya tadi setelah pertemuannya dengan Anna selesai pada pukul 18.30, Naura langsung memutuskan untuk tetap pergi ke rumah sakit.Setelah tiba di rumah sakit, Naura menuju ruang ICU, langkah Naura terasa berat. Ia mendapati pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi ibunya yang semakin menurun. “Bertahanlah Bu,” gumam Naura sendu.Naura menahan napas saat tiba di depan ruangan ICU. Namun, pandangannya langsung terpaku pada sosok pria yang tak asing lagi, Davin. Ia melihat Davin di dalam ruangan, berdiri di samping ranjang ibunya, seolah tengah
Naura masih berdiri di depan lobi rumah sakit bersama Davin ketika suara yang familiar memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita berambut pirang, berjalan ke arahnya dengan wajah yang tampak serius."Boleh aku bicara denganmu sebentar saja?" tanya Bella, suaranya sedikit lirih.Naura menatap Davin sejenak, merasa segan memintanya menunggu lagi. "Pak Davin, saya pulang naik taksi online saja. Bapak sebaiknya pulang lebih dulu. Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya,” ujar Naura.Namun, Davin memerhatikan wajah Naura yang lelah, juga jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 19.00. Kota Suncity sudah mulai gelap di jam segini, dan ia tahu Naura pasti kelelahan. Bila ia membiarkan Naura berhadapan sendiri dengan Bella, bisa jadi Naura akan terjebak dalam percakapan panjang dan tidak beristirahat."Tidak, saya akan menunggumu di sini. Silakan bicara, tapi jangan terlalu lama," jawab Davin dengan suara tegas sambil melirik Bella.Naura hanya mengangguk pelan, kemudi
Bella menatap Aldo dengan tatapan tajam, hatinya bergemuruh penuh kemarahan dan kekecewaan. Suaranya lirih nyaris tak terdengar ketika ia berkata, "Apa kamu bilang? Aku harus menggugurkan anak tak berdosa ini?" Bella hampir tidak percaya, seakan-akan Aldo telah memukulnya dengan kata-kata yang tak pernah ia bayangkan keluar dari mulut pria yang dulu pernah ia cintai.Suasana di ruang tamu rumah Aldo yang awalnya hening berubah menjadi tegang. Keluarga Aldo, termasuk mamanya, saling bertukar pandang, wajah-wajah mereka menampakkan keterkejutan dan ketidaksenangan. Sang mama, yang selalu terkenal dengan sikap kerasnya, menatap Aldo dengan amarah yang tak terbendung."Manusia macam apa kamu ini, Aldo?" bentak sang mama, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. "Kamu tidak punya otak, tidak punya perasaan! Harusnya kamu bertanggung jawab! Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Jangan jadi pengecut!" Suaranya semakin lantang dan tak terbantahkan. "Seenaknya saja kamu meminta Bella untuk me
Davin mempercepat langkahnya menuju mobil yang terparkir di basement apartemen Naura. Ia tahu benar sang mama tak suka menunggu, apalagi jika ada orang lain yang datang untuk menjemput selain dirinya. Pikirannya penuh dengan tuntutan pekerjaannya, namun ia tahu panggilan mendesak dari mamanya tak bisa diabaikan. Begitu pintu mobil tertutup, ia segera menghidupkan mesin dan meluncur ke jalan raya, berusaha menembus kemacetan menuju bandara.Setelah hampir satu jam berkutat di jalan, Davin akhirnya tiba di bandara. Melihat wajah sang mama yang tampak masam, ia segera bergegas keluar dari mobil dan tersenyum, berusaha meredam suasana tegang yang sudah ia perkirakan."Puas kamu bikin Mama dan Papa menunggu di sini, huh!" bentak sang mama begitu Davin mendekat.Davin menahan tawa kecil, sengaja menggoda mamanya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Nyonya," jawabnya sambil memberi sedikit anggukan, seolah-olah berbicara pada atasannya, "Tadi habis meeting, terus jadi keterusan ngobrol. Sampai