Bella menatap Aldo dengan tatapan tajam, hatinya bergemuruh penuh kemarahan dan kekecewaan. Suaranya lirih nyaris tak terdengar ketika ia berkata, "Apa kamu bilang? Aku harus menggugurkan anak tak berdosa ini?" Bella hampir tidak percaya, seakan-akan Aldo telah memukulnya dengan kata-kata yang tak pernah ia bayangkan keluar dari mulut pria yang dulu pernah ia cintai.Suasana di ruang tamu rumah Aldo yang awalnya hening berubah menjadi tegang. Keluarga Aldo, termasuk mamanya, saling bertukar pandang, wajah-wajah mereka menampakkan keterkejutan dan ketidaksenangan. Sang mama, yang selalu terkenal dengan sikap kerasnya, menatap Aldo dengan amarah yang tak terbendung."Manusia macam apa kamu ini, Aldo?" bentak sang mama, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. "Kamu tidak punya otak, tidak punya perasaan! Harusnya kamu bertanggung jawab! Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Jangan jadi pengecut!" Suaranya semakin lantang dan tak terbantahkan. "Seenaknya saja kamu meminta Bella untuk me
Davin mempercepat langkahnya menuju mobil yang terparkir di basement apartemen Naura. Ia tahu benar sang mama tak suka menunggu, apalagi jika ada orang lain yang datang untuk menjemput selain dirinya. Pikirannya penuh dengan tuntutan pekerjaannya, namun ia tahu panggilan mendesak dari mamanya tak bisa diabaikan. Begitu pintu mobil tertutup, ia segera menghidupkan mesin dan meluncur ke jalan raya, berusaha menembus kemacetan menuju bandara.Setelah hampir satu jam berkutat di jalan, Davin akhirnya tiba di bandara. Melihat wajah sang mama yang tampak masam, ia segera bergegas keluar dari mobil dan tersenyum, berusaha meredam suasana tegang yang sudah ia perkirakan."Puas kamu bikin Mama dan Papa menunggu di sini, huh!" bentak sang mama begitu Davin mendekat.Davin menahan tawa kecil, sengaja menggoda mamanya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Nyonya," jawabnya sambil memberi sedikit anggukan, seolah-olah berbicara pada atasannya, "Tadi habis meeting, terus jadi keterusan ngobrol. Sampai
Esok harinya, di meja makan, Davin duduk dengan tenang bersama Mamanya, Papanya, dan Anna, yang tampak ragu-ragu namun tetap berusaha tersenyum, mencoba menikmati sarapan bersama.Saat semua mulai menyantap hidangan, sang mama menatap Davin dengan harapan yang tampak jelas di wajahnya. "Davin, kamu bisa antar Mama dan Anna jalan-jalan pagi ini?" tanyanya dengan nada penuh harap.Davin mendengar permintaan itu dengan pandangan datar. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu memandang sang mama dengan tatapan tajam. "Mama, jangan ganggu pekerjaan Davin hanya demi kesenangan kalian, ya. Mama kalau dikasih hati malah melunjak, minta jantung. Sekarang malah hilang selera makan Davin," ucapnya dingin, lalu bangkit dari kursi dan meninggalkan meja makan tanpa ragu."Davin! Kembali ke sini!" seru mamanya, namun ia hanya diabaikan. Dengan napas tersengal, ia menatap punggung anaknya yang menghilang di balik pintu ruang makan."Anak itu selalu saja bikin kesal," gumamnya sambil memukul meja deng
Panas terik matahari siang itu terasa membakar, namun tidak ada yang lebih panas dari amarah yang menyala di hati Bella. Tangannya gemetar saat ia berdiri di depan lobi kantor Abimanyu Group, menatap Aldo dengan mata yang penuh dendam dan kesedihan. Beberapa karyawan yang sedang melewati area lobi pun berhenti, tertarik pada keributan yang tak biasa di depan mereka."Tega banget kamu, Aldo!" teriak Bella dengan suara bergetar, air matanya mengalir deras di pipi. "Kamu fitnah aku seolah aku ini perempuan murahan. Bayi dalam kandunganku ini bayimu! Aku siap melakukan tes DNA kalau bayi ini lahir. Tapi, aku tetap akan menuntut kamu menikahiku!"Bella mengangkat dagunya dengan tegas meski hatinya remuk. "Kalau nanti terbukti anak ini bukan anakmu, silakan cerai aku. Tapi jangan kira kamu bisa lari dari tanggung jawab!"Aldo terlihat kesal dan gugup. Dia menoleh kanan-kiri, menyadari bahwa banyak pasang mata tertuju pada mereka. Wajahnya merah padam, tak hanya karena kemarahan, tetapi ju
Namun, momen romantis di antara Davin dan Naura yang penuh keintiman mendadak terganggu ketika pintu ruangan itu terbuka."Oh, maaf..." ujar pelayan restoran dengan wajah kaget, menyadari bahwa ia telah menginterupsi suasana mesra di dalam.Di hadapannya, Davin dan Naura sedang berpelukan mesra, bahkan tangan Davin tampak menyelip masuk ke dalam kemeja Naura, membuat suasana terasa semakin canggung. Wajah pelayan itu memerah, namun ia tetap berusaha bersikap profesional, meski jelas terlihat betapa kikuknya dirinya."Masuk saja, hidangkan makanannya," perintah Davin dengan nada tenang dan tegas, tak sedikit pun merasa terganggu. Suara beratnya terdengar mengintimidasi, membuat pelayan itu sedikit ragu. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah masuk dan menyajikan makanan di meja dengan hati-hati.Naura, yang semula terbuai dengan kehangatan Davin, langsung merapatkan bibirnya, mengerucutkan bibir dengan malu. Wajahnya memerah, merasakan desakan untuk merapikan pakaiannya yang se
“Majikanku bisanya mengancam saja,” kata Davin, memperlihatkan isi chat sang mama pada Naura.“Jadi saya benar-benar harus ikut mengantar Pak?”“Iya sayang, dan malamnya kamu akan kubuat mendesah sampai pagi,” jawab Davin sungguh-sungguh. Dia melumat bibir sang sekretaris yang seakan membuatnya kecanduan. Setelah puas mereka kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya.Baru saja Naura turun dari mobil dan hendak menuju lift dua kali tamparan melesat di pipi Naura hingga membuat Naura terhuyung.Plak PlakNaura tak menyangka, kejadiannya begitu cepat dan tiba-tiba tangan besar wanita paruh baya itu menyentuh pipi mulus Naura.Naura berdiri di tengah-tengah lobby kantor yang luas, mencoba menahan perih di pipinya yang memerah. Ia menyentuh sudut bibirnya, merasakan sedikit rasa asin yang mengalir—darah. Tangan Mamanya Aldo barusan begitu keras menghantam pipinya, membuat kepala Naura sedikit berkunang-kunang.Sementara itu, Mamanya Aldo berdiri dengan penuh amarah, tatapannya menusu
Bram tertegun di depan pintu ruang kerja Davin. Sesaat, ia meraih gagang pintu, merasa harus segera melaporkan temuannya pada atasannya. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Naura sedang duduk di pangkuan Davin. Pandangannya terhenti, terjebak antara keinginan untuk mundur atau menerobos masuk.Davin dan Naura tampak terkejut ketika menyadari kehadirannya. Naura segera bangkit, wajahnya merona merah, tergesa-gesa merapikan pakaian yang sedikit berantakan. Dia melangkah mundur, lalu cepat-cepat meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata, meninggalkan Davin dan Bram dalam keheningan canggung.Davin menarik napas dalam-dalam, lalu mendesah. "Kamu ini, ketuk pintu kek!" serunya dengan nada kesal, mencoba menghilangkan suasana canggung yang tersisa.Bram hanya mengangkat bahu dengan santai. “Ck. Biasa aja tuh, Pak. Jugaan dulu saya sering melihat Anda dengan para wanita penghibur setiap malam,” jawabnya sambil berjalan mendekati meja Davin, melempar tubuhnya ke kursi di seberang sang CEO.
“Kenapa, Pak?” tanya Naura, suaranya bergetar karena panik saat Davin mengerem mendadak.Davin mengusap dahinya yang berkeringat, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Sepertinya ban mobil saya pecah.” Matanya menyapu jalanan, memastikan tidak ada kendaraan atau pejalan kaki yang mereka tabrak.“Ya ampun…” Naura memegang dada, masih terguncang oleh hentakan mendadak itu. “Saya kira tadi kita menabrak seseorang atau sesuatu.” Jalanan sangat gelap, sepertinya lampu sedang padam.Davin menepikan mobilnya perlahan, lalu keluar untuk memeriksa ban. Naura memperhatikannya dari dalam, masih merasa gugup. Sesaat kemudian, Davin kembali masuk ke mobil dan meraih ponselnya untuk menghubungi Pak Udin, sopir pribadinya. Tak butuh waktu lama, sambungan telepon pun terhubung.“Halo, Pak Davin. Ada yang bisa saya bantu?” suara Pak Udin terdengar di ujung telepon.“Pak Udin, tolong segera datang ke sini, ya. Mobil saya kena pecahan kaca, ban sobek cukup parah, jadi kempes. Saya di lampu sto
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto