Namun, momen romantis di antara Davin dan Naura yang penuh keintiman mendadak terganggu ketika pintu ruangan itu terbuka."Oh, maaf..." ujar pelayan restoran dengan wajah kaget, menyadari bahwa ia telah menginterupsi suasana mesra di dalam.Di hadapannya, Davin dan Naura sedang berpelukan mesra, bahkan tangan Davin tampak menyelip masuk ke dalam kemeja Naura, membuat suasana terasa semakin canggung. Wajah pelayan itu memerah, namun ia tetap berusaha bersikap profesional, meski jelas terlihat betapa kikuknya dirinya."Masuk saja, hidangkan makanannya," perintah Davin dengan nada tenang dan tegas, tak sedikit pun merasa terganggu. Suara beratnya terdengar mengintimidasi, membuat pelayan itu sedikit ragu. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah masuk dan menyajikan makanan di meja dengan hati-hati.Naura, yang semula terbuai dengan kehangatan Davin, langsung merapatkan bibirnya, mengerucutkan bibir dengan malu. Wajahnya memerah, merasakan desakan untuk merapikan pakaiannya yang se
“Majikanku bisanya mengancam saja,” kata Davin, memperlihatkan isi chat sang mama pada Naura.“Jadi saya benar-benar harus ikut mengantar Pak?”“Iya sayang, dan malamnya kamu akan kubuat mendesah sampai pagi,” jawab Davin sungguh-sungguh. Dia melumat bibir sang sekretaris yang seakan membuatnya kecanduan. Setelah puas mereka kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya.Baru saja Naura turun dari mobil dan hendak menuju lift dua kali tamparan melesat di pipi Naura hingga membuat Naura terhuyung.Plak PlakNaura tak menyangka, kejadiannya begitu cepat dan tiba-tiba tangan besar wanita paruh baya itu menyentuh pipi mulus Naura.Naura berdiri di tengah-tengah lobby kantor yang luas, mencoba menahan perih di pipinya yang memerah. Ia menyentuh sudut bibirnya, merasakan sedikit rasa asin yang mengalir—darah. Tangan Mamanya Aldo barusan begitu keras menghantam pipinya, membuat kepala Naura sedikit berkunang-kunang.Sementara itu, Mamanya Aldo berdiri dengan penuh amarah, tatapannya menusu
Bram tertegun di depan pintu ruang kerja Davin. Sesaat, ia meraih gagang pintu, merasa harus segera melaporkan temuannya pada atasannya. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Naura sedang duduk di pangkuan Davin. Pandangannya terhenti, terjebak antara keinginan untuk mundur atau menerobos masuk.Davin dan Naura tampak terkejut ketika menyadari kehadirannya. Naura segera bangkit, wajahnya merona merah, tergesa-gesa merapikan pakaian yang sedikit berantakan. Dia melangkah mundur, lalu cepat-cepat meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata, meninggalkan Davin dan Bram dalam keheningan canggung.Davin menarik napas dalam-dalam, lalu mendesah. "Kamu ini, ketuk pintu kek!" serunya dengan nada kesal, mencoba menghilangkan suasana canggung yang tersisa.Bram hanya mengangkat bahu dengan santai. “Ck. Biasa aja tuh, Pak. Jugaan dulu saya sering melihat Anda dengan para wanita penghibur setiap malam,” jawabnya sambil berjalan mendekati meja Davin, melempar tubuhnya ke kursi di seberang sang CEO.
“Kenapa, Pak?” tanya Naura, suaranya bergetar karena panik saat Davin mengerem mendadak.Davin mengusap dahinya yang berkeringat, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Sepertinya ban mobil saya pecah.” Matanya menyapu jalanan, memastikan tidak ada kendaraan atau pejalan kaki yang mereka tabrak.“Ya ampun…” Naura memegang dada, masih terguncang oleh hentakan mendadak itu. “Saya kira tadi kita menabrak seseorang atau sesuatu.” Jalanan sangat gelap, sepertinya lampu sedang padam.Davin menepikan mobilnya perlahan, lalu keluar untuk memeriksa ban. Naura memperhatikannya dari dalam, masih merasa gugup. Sesaat kemudian, Davin kembali masuk ke mobil dan meraih ponselnya untuk menghubungi Pak Udin, sopir pribadinya. Tak butuh waktu lama, sambungan telepon pun terhubung.“Halo, Pak Davin. Ada yang bisa saya bantu?” suara Pak Udin terdengar di ujung telepon.“Pak Udin, tolong segera datang ke sini, ya. Mobil saya kena pecahan kaca, ban sobek cukup parah, jadi kempes. Saya di lampu sto
“Bukan begitu Pak, tapi-”Davin menarik napas panjang, mendengar suara lirih Naura yang mengandung luka. “Sayang, hubungan kita mungkin tidak ideal, tapi ingatlah tujuanmu di sini. Pengobatan ibumu bergantung pada ini, dan kamu sudah melangkah jauh. Hubungan ini bukan tentang cinta... bukan juga tentang status, tapi tentang bagaimana kita membantu satu sama lain.”“Bagaimana dengan Nona Anna, Pak?” tanya Naura pelan, suaranya terdengar serak. “Bagaimana bisa Anda mengimbangi kebohongan ini tanpa merasa bersalah?”Davin menatap lurus ke arah dinding, suaranya bergetar sedikit ketika ia menjawab. “Tentu saja aku merasa bersalah, sayang. Capek menyembunyikan semua ini, capek menciptakan alasan demi alasan untuk Anna dan Mamaku. Tapi aku memilih untuk menjalani ini, sama seperti kamu yang memilih untuk bertahan demi kesembuhan Ibumu.”Naura mengangguk, mengerti tapi tetap merasa terjebak. Hatinya berkecamuk dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Saya tahu, Pak... saya tahu. Tapi terkada
Naura segera turun dari mobil Aldo dengan cepat, menggenggam erat tas kerjanya sambil berusaha melangkah menjauh. Ia ingin berlari secepat mungkin, namun Aldo tidak tinggal diam. Dengan langkah cepat, ia ikut keluar dari mobil dan mengejar Naura. Jalanan ramai, dan beberapa orang mulai memperhatikan ketegangan yang terjadi di antara keduanya.“Kamu sakit jiwa ya, Aldo?” Naura berteriak, matanya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air mata yang dipicu oleh kemarahan yang memuncak terhadap pria yang seharusnya sudah ia tinggalkan. “Kita sudah putus, tapi kamu masih saja mengatakan kalau kamu mencintaiku?”Aldo terhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil memandang Naura dengan tatapan intens. “Aku benar-benar mencintaimu, Naura,” ucapnya, suaranya penuh rasa putus asa. “Aku nggak mungkin mencintai orang lain lagi. Kumohon, mengertilah.” Aldo maju selangkah, mencoba mendekat, “Aku janji, setelah anak itu lahir, aku akan menceraikan Bella dan menikahimu.”Naura tertegun, merasa
"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—sa
"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang