Naura menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruang kerja Davin. Ia menoleh, "Saya buka pintunya dulu, Pak." Davin hanya mengangguk sambil melirik jam tangannya sejenak.Ketika pintu terbuka, wajah Bram, wakil CEO yang terkenal santai, langsung menyambutnya dengan senyum lebar. “Hayo, habis ngapain tuh?” godanya, alisnya terangkat-angkat dengan senyum penuh arti.Naura tersenyum kecut, melayangkan pukulan kecil ke lengan Bram, “Ih, Pak Bram nyebelin banget.” Bram sudah lama tahu tentang hubungan tersembunyi Naura dan Davin, meskipun ia jarang menunjukkan ketahuan itu di hadapan Davin sendiri.“Ayo, Bos, kita gas,” ucap Bram kepada Davin yang kemudian hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.“Kamu kira kita naik motor?” jawab Davin santai, menahan tawa kecil. Bram hanya terkekeh sambil membuka jalan ke depan, dan ketiganya pun mulai melangkah menuju ruang rapat.Saat mereka berjalan, Naura bisa merasakan ketegangan yang semakin kental. Dari seberang koridor, beberapa Kepala Div
“Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, sayang,” ucap Davin.“Apa Bapak beneran puas dengan pelayanan, saya?” tanya Naura.Davin tersenyum, “kalau aku tidak puas, aku tidak akan menyentuhmu setiap hari, sayang.”Naura mengangguk dan bersyukur dia tak mengecewakan Davin, meski hubungan terlarang ini akan menyakiti pihak lain.Benar kata Davin, Naura tak punya pilihan lain selain patuh dengan permintaan pria itu, demi kelancaran pengobatan sang ibu.Davin mendorong pelan tubuh Naura hingga terlentang di atas kasur. Pria itu memposisikan tubuhnya di atas tubuh Naura. Membuka seluruh pakaian Naura hingga di bagian paling akhir, yaitu penutup aset paling berharga Naura.Tanpa rasa jijik, Davin membenamkan ciumannya di sana, menikmati sensasi yang baru pertama kali Naura rasakan.Naura menjambak pelan rambut Davin, dia bergerak gelisah karena sentuhan bibir Davin di bagian intimnya berhasil membuat Naura menggelinjang. Puas dengan pemanasan singkatnya, Davin segera memasukan miliknya
"Besok saya akan datang dengan Naura! Biar kalian percaya kalau saya benar-benar calon suami Naura! Awas kalian ya!" Aldo menghardik petugas medis dengan nada penuh kemarahan.Namun, petugas medis wanita itu tetap tenang, meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman di wajahnya. "Silakan, Pak. Itu justru lebih baik. Anda datang langsung dengan Nona Naura, bukan datang sendiri," balasnya sambil mengarahkan tangannya ke pintu keluar. "Sekarang, tolong segera tinggalkan area ini."Aldo mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah lebih keras, tapi mendadak ia merasa lelah. Amarahnya seolah terkunci di tenggorokan, dan langkahnya akhirnya membawanya pergi dengan gerakan kasar.Dia keluar dari rumah sakit dan menuju mobilnya. Tangan kanannya mengusap wajah, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. "Bodoh, kenapa mereka begitu sulit diajak kerja sama?" gumamnya sambil menyalakan mesin mobil.Ponselnya berdering, nama sang mama muncul di layar. Dengan kesal, Aldo menjawab
Berita penangkapan Aldo menyebar seperti api di tengah angin kencang. Dalam hitungan menit, dunia maya dipenuhi dengan unggahan video, foto, dan berita mengenai pria yang selama ini dikenal sebagai kepercayaan Davin Abimanyu di Abimanyu Group. Aldo, yang dulunya dipandang sebagai sosok profesional, kini menjadi pusat perhatian publik dengan label baru, tersangka penggelapan dana perusahaan.Bram dan Davin, dengan rencana yang matang, sengaja mengatur momentum ini. Mereka memberikan informasi detail kepada para wartawan, memastikan momen penangkapan Aldo diabadikan dengan sempurna. Kamera-kamera merekam langkah Aldo yang diapit polisi, wajahnya menegang di tengah kilatan lampu kamera. Suara-suara wartawan saling bersahutan, melontarkan pertanyaan tajam yang tak mendapat jawaban.Di luar kantor polisi, para jurnalis berjaga seperti prajurit di medan perang, menunggu perkembangan cerita yang bisa menjadi berita utama. Nama besar Abimanyu Group menjadi daya tarik utama. Setiap detail di
Peluh masih membasahi tubuh keduanya, bermain panas adalah bagian dari kegiatan yang menyenangkan untuk keduanya. Davin yang awalnya hanya ingin bersenang-senang dengan Naura, kini justru terjerat pesona sang sekretaris.“Andai saja boleh menikahi lebih dulu, mungkin sudah aku lakukan. Semakin hari aku semakin sulit untuk lepas dari pesonamu, sayang,” ujar Davin. Nafasnya tersengal.“Kita begini saja, Pak. Anda puas, biaya rumah sakit Ibu saya aman,” jawab Naura.Davin melumat bibir sang sekretaris, tak hanya dirinya tapi Naura juga seakan punya banyak stok tenaga untuk bergulat panas dengannya.Davin mulai merasakan desir aneh di dalam hatinya. Desiran yang tak pernah sama sekali ia rasakan saat bersama Anna. Namun Davin belum mau buru-buru menyimpulkan kalau ini adalah cinta. Yang jelas semua yang ada pada Naura membuatnya ketagihan.******Davin baru saja mengakhiri meeting pagi dengan semua karyawan, sekaligus memberikan pengumuman resmi mengenai pengganti Aldo di perusahaan. Sua
Naura menghela napas panjang, berusaha mengusir lelah yang merayapi tubuhnya setelah setengah hari kerja penuh menyelesaikan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Hampir semua dokumen penting yang harus diselesaikan hari itu telah dibereskan. Namun, rasa penat tak hanya berasal dari pekerjaannya. Hatinya terasa lebih berat dari biasanya, dihimpit beban yang tak kasatmata.“Lelahnya,” gumamnya pelan, matanya memandang ke luar jendela kantor. Namun, pikiran Naura tidak tertuju pada pemandangan yang ia lihat, melainkan pada Davin. Bukan hanya tugas kantor yang membuat tubuhnya letih, melainkan juga hubungan mereka yang rumit dan penuh rahasia.Naura melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu makan siang sudah tiba. Sebuah ide melintas di benaknya. “Aku ke rumah sakit saja. Ya Tuhan, pulihkanlah ibuku,” ucapnya lirih, doanya menggantung di udara, penuh harap. Rasa rindu pada ibunya, yang terbaring lemah di rumah sakit, membuatnya ingin segera pergi dan berada di sisinya.Dengan sig
Tiba di rumah sakit, Naura turun dari mobil dengan langkah yang terasa berat. Angin yang seharusnya membawa kesejukan malah membuatnya semakin gelisah. Perasaan tak menentu menghantui sepanjang perjalanan, dan kini ia harus menghadapi kenyataan yang pahit. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu masuk rumah sakit, membiarkan bau khas antiseptik menyergap penciumannya.Langkahnya terhenti sejenak di depan lift. Ia menatap pantulan dirinya di pintu logam yang tertutup. Matanya terlihat lelah, dan lingkaran hitam di bawahnya semakin jelas. “Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi ujian dari-Mu,” gumamnya pelan sebelum pintu lift terbuka dan membawanya ke lantai ruang ICU.Ketika sampai di depan ruang ICU, seorang perawat menyapanya dengan sopan dan memberikan pakaian steril untuk dikenakan.Naura memakainya dengan hati-hati, seolah setiap gerakan adalah ritual untuk mempersiapkan dirinya menghadapi sesuatu yang menyakitkan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke ruan
"Ayo, sayang," ucapnya lembut.Ia menatap Davin sejenak. "Loh, kok ada Pak Davin? Pak Doni di mana Pak?" tanyanya, mencoba menetralkan kegugupannya dengan pertanyaan ringan.Davin tersenyum tipis. "Sudah aku suruh kembali ke kantor dengan Bram. Klien mendadak mundur meeting dua jam, jadi besok kami baru akan melakukan peninjauan proyek," jelasnya santai.Naura mengangguk, meski pikirannya tak sepenuhnya menangkap penjelasan itu.Naura duduk di kursi penumpang, menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Di sebelahnya, Davin menghidupkan mesin mobil, tetapi tatapannya sesekali beralih ke wajah Naura yang murung. Ia tidak tahan melihat Naura seperti ini."Kenapa sedih, sayang? Kangen Aldo?" goda Davin, mencoba mencairkan suasana.Mata Naura langsung melotot, dan tanpa ragu ia mencubit lengan Davin cukup keras. "Bercandanya jelek banget sih!" omelnya, meski nada suaranya sedikit lebih ringan dibanding sebelumnya.Davin tertawa kecil sambil mengusap lengannya yang terasa perih. "Makan
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto