“Bukan begitu Pak, tapi-”Davin menarik napas panjang, mendengar suara lirih Naura yang mengandung luka. “Sayang, hubungan kita mungkin tidak ideal, tapi ingatlah tujuanmu di sini. Pengobatan ibumu bergantung pada ini, dan kamu sudah melangkah jauh. Hubungan ini bukan tentang cinta... bukan juga tentang status, tapi tentang bagaimana kita membantu satu sama lain.”“Bagaimana dengan Nona Anna, Pak?” tanya Naura pelan, suaranya terdengar serak. “Bagaimana bisa Anda mengimbangi kebohongan ini tanpa merasa bersalah?”Davin menatap lurus ke arah dinding, suaranya bergetar sedikit ketika ia menjawab. “Tentu saja aku merasa bersalah, sayang. Capek menyembunyikan semua ini, capek menciptakan alasan demi alasan untuk Anna dan Mamaku. Tapi aku memilih untuk menjalani ini, sama seperti kamu yang memilih untuk bertahan demi kesembuhan Ibumu.”Naura mengangguk, mengerti tapi tetap merasa terjebak. Hatinya berkecamuk dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Saya tahu, Pak... saya tahu. Tapi terkada
Naura segera turun dari mobil Aldo dengan cepat, menggenggam erat tas kerjanya sambil berusaha melangkah menjauh. Ia ingin berlari secepat mungkin, namun Aldo tidak tinggal diam. Dengan langkah cepat, ia ikut keluar dari mobil dan mengejar Naura. Jalanan ramai, dan beberapa orang mulai memperhatikan ketegangan yang terjadi di antara keduanya.“Kamu sakit jiwa ya, Aldo?” Naura berteriak, matanya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air mata yang dipicu oleh kemarahan yang memuncak terhadap pria yang seharusnya sudah ia tinggalkan. “Kita sudah putus, tapi kamu masih saja mengatakan kalau kamu mencintaiku?”Aldo terhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil memandang Naura dengan tatapan intens. “Aku benar-benar mencintaimu, Naura,” ucapnya, suaranya penuh rasa putus asa. “Aku nggak mungkin mencintai orang lain lagi. Kumohon, mengertilah.” Aldo maju selangkah, mencoba mendekat, “Aku janji, setelah anak itu lahir, aku akan menceraikan Bella dan menikahimu.”Naura tertegun, merasa
Aldo menggeram, tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Bayangan Naura bersama sang atasan seolah membuat darahnya mendidih. Dia yakin Naura masih miliknya, terlepas dari apa pun yang telah terjadi. "Tidak akan ada yang bisa membuatnya lepas dariku," gumamnya, seolah berbisik pada dirinya sendiri.Dengan tatapan mata yang penuh obsesi, Aldo tersenyum sinis. Rencana liciknya sudah tersusun rapi, dan ia yakin bahwa apa yang akan dia lakukan akan membuat Naura tak punya pilihan lain selain kembali kepadanya. Dia mendambakan saat itu—ketika Naura bertekuk lutut, mengakui bahwa dirinya hanya milik Aldo.Tiba-tiba, ketukan di pintu ruangannya memecah lamunannya."Tok tok!"Salah seorang bawahan Aldo dari divisi keuangan muncul di ambang pintu. “Pak, meeting akan segera dimulai. Bapak Davin sebentar lagi akan menuju ke sana,” ucapnya sopan, sedikit canggung melihat ekspresi Aldo yang begitu penuh emosi.Aldo mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan kemarahan dalam dirinya. "
Naura menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruang kerja Davin. Ia menoleh, "Saya buka pintunya dulu, Pak." Davin hanya mengangguk sambil melirik jam tangannya sejenak.Ketika pintu terbuka, wajah Bram, wakil CEO yang terkenal santai, langsung menyambutnya dengan senyum lebar. “Hayo, habis ngapain tuh?” godanya, alisnya terangkat-angkat dengan senyum penuh arti.Naura tersenyum kecut, melayangkan pukulan kecil ke lengan Bram, “Ih, Pak Bram nyebelin banget.” Bram sudah lama tahu tentang hubungan tersembunyi Naura dan Davin, meskipun ia jarang menunjukkan ketahuan itu di hadapan Davin sendiri.“Ayo, Bos, kita gas,” ucap Bram kepada Davin yang kemudian hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.“Kamu kira kita naik motor?” jawab Davin santai, menahan tawa kecil. Bram hanya terkekeh sambil membuka jalan ke depan, dan ketiganya pun mulai melangkah menuju ruang rapat.Saat mereka berjalan, Naura bisa merasakan ketegangan yang semakin kental. Dari seberang koridor, beberapa Kepala Div
“Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, sayang,” ucap Davin.“Apa Bapak beneran puas dengan pelayanan, saya?” tanya Naura.Davin tersenyum, “kalau aku tidak puas, aku tidak akan menyentuhmu setiap hari, sayang.”Naura mengangguk dan bersyukur dia tak mengecewakan Davin, meski hubungan terlarang ini akan menyakiti pihak lain.Benar kata Davin, Naura tak punya pilihan lain selain patuh dengan permintaan pria itu, demi kelancaran pengobatan sang ibu.Davin mendorong pelan tubuh Naura hingga terlentang di atas kasur. Pria itu memposisikan tubuhnya di atas tubuh Naura. Membuka seluruh pakaian Naura hingga di bagian paling akhir, yaitu penutup aset paling berharga Naura.Tanpa rasa jijik, Davin membenamkan ciumannya di sana, menikmati sensasi yang baru pertama kali Naura rasakan.Naura menjambak pelan rambut Davin, dia bergerak gelisah karena sentuhan bibir Davin di bagian intimnya berhasil membuat Naura menggelinjang. Puas dengan pemanasan singkatnya, Davin segera memasukan miliknya
"Besok saya akan datang dengan Naura! Biar kalian percaya kalau saya benar-benar calon suami Naura! Awas kalian ya!" Aldo menghardik petugas medis dengan nada penuh kemarahan.Namun, petugas medis wanita itu tetap tenang, meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman di wajahnya. "Silakan, Pak. Itu justru lebih baik. Anda datang langsung dengan Nona Naura, bukan datang sendiri," balasnya sambil mengarahkan tangannya ke pintu keluar. "Sekarang, tolong segera tinggalkan area ini."Aldo mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah lebih keras, tapi mendadak ia merasa lelah. Amarahnya seolah terkunci di tenggorokan, dan langkahnya akhirnya membawanya pergi dengan gerakan kasar.Dia keluar dari rumah sakit dan menuju mobilnya. Tangan kanannya mengusap wajah, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. "Bodoh, kenapa mereka begitu sulit diajak kerja sama?" gumamnya sambil menyalakan mesin mobil.Ponselnya berdering, nama sang mama muncul di layar. Dengan kesal, Aldo menjawab
Berita penangkapan Aldo menyebar seperti api di tengah angin kencang. Dalam hitungan menit, dunia maya dipenuhi dengan unggahan video, foto, dan berita mengenai pria yang selama ini dikenal sebagai kepercayaan Davin Abimanyu di Abimanyu Group. Aldo, yang dulunya dipandang sebagai sosok profesional, kini menjadi pusat perhatian publik dengan label baru, tersangka penggelapan dana perusahaan.Bram dan Davin, dengan rencana yang matang, sengaja mengatur momentum ini. Mereka memberikan informasi detail kepada para wartawan, memastikan momen penangkapan Aldo diabadikan dengan sempurna. Kamera-kamera merekam langkah Aldo yang diapit polisi, wajahnya menegang di tengah kilatan lampu kamera. Suara-suara wartawan saling bersahutan, melontarkan pertanyaan tajam yang tak mendapat jawaban.Di luar kantor polisi, para jurnalis berjaga seperti prajurit di medan perang, menunggu perkembangan cerita yang bisa menjadi berita utama. Nama besar Abimanyu Group menjadi daya tarik utama. Setiap detail di
Peluh masih membasahi tubuh keduanya, bermain panas adalah bagian dari kegiatan yang menyenangkan untuk keduanya. Davin yang awalnya hanya ingin bersenang-senang dengan Naura, kini justru terjerat pesona sang sekretaris.“Andai saja boleh menikahi lebih dulu, mungkin sudah aku lakukan. Semakin hari aku semakin sulit untuk lepas dari pesonamu, sayang,” ujar Davin. Nafasnya tersengal.“Kita begini saja, Pak. Anda puas, biaya rumah sakit Ibu saya aman,” jawab Naura.Davin melumat bibir sang sekretaris, tak hanya dirinya tapi Naura juga seakan punya banyak stok tenaga untuk bergulat panas dengannya.Davin mulai merasakan desir aneh di dalam hatinya. Desiran yang tak pernah sama sekali ia rasakan saat bersama Anna. Namun Davin belum mau buru-buru menyimpulkan kalau ini adalah cinta. Yang jelas semua yang ada pada Naura membuatnya ketagihan.******Davin baru saja mengakhiri meeting pagi dengan semua karyawan, sekaligus memberikan pengumuman resmi mengenai pengganti Aldo di perusahaan. Sua
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti
Sementara itu, sebuah mobil mewah dengan interior elegan melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit siang yang cerah. Jalanan kota tampak sibuk, namun di dalam kendaraan tersebut, suasana terasa lebih hening dibandingkan hiruk-pikuk di luar sana. Penelope duduk di kursi belakang dengan anggun, kedua kakinya yang jenjang disilangkan, sementara Fernando dengan tenang mengemudi di depan, memastikan perjalanan mereka berjalan lancar.Meskipun suasana di dalam mobil tampak tenang, pikiran Penelope justru sedang penuh dengan satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Sejak keluar dari restoran tempat pertemuan bisnisnya dengan Davin Abimanyu, benaknya dipenuhi oleh bayangan pria itu. Ketegasan dalam suaranya, cara ia membawa diri, serta tatapan tajam yang memancarkan kecerdasan dan kharisma yang begitu memikat.Dia sudah banyak bertemu pria sukses di dunia bisnis, tetapi tidak ada yang seperti Davin. Pria itu tidak hanya berwibawa dan cerdas, tetapi juga memiliki sesuatu yang lebih langk