“Sempit sekali, sayang. Setiap denyutannya membuatku gila,” ucapnya lagi.Naura meraup bibir sang atasan, menciumnya penuh hasrat. Tidak hanya Davin yang menginginkannya, tapi Naura juga sangat menginginkan Davin. Puas dengan posisi Naura di atasnya, Davin merubah posisinya. Davin menarik Naura dan diminta terlentang di atas meja kerjanya.Davin mulai bergerak maju mundur, semakin lama gerakan itu semakin cepat.“Aaaaaah,” desah Naura.“Kamu menyukainya kan, sayang?” tanya Davin.Dengan mata terpejam, Naura mengangguk membuat Davin tersenyum puas. Sampai akhirnya suara teriakan kecil dari bibir keduanya menandakan mereka sudah ada di puncak nirwana.Napas Davin dan Naura tersengal.“Terima kasih atas kenikmatan ini, sayang,” ucap Davin.“Sama-sama Pak. Terima kasih juga atas bantuan keuangan dari Bapak untuk saya,” jawabnya.Davin mengecup kening Naura. Lalu keduanya segera membersihkan diri dan menggunakan lagi pakaian mereka.Setelah rapi, Naura meminta izin untuk keluar dari dalam
“Aku harus segera ke rumah sakit. Takutnya nanti malam Pak Davin ke apartemen,” gumam Naura. Naura pun memesan taksi online lalu menuju ke rumah sakit.Harusnya hari ini Naura pergi ke rumah sakit bersama Davin untuk bertemu dokter yang merawat ibunya. Namun, permintaan mendadak dari tunangan Davin, membuatnya harus menunda rencana tersebut.Ia tak ingin menolak permintaan Anna, meski hatinya merasa sedikit cemas dengan kondisi ibunya. Makanya tadi setelah pertemuannya dengan Anna selesai pada pukul 18.30, Naura langsung memutuskan untuk tetap pergi ke rumah sakit.Setelah tiba di rumah sakit, Naura menuju ruang ICU, langkah Naura terasa berat. Ia mendapati pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi ibunya yang semakin menurun. “Bertahanlah Bu,” gumam Naura sendu.Naura menahan napas saat tiba di depan ruangan ICU. Namun, pandangannya langsung terpaku pada sosok pria yang tak asing lagi, Davin. Ia melihat Davin di dalam ruangan, berdiri di samping ranjang ibunya, seolah tengah
Naura masih berdiri di depan lobi rumah sakit bersama Davin ketika suara yang familiar memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita berambut pirang, berjalan ke arahnya dengan wajah yang tampak serius."Boleh aku bicara denganmu sebentar saja?" tanya Bella, suaranya sedikit lirih.Naura menatap Davin sejenak, merasa segan memintanya menunggu lagi. "Pak Davin, saya pulang naik taksi online saja. Bapak sebaiknya pulang lebih dulu. Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya,” ujar Naura.Namun, Davin memerhatikan wajah Naura yang lelah, juga jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 19.00. Kota Suncity sudah mulai gelap di jam segini, dan ia tahu Naura pasti kelelahan. Bila ia membiarkan Naura berhadapan sendiri dengan Bella, bisa jadi Naura akan terjebak dalam percakapan panjang dan tidak beristirahat."Tidak, saya akan menunggumu di sini. Silakan bicara, tapi jangan terlalu lama," jawab Davin dengan suara tegas sambil melirik Bella.Naura hanya mengangguk pelan, kemudi
Bella menatap Aldo dengan tatapan tajam, hatinya bergemuruh penuh kemarahan dan kekecewaan. Suaranya lirih nyaris tak terdengar ketika ia berkata, "Apa kamu bilang? Aku harus menggugurkan anak tak berdosa ini?" Bella hampir tidak percaya, seakan-akan Aldo telah memukulnya dengan kata-kata yang tak pernah ia bayangkan keluar dari mulut pria yang dulu pernah ia cintai.Suasana di ruang tamu rumah Aldo yang awalnya hening berubah menjadi tegang. Keluarga Aldo, termasuk mamanya, saling bertukar pandang, wajah-wajah mereka menampakkan keterkejutan dan ketidaksenangan. Sang mama, yang selalu terkenal dengan sikap kerasnya, menatap Aldo dengan amarah yang tak terbendung."Manusia macam apa kamu ini, Aldo?" bentak sang mama, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. "Kamu tidak punya otak, tidak punya perasaan! Harusnya kamu bertanggung jawab! Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Jangan jadi pengecut!" Suaranya semakin lantang dan tak terbantahkan. "Seenaknya saja kamu meminta Bella untuk me
Davin mempercepat langkahnya menuju mobil yang terparkir di basement apartemen Naura. Ia tahu benar sang mama tak suka menunggu, apalagi jika ada orang lain yang datang untuk menjemput selain dirinya. Pikirannya penuh dengan tuntutan pekerjaannya, namun ia tahu panggilan mendesak dari mamanya tak bisa diabaikan. Begitu pintu mobil tertutup, ia segera menghidupkan mesin dan meluncur ke jalan raya, berusaha menembus kemacetan menuju bandara.Setelah hampir satu jam berkutat di jalan, Davin akhirnya tiba di bandara. Melihat wajah sang mama yang tampak masam, ia segera bergegas keluar dari mobil dan tersenyum, berusaha meredam suasana tegang yang sudah ia perkirakan."Puas kamu bikin Mama dan Papa menunggu di sini, huh!" bentak sang mama begitu Davin mendekat.Davin menahan tawa kecil, sengaja menggoda mamanya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Nyonya," jawabnya sambil memberi sedikit anggukan, seolah-olah berbicara pada atasannya, "Tadi habis meeting, terus jadi keterusan ngobrol. Sampai
Esok harinya, di meja makan, Davin duduk dengan tenang bersama Mamanya, Papanya, dan Anna, yang tampak ragu-ragu namun tetap berusaha tersenyum, mencoba menikmati sarapan bersama.Saat semua mulai menyantap hidangan, sang mama menatap Davin dengan harapan yang tampak jelas di wajahnya. "Davin, kamu bisa antar Mama dan Anna jalan-jalan pagi ini?" tanyanya dengan nada penuh harap.Davin mendengar permintaan itu dengan pandangan datar. Ia meletakkan sendoknya perlahan, lalu memandang sang mama dengan tatapan tajam. "Mama, jangan ganggu pekerjaan Davin hanya demi kesenangan kalian, ya. Mama kalau dikasih hati malah melunjak, minta jantung. Sekarang malah hilang selera makan Davin," ucapnya dingin, lalu bangkit dari kursi dan meninggalkan meja makan tanpa ragu."Davin! Kembali ke sini!" seru mamanya, namun ia hanya diabaikan. Dengan napas tersengal, ia menatap punggung anaknya yang menghilang di balik pintu ruang makan."Anak itu selalu saja bikin kesal," gumamnya sambil memukul meja deng
Panas terik matahari siang itu terasa membakar, namun tidak ada yang lebih panas dari amarah yang menyala di hati Bella. Tangannya gemetar saat ia berdiri di depan lobi kantor Abimanyu Group, menatap Aldo dengan mata yang penuh dendam dan kesedihan. Beberapa karyawan yang sedang melewati area lobi pun berhenti, tertarik pada keributan yang tak biasa di depan mereka."Tega banget kamu, Aldo!" teriak Bella dengan suara bergetar, air matanya mengalir deras di pipi. "Kamu fitnah aku seolah aku ini perempuan murahan. Bayi dalam kandunganku ini bayimu! Aku siap melakukan tes DNA kalau bayi ini lahir. Tapi, aku tetap akan menuntut kamu menikahiku!"Bella mengangkat dagunya dengan tegas meski hatinya remuk. "Kalau nanti terbukti anak ini bukan anakmu, silakan cerai aku. Tapi jangan kira kamu bisa lari dari tanggung jawab!"Aldo terlihat kesal dan gugup. Dia menoleh kanan-kiri, menyadari bahwa banyak pasang mata tertuju pada mereka. Wajahnya merah padam, tak hanya karena kemarahan, tetapi ju
Namun, momen romantis di antara Davin dan Naura yang penuh keintiman mendadak terganggu ketika pintu ruangan itu terbuka."Oh, maaf..." ujar pelayan restoran dengan wajah kaget, menyadari bahwa ia telah menginterupsi suasana mesra di dalam.Di hadapannya, Davin dan Naura sedang berpelukan mesra, bahkan tangan Davin tampak menyelip masuk ke dalam kemeja Naura, membuat suasana terasa semakin canggung. Wajah pelayan itu memerah, namun ia tetap berusaha bersikap profesional, meski jelas terlihat betapa kikuknya dirinya."Masuk saja, hidangkan makanannya," perintah Davin dengan nada tenang dan tegas, tak sedikit pun merasa terganggu. Suara beratnya terdengar mengintimidasi, membuat pelayan itu sedikit ragu. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah masuk dan menyajikan makanan di meja dengan hati-hati.Naura, yang semula terbuai dengan kehangatan Davin, langsung merapatkan bibirnya, mengerucutkan bibir dengan malu. Wajahnya memerah, merasakan desakan untuk merapikan pakaiannya yang se
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le
“Aaaaaaah, baby. Hisap lebih dalam.” Dinda melumat milik Bram penuh dengan hasrat, Dia sangat senang sekali kalau disuruh ngemut permen kulit satu ini. Tangan berantak tinggal diam dia meremas dada Dinda dan tangan yang satunya masih bermain di area kewanitaan Dinda. Dinda mempercepat gerakannya, semakin cepat gerakan itu, semakin sering desahan keluar dari mulut Bram yang berhasil membangkitkan gairah liar keduanya. Bahkan mereka benar-benar sudah kecanduan satu sama lain, dimanapun Bram berada permainan panas dengan Dinda selalu memenuhi benaknya. Setelah selesai perjalanan bisnisnya lalu mereka berlibur di atas kapal pesiar, Bram bersumpah tidak akan membiarkan Dinda nganggur sedikitpun. “Cium aku, baby,” kata Bram dengan mata sayu. Dinda melepaskan mulutnya dari benda yang sudah berdiri dengan tegak, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Bram. Mereka saling mendekat satu sama lain, lidahnya saling membelit satu sama lain seolah kegiatan panas ini tidak pernah membuat mereka
Nyanyian selamat ulang tahun yang menggema di ballroom hotel tersebut, masih terngiang-ngiang dalam benar kedua anak kembar itu. Tidak ada hal yang paling menyenangkan daripada hari ini bagi si kembar, mereka merayakan hari ulang tahun besar-besaran dan dihadiri oleh banyak tamu undangan tanda. Dan yang paling penting bagi keduanya adalah begitu banyak kado yang tertata dengan rapi hingga membuat keduanya sangat takjub dan cepat-cepat ingin pulang agar bisa segera membuka kado tersebut. Sang nenek, Bram, dan keempat pengasuh mereka sudah memberikan kado spesial. Kedua orang tuanya pun memberikan satu box untuk masing-masing berukuran besar yang akan dibuka oleh mereka besok pagi di rumah. Meski keberatan namun mereka tidak bisa membantah permintaan kedua orang tuanya untuk tidak membuka kado di tempat ini. Rasanya mereka sudah tidak sabar ingin segera pulang dan mengakhiri pesta malam ini.“Selamat ulang tahun, doa terbaik buat Raka dan Rania,” ucap Dinda, memberi selamat pada Twin
“Kita mulai acaranya, setuju?” tanya MC pada semua orang yang hadir di sana.“Setuju,” jawab semua.Davin berdiri dengan penuh wibawa di atas podium. Dengan mikrofon di tangan, ia tampak percaya diri, sementara sorotan lampu panggung memusatkan perhatian semua orang padanya. Naura, yang berdiri anggun di sampingnya, menatap suaminya dengan senyuman penuh kebanggaan. Di antara mereka, Rania dan Raka berdiri dengan percaya diri, melambaikan tangan kecil mereka kepada para tamu undangan yang memberi tepuk tangan meriah.“Silakan, Pak Davin, untuk sepatah dua patah kata agar sah si kembar resmi go publik,” ujar salah satu MC dengan senyuman lebar, mengundang sorakan kecil dari audiens.Davin mengambil mikrofon dan membuka pidatonya dengan suara tegas namun hangat, “Selamat malam.”“Selamat malam, Pak Davin!” suara para tamu serentak menjawab, menciptakan suasana hangat dalam ruangan.Davin melanjutkan, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang hari ini, ke acara ulang tahun ked
“Kenapa, sayang?” tanya Davin.Sang istri terus menoleh ke belakang, lalu fokus ke depan, ke belakang lagi, terus begitu. Seperti ada yang sedang dipikirkan oleh Naura.“Hey, kenapa, sayang?” tanya Davin lembut, sambil menyentuh tangan istrinya.“A–aku seperti melihat Aldo,” ucapnya.Davin berdecak kesal.“Jangan menyebutnya di depanku, sayang,” jawab pria itu cemburu.“Tapi aku beneran melihat dia membuntuti kita, sayang. Aku yakin itu, dia,” ujar Naura.Davin menepikan mobilnya, lalu mobil yang dicurigai Naura dikendarai Aldo melaju lurus.“Mana, sayang?” tanya Davin.“I–itu mobilnya. Aku melihatnya masuk ke mobil putih itu,” jawabnya seperti yang dia lihat.Naura hanya takut kalau Aldo datang untuk mengacaukan hidup mereka lagi. Naura yakin dia dendam pada Davin, apalagi kalau sampai dia tahu soal pernikahannya dengan Davin, tanpa melihat perjuangannya melewati ujian berat.“Dengar, sayang. Aldo atau siapapun tak akan pernah bisa menyentuh kita. Aku pastikan itu kok, jadi kamu jang