“Panggil namaku sayang,” ucap Davin dengan suara parau.“Pak Davin.”“Aaaaahhhhh,” erangan panjang itu menandakan kalau keduanya sudah ada di puncak surga dunia.Dalam ruangan khusus yang tidak terlalu luas dan tersembunyi dari hiruk pikuk kantor, Davin menatap Naura yang masih terbaring di sampingnya, kulitnya yang berkeringat menempel di seprai, napasnya masih terengah-engah.Di ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak; mereka sama-sama terbuai dalam keintiman yang begitu dalam.Namun, di balik itu, ada kenyataan yang tak bisa mereka abaikan hubungan mereka hanya berlandaskan kebutuhan yang saling menguntungkan, bukan perasaan tulus.Davin mengusap lembut pipi Naura sebelum berkata dengan nada yang nyaris berbisik, "Terima kasih, Naura. Kamu sudah memberikan kenikmatan yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku janji, mulai sekarang, aku tidak akan lagi mencari wanita malam."Mata Davin menatap Naura dalam, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. "Tapi, a
Jantung Naura masih berdetak kencang seperti maling yang tertangkap basah. Namun dia segera memulihkan suasana hatinya agar tak terlihat gugup di depan Aldo."Kenapa kamu lama sekali di ruangan Pak Davin? Mana ponsel gak dibawa!" tanyanya dengan nada ketus, raut wajahnya jelas memperlihatkan kecemburuan yang mendidih.Naura berjalan menuju meja kerjanya lalu menatap Aldo dengan tatapan tajam. Ia sudah cukup lelah dengan sikap posesif Aldo yang selalu penuh kecurigaan. "Menurutmu, aku ngapain di dalam, Aldo?" jawabnya, suaranya sengaja dibuat ketus, berusaha menahan kekesalan yang sudah menumpuk.Aldo tidak menyerah. "Aku dari tadi di sini, kamu lama sekali di dalam. Jangan bilang kamu ada apa-apa dengan Pak Davin," tuduh Aldo sambil melipat kedua tangannya di depan dada.BRAAAK!Naura menggebrak meja kerjanya, membuat beberapa kertas berserakan. "Kalau kau datang hanya untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi sekarang, Aldo!" serunya, suaranya bergetar penuh emosi. "Oh ya, motor
Saat Aldo hendak masuk ke ruang kerjanya, tatapannya langsung tertuju pada Naura, yang saat ini ada di ruang divisi pemasaran. Dengan nada yang tak bisa ditolak, ia menyembulkan kepala ke dalam dan langsung mengingatkannya tentang rencana makan malam mereka."Pokoknya nanti malam aku akan menjemputmu, Naura. Tolong jangan kecewakan keluargaku," katanya tegas.Para karyawan lain yang mendengar perkataan Aldo hanya bisa saling bertukar pandang dan menggelengkan kepala. Mereka tampak tak asing lagi dengan cara Aldo memperlakukan Naura seolah-olah ia sudah pasti akan mengikuti semua keinginannya. Sementara itu, Naura hanya diam, enggan menanggapi ocehan Aldo yang semakin sering mengatur kehidupannya.Di tengah suasana itu, manajer pemasaran mendekati Naura sambil membawa berkas yang sudah dipegangnya sejak tadi."Ini data yang kamu minta, Naura. Nanti tolong sampaikan ke Pak Davin kalau semuanya sudah lengkap. Tapi, dicek lagi ya, siapa tahu ada yang belum sesuai dengan total yang saya
Davin mengambil alih kemudi dari Pak Udin, sopir pribadinya, yang tampak cukup lelah."Biar saya saja yang bawa mobil, Pak Udin. Bapak istirahat saja," ucap Davin sambil mengulurkan tangan untuk menerima kunci mobil.Pak Udin, yang sudah berpuluh tahun mengabdi, hanya tersenyum tipis sambil menyerahkan kunci. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan," jawabnya sambil memberi hormat.Davin kemudian masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi, sementara Naura, yang sudah lebih dulu masuk, duduk di kursi belakang. Melihat hal itu, Davin mengerutkan keningnya dan segera menoleh ke belakang, menegur Naura."Aku bukan sopirmu. Cepat duduk di depan," ucapnya ketus.Naura tersentak mendengar perintahnya. Dengan wajah sedikit canggung, ia keluar dari kursi belakang, lalu bergegas pindah ke kursi penumpang depan, tepat di samping Davin."Maaf, Pak," ucapnya pelan.Davin hanya mengangguk, matanya kembali fokus ke jalan. Mobil pun melaju pelan meninggalkan kantor. Suasana di luar cukup lengang karena jam m
Naura merasa canggung dan tidak nyaman, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Di hadapan Davin, ia berkata dengan hati-hati, "Sa—saya minta maaf, Pak Davin. Mungkin saya hanya belum terbiasa."Davin menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Naura. Aku mengerti. Aku akan memberimu waktu untuk terbiasa dengan situasi ini," ucapnya dengan nada yang lebih lembut. "Tapi ingat, aku tak punya banyak waktu untuk menunggu agar kamu menjadi wanita yang kuinginkan."Naura mengangguk mantap, berusaha menunjukkan keseriusannya. "Baik, Pak."Davin tersenyum tipis, lalu menatap makanan di depannya. "Sekarang, kita makan dulu. Pertemuan kita sudah hampir tiba," ujarnya sambil mempersilakan Naura makan.Naura segera mengalihkan pandangan ke makanannya, mencoba mengumpulkan fokus dan menghabiskan makanan di depannya. Mereka berdua menyelesaikan makan siang dalam suasana yang sedikit kaku, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.Setelah makan, mereka meninggalkan restoran dan melanjutkan perjal
Naura merasa bingung dan canggung saat melangkah memasuki apartemen mewah yang tidak ia kenali. Matanya menyapu sekeliling ruangan dengan kekaguman bercampur keheranan."Ini apartemen siapa, Pak?" tanya Naura dengan suara pelan, nyaris berbisik.Davin mengerling padanya sambil tersenyum tipis. "Sudah, jangan banyak tanya. Ayo turun," jawab Davin singkat. Naura mengangguk ragu-ragu dan mengikuti langkah Davin saat mereka turun dari mobil. Keduanya berjalan ke arah resepsionis, di mana Davin meminta kunci apartemen tersebut.Sepanjang perjalanan menuju unit, pikiran Naura dipenuhi tanda tanya. Di mana mereka ini? Apa rencana Davin sebenarnya? Sejak kapan Davin punya apartemen di tempat ini?Dengan menempelkan kartu dan sekali klik, pintu terbuka, menampilkan pemandangan interior yang menakjubkan. Apartemen tersebut tampak sangat mewah, jauh lebih mewah dari apartemen yang sempat Davin berikan beberapa hari yang lalu, apartemen ini dengan perabotan lengkap dan desain modern yang elegan
“Sial!” umpatnya marah.Davin menatap layar ponselnya dengan kesal, mengepalkan tangan sambil berdecak. Nada kesal terlukis di wajahnya ketika menerima panggilan dari Anna, calon istrinya. Suasana di ruangan apartemen yang tadinya hangat mendadak terasa berubah."Halo," jawab Davin dengan nada ketus, tak menyembunyikan kejengkelannya."Halo, sayang! Tiga puluh menit lagi jemput aku di depan hotel, ya. Aku mau kamu antar ke salon. Jangan menolak, karena ini perintah langsung dari mamamu," sahut Anna, terdengar seperti perintah daripada permintaan."Iya," jawab Davin singkat, lalu tanpa menunggu balasan, ia langsung menutup telepon, memutuskan sambungan sepihak.Naura, yang menyaksikan semua itu, merasa suasana menjadi canggung. Davin memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu menatap Naura yang masih berdiri di dekatnya.Davin menghela napas dan mendekati Naura. "Sayang, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ambil barang-barangmu dulu, ya, lalu langsung pindah ke sini. Aku tidak ingin kekasih
“Semua wanita sama saja. Gak mama, gak Anna, sukanya merintah seenaknya. Buat apa punya pasangan kalau cuma ngatur? Harus dijemputlah, dianterinlah. Kapan mandirinya?” Davin menggerutu sambil melajukan mobilnya menuju kantor. Pikirannya kalut dengan segala tuntutan Anna dan Mamanya, dan sejujurnya, kelelahan mental itu semakin hari semakin mengikis kebahagiaannya.Sesampainya di kantor, Davin menyerahkan kunci mobil kepada sopirnya. “Parkir di basement ya, Pak Udin. Saya ada pekerjaan mendesak,” ujarnya singkat.Pak Udin mengangguk hormat, “Baik, Pak Davin.” Setelah itu, Davin segera melangkah menuju lift di lobi gedung pencakar langit miliknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara familiar yang memanggilnya dari kejauhan.“Pak Davin!” seru Aldo, mendekati Davin dengan langkah yang terburu-buru.Davin menoleh malas ke arah suara itu, alisnya sedikit berkerut. "Hmmmm," sahutnya dengan nada menahan kesal.Aldo mendekat, tampak sedikit gelisah. “Pak, saya mau tanya. Naura d