Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group.
Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik. Sekarang lihat! Aku paling tidak suka melihat motor dalam kondisi lecet begini. Keluar uang lagi, kan?!” seru Aldo dengan suara menggelegar, membuat beberapa orang yang lewat di parkiran merasa kasihan pada Naura. “Nanti akan aku perbaiki. Setelah aku perbaiki, ambil saja lagi motor itu. Aku tidak membutuhkannya,” jawab Naura dengan nada kesal. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa kekasihnya sangat pelit, bahkan tidak memperbolehkan barang yang diberikan lecet sedikit pun. “Naura, tunggu!” teriak Aldo memanggil, namun Naura terus masuk ke dalam lift yang khusus digunakan para karyawan, menuju lantai 10 tempat meja kerjanya berada, persis di depan ruang kerja sang atasan. Aldo masih mengekor di belakang. Setelah Naura duduk di meja kerjanya, Aldo kembali bicara. “Bukan begitu maksudku, sayang. Tapi kamu memang kurang telaten, kurang hati-hati,” kata Aldo lagi. Naura, yang perasaannya sedang tak menentu, uang satu miliar telah dirampok, kini dia melampiaskan rasa kesalnya pada sang kekasih. “Cukup ya, Aldo! Aku muak dengan sikapmu yang seperti ini. Aku janji, setelah aku gajian, aku akan perbaiki motor itu dan aku kembalikan padamu. Tapi setelah itu, kita putus! Aku lelah pacaran dengan orang pelit sepertimu!” teriak Naura, membuat Aldo membeku mendengar permintaan putus dari kekasihnya. “Apa? Kamu mau putus dariku? Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi, Naura! Aku hanya memintamu untuk hati-hati dan telaten merawat barang, hanya itu! Tapi kamu selalu saja mengancam dengan kata putus!” sahut Aldo marah, lalu pergi meninggalkan Naura di meja kerjanya. Naura benar-benar menangis tersedu-sedu. Tanpa ia sadari, Davin sudah berdiri di depan meja kerjanya setelah baru saja menyelesaikan meeting dengan Kepala Divisi. Alis Davin mengerut, merasa aneh melihat Naura seperti itu. Dengan suara tegas, ia meminta Naura masuk ke ruang kerjanya. “Ke ruang kerjaku sekarang,” ucapnya. Naura tersentak kaget karena tidak menyadari kehadiran Davin. Ia segera menghapus air matanya yang membasahi wajah, lalu masuk ke dalam ruang kerja sang atasan. “Ada apa?” tanya Davin saat melihat Naura menangis dan mengalami luka lecet. Sambil menangis tersedu, Naura menjawab, “Uang yang Anda berikan tadi dirampok preman, Pak Davin.” “Apaaaaaaa?!” Davin berteriak, terkejut. Yang awalnya sudah duduk, kini ia kembali berdiri, menatap tajam ke arah Naura. “Uang sebesar satu miliar itu dirampok? Apa kamu sudah gila, Naura? Bagaimana mungkin orang tahu kamu membawa uang sebanyak itu?” tanya Davin, marah. “Pak... Antonio, rentenir yang saya pinjami uang, meminta saya memberikannya uang tunai. Dia mengirimkan alamat agar saya menyerahkan uang itu di sana. Namun, sebelum saya sampai di lokasi, ada empat orang preman yang merampok uang tersebut,” tutur Naura, membuat Davin memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. “Kamu ini bodoh atau apa, Naura? Uang sebanyak itu kamu bawa seorang diri tanpa pengawalan dari siapa pun!” hardik Davin. Naura tak mampu menjawab. Ia hanya terus menunduk, air matanya berderai. “Keluar dari ruanganku!” usir Davin, tanpa memberi kesempatan Naura untuk berkata lebih lanjut.Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
"Kamu tahu kan kalau aku sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah?" tanya Davin lagi saat Naura belum memberikan jawaban. "Jujur, aku puas main dengan kamu. Naura, milikmu sangat sempit, dan belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti saat menyentuhmu. Kamu sendiri juga tahu, sudah banyak sekali wanita malam yang aku ajak bercinta setiap malam. Jujur, kamu berbeda dari mereka. Kalau kamu mau menjadi simpananku dan merahasiakan hubungan kita dari siapapun, serta berusaha bersikap profesional di hadapan orang lain, aku janji akan membiayai pengobatan ibumu," ucap Davin lagi memberi tawaran. Naura hampir saja melupakan keadaan ibunya yang masih berjuang di ruang ICU. Lebih baik dia berkorban perasaan daripada membiarkan ibunya tanpa perawatan medis yang bagus. Naura menarik napas berat lalu menjawab, "Baiklah, Pak Davin. Saya mau menjadi simpanan Anda," sahutnya. Davin tersenyum bahagia. "Jadi mulai sekarang, bila hanya ada kita berdua saja, kamu harus memposisikan di
Tok tok.“Sayang, kenapa pintunya dikunci?” Suara Anna terdengar lembut namun memaksa dari balik pintu.Davin yang saat itu sedang bersama Naura di ruang kerjanya langsung panik. Ia menoleh cepat ke arah Naura dan berbisik, “Cepat, kamu sembunyi di bawah meja.” Naura, dengan wajah gugup, segera berjongkok dan menyelinap di bawah meja besar di hadapan Davin.Davin menarik napas dalam-dalam dan merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan. Tangannya bergerak cepat meraih remote untuk membuka kunci pintu secara otomatis. Tak ada suara yang terdengar dari luar, membuat Anna tak sadar bahwa pintu itu sudah terbuka.“Sayang...” panggil Anna sekali lagi, nada suaranya terdengar sedikit kesal.“Masuk,” jawab Davin, kali ini dengan suara tegas dan datar.Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Anna Rosiana yang segera melangkah masuk. Wajah cantiknya tampak penuh dengan rasa penasaran, namun tersamar oleh raut marah yang kian jelas. Ia berjalan cepat mendekati Davin, tumit sepatu hak tin
“Panggil namaku sayang,” ucap Davin dengan suara parau.“Pak Davin.”“Aaaaahhhhh,” erangan panjang itu menandakan kalau keduanya sudah ada di puncak surga dunia.Dalam ruangan khusus yang tidak terlalu luas dan tersembunyi dari hiruk pikuk kantor, Davin menatap Naura yang masih terbaring di sampingnya, kulitnya yang berkeringat menempel di seprai, napasnya masih terengah-engah.Di ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak; mereka sama-sama terbuai dalam keintiman yang begitu dalam.Namun, di balik itu, ada kenyataan yang tak bisa mereka abaikan hubungan mereka hanya berlandaskan kebutuhan yang saling menguntungkan, bukan perasaan tulus.Davin mengusap lembut pipi Naura sebelum berkata dengan nada yang nyaris berbisik, "Terima kasih, Naura. Kamu sudah memberikan kenikmatan yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita lain. Aku janji, mulai sekarang, aku tidak akan lagi mencari wanita malam."Mata Davin menatap Naura dalam, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri juga. "Tapi, a
Jantung Naura masih berdetak kencang seperti maling yang tertangkap basah. Namun dia segera memulihkan suasana hatinya agar tak terlihat gugup di depan Aldo."Kenapa kamu lama sekali di ruangan Pak Davin? Mana ponsel gak dibawa!" tanyanya dengan nada ketus, raut wajahnya jelas memperlihatkan kecemburuan yang mendidih.Naura berjalan menuju meja kerjanya lalu menatap Aldo dengan tatapan tajam. Ia sudah cukup lelah dengan sikap posesif Aldo yang selalu penuh kecurigaan. "Menurutmu, aku ngapain di dalam, Aldo?" jawabnya, suaranya sengaja dibuat ketus, berusaha menahan kekesalan yang sudah menumpuk.Aldo tidak menyerah. "Aku dari tadi di sini, kamu lama sekali di dalam. Jangan bilang kamu ada apa-apa dengan Pak Davin," tuduh Aldo sambil melipat kedua tangannya di depan dada.BRAAAK!Naura menggebrak meja kerjanya, membuat beberapa kertas berserakan. "Kalau kau datang hanya untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi sekarang, Aldo!" serunya, suaranya bergetar penuh emosi. "Oh ya, motor
Saat Aldo hendak masuk ke ruang kerjanya, tatapannya langsung tertuju pada Naura, yang saat ini ada di ruang divisi pemasaran. Dengan nada yang tak bisa ditolak, ia menyembulkan kepala ke dalam dan langsung mengingatkannya tentang rencana makan malam mereka."Pokoknya nanti malam aku akan menjemputmu, Naura. Tolong jangan kecewakan keluargaku," katanya tegas.Para karyawan lain yang mendengar perkataan Aldo hanya bisa saling bertukar pandang dan menggelengkan kepala. Mereka tampak tak asing lagi dengan cara Aldo memperlakukan Naura seolah-olah ia sudah pasti akan mengikuti semua keinginannya. Sementara itu, Naura hanya diam, enggan menanggapi ocehan Aldo yang semakin sering mengatur kehidupannya.Di tengah suasana itu, manajer pemasaran mendekati Naura sambil membawa berkas yang sudah dipegangnya sejak tadi."Ini data yang kamu minta, Naura. Nanti tolong sampaikan ke Pak Davin kalau semuanya sudah lengkap. Tapi, dicek lagi ya, siapa tahu ada yang belum sesuai dengan total yang saya
Davin mengambil alih kemudi dari Pak Udin, sopir pribadinya, yang tampak cukup lelah."Biar saya saja yang bawa mobil, Pak Udin. Bapak istirahat saja," ucap Davin sambil mengulurkan tangan untuk menerima kunci mobil.Pak Udin, yang sudah berpuluh tahun mengabdi, hanya tersenyum tipis sambil menyerahkan kunci. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan," jawabnya sambil memberi hormat.Davin kemudian masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi, sementara Naura, yang sudah lebih dulu masuk, duduk di kursi belakang. Melihat hal itu, Davin mengerutkan keningnya dan segera menoleh ke belakang, menegur Naura."Aku bukan sopirmu. Cepat duduk di depan," ucapnya ketus.Naura tersentak mendengar perintahnya. Dengan wajah sedikit canggung, ia keluar dari kursi belakang, lalu bergegas pindah ke kursi penumpang depan, tepat di samping Davin."Maaf, Pak," ucapnya pelan.Davin hanya mengangguk, matanya kembali fokus ke jalan. Mobil pun melaju pelan meninggalkan kantor. Suasana di luar cukup lengang karena jam m
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le
“Aaaaaaah, baby. Hisap lebih dalam.” Dinda melumat milik Bram penuh dengan hasrat, Dia sangat senang sekali kalau disuruh ngemut permen kulit satu ini. Tangan berantak tinggal diam dia meremas dada Dinda dan tangan yang satunya masih bermain di area kewanitaan Dinda. Dinda mempercepat gerakannya, semakin cepat gerakan itu, semakin sering desahan keluar dari mulut Bram yang berhasil membangkitkan gairah liar keduanya. Bahkan mereka benar-benar sudah kecanduan satu sama lain, dimanapun Bram berada permainan panas dengan Dinda selalu memenuhi benaknya. Setelah selesai perjalanan bisnisnya lalu mereka berlibur di atas kapal pesiar, Bram bersumpah tidak akan membiarkan Dinda nganggur sedikitpun. “Cium aku, baby,” kata Bram dengan mata sayu. Dinda melepaskan mulutnya dari benda yang sudah berdiri dengan tegak, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Bram. Mereka saling mendekat satu sama lain, lidahnya saling membelit satu sama lain seolah kegiatan panas ini tidak pernah membuat mereka
Nyanyian selamat ulang tahun yang menggema di ballroom hotel tersebut, masih terngiang-ngiang dalam benar kedua anak kembar itu. Tidak ada hal yang paling menyenangkan daripada hari ini bagi si kembar, mereka merayakan hari ulang tahun besar-besaran dan dihadiri oleh banyak tamu undangan tanda. Dan yang paling penting bagi keduanya adalah begitu banyak kado yang tertata dengan rapi hingga membuat keduanya sangat takjub dan cepat-cepat ingin pulang agar bisa segera membuka kado tersebut. Sang nenek, Bram, dan keempat pengasuh mereka sudah memberikan kado spesial. Kedua orang tuanya pun memberikan satu box untuk masing-masing berukuran besar yang akan dibuka oleh mereka besok pagi di rumah. Meski keberatan namun mereka tidak bisa membantah permintaan kedua orang tuanya untuk tidak membuka kado di tempat ini. Rasanya mereka sudah tidak sabar ingin segera pulang dan mengakhiri pesta malam ini.“Selamat ulang tahun, doa terbaik buat Raka dan Rania,” ucap Dinda, memberi selamat pada Twin
“Kita mulai acaranya, setuju?” tanya MC pada semua orang yang hadir di sana.“Setuju,” jawab semua.Davin berdiri dengan penuh wibawa di atas podium. Dengan mikrofon di tangan, ia tampak percaya diri, sementara sorotan lampu panggung memusatkan perhatian semua orang padanya. Naura, yang berdiri anggun di sampingnya, menatap suaminya dengan senyuman penuh kebanggaan. Di antara mereka, Rania dan Raka berdiri dengan percaya diri, melambaikan tangan kecil mereka kepada para tamu undangan yang memberi tepuk tangan meriah.“Silakan, Pak Davin, untuk sepatah dua patah kata agar sah si kembar resmi go publik,” ujar salah satu MC dengan senyuman lebar, mengundang sorakan kecil dari audiens.Davin mengambil mikrofon dan membuka pidatonya dengan suara tegas namun hangat, “Selamat malam.”“Selamat malam, Pak Davin!” suara para tamu serentak menjawab, menciptakan suasana hangat dalam ruangan.Davin melanjutkan, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang hari ini, ke acara ulang tahun ked
“Kenapa, sayang?” tanya Davin.Sang istri terus menoleh ke belakang, lalu fokus ke depan, ke belakang lagi, terus begitu. Seperti ada yang sedang dipikirkan oleh Naura.“Hey, kenapa, sayang?” tanya Davin lembut, sambil menyentuh tangan istrinya.“A–aku seperti melihat Aldo,” ucapnya.Davin berdecak kesal.“Jangan menyebutnya di depanku, sayang,” jawab pria itu cemburu.“Tapi aku beneran melihat dia membuntuti kita, sayang. Aku yakin itu, dia,” ujar Naura.Davin menepikan mobilnya, lalu mobil yang dicurigai Naura dikendarai Aldo melaju lurus.“Mana, sayang?” tanya Davin.“I–itu mobilnya. Aku melihatnya masuk ke mobil putih itu,” jawabnya seperti yang dia lihat.Naura hanya takut kalau Aldo datang untuk mengacaukan hidup mereka lagi. Naura yakin dia dendam pada Davin, apalagi kalau sampai dia tahu soal pernikahannya dengan Davin, tanpa melihat perjuangannya melewati ujian berat.“Dengar, sayang. Aldo atau siapapun tak akan pernah bisa menyentuh kita. Aku pastikan itu kok, jadi kamu jang