Share

Istri Kesayangan

Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. 

Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.

Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. 

Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.

“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup melanjutkan hidup, Bu. Naura capek, Tuhan tak pernah berhenti memberi cobaan untuk kita.”

Tangis Naura pecah seketika. Tak ada yang bisa ia tahan lagi. Hari ini segalanya terasa runtuh di atas kepalanya. Uang satu miliar yang sudah susah payah ia dapatkan dari menjual diri pada Davin dirampas begitu saja oleh preman. 

Tidak ada jalan keluar lagi. Itu berarti dalam tiga hari ke depan, ia harus menepati janji yang dibuatnya dengan rentenir tua itu, menikahi pria tua bangka yang bahkan tak pernah ia cintai, demi melunasi hutang atas pengobatan ibunya.

“Naura harus menikah dengan Pak Antonio, Bu… Kalau enggak, Naura nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kita. Naura sudah nggak bisa bayar hutangnya.”

Ia tahu ibunya tak bisa mendengar atau merespons, tapi Naura tetap berharap keajaiban terjadi, bahwa ibunya akan bangun dan memberi solusi. Tapi kenyataan terus menghantamnya. Ia sendirian, menghadapi masalah sebesar ini tanpa ada yang bisa menolong. Kesialan hari ini benar-benar menguras emosinya.

Naura menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meskipun bayangan pernikahan dengan rentenir itu terus menghantui pikirannya. Tanpa sadar Naura terlelap di samping ibunya.

****Tiga Hari Kemudian

Hari yang menakutkan itu pun akhirnya tiba. Naura harus menikah dengan Antonio, seorang rentenir yang usianya sudah sangat senja. Naura sudah mengirim pesan pada Davin, bahwa hari ini dia akan menikah dengan Antonio karena tidak mampu membayar hutang, sesuai dengan kesepakatan.

Hatinya sangat hancur. Bahkan, kekasihnya tak ada inisiatif untuk menolong Naura terbebas dari jerat rentenir jahat ini.

Tinggal beberapa menit lagi, Naura akan sah secara agama menjadi istri ketiga dari pria yang seharusnya menjadi kakeknya.

"Berhentilah menangis, sayang. Sebentar lagi kamu akan bahagia hidup denganku. Aku janji akan membiayai seluruh pengobatan ibumu dan menjadikanmu istri kesayanganku," ucap Antonio, berbisik penuh licik.

Demi apa pun, Naura sangat jijik mendengarnya. Ia hanya bisa menangis dan pasrah menjalani takdir.

"Bagaimana, Pak Antonio? Boleh kita mulai pernikahannya?" tanya seorang pemuka agama yang kini sudah berada di hadapan mereka.

"Tentu saja boleh! Saya ingin pernikahan ini segera sah, karena saya sudah tidak sabar untuk merasakan kenikmatan istri muda saya ini," jawabnya tanpa tahu malu.

"Baiklah, kalau begitu, ayo kita mulai," kata pemuka agama itu.

Senyum mengembang di wajah sang rentenir, sementara air mata Naura semakin deras mengalir.

Saat pernikahan itu hendak terjadi, tiba-tiba suara lantang Davin terdengar, membuat seisi ruangan seketika menoleh ke arah sumber suara.

"Tunggu! Pernikahan ini tidak boleh terjadi!" ucap Davin, lalu menarik tangan Naura untuk mendekat ke arahnya.

"Siapa kau berani-beraninya menghalangi pernikahanku! Keluar dari sini kalau kau tidak mau habis di tangan anak buahku!" teriak Antonio penuh amarah.

Bukannya takut, Davin malah tertawa terbahak-bahak.

"Hai, Pak Tua! Kamu itu sudah bau tanah dan sebentar lagi akan mati, masih saja berpikir untuk menikahi wanita muda? Dia ini lebih pantas jadi cucumu!" seru Davin, menghina.

Antonio langsung memberi perintah kepada anak buahnya untuk segera memberi pelajaran kepada Davin. Namun, belum sempat mereka menyentuh Davin, tiba-tiba polisi datang sambil mengarahkan senjata api ke arah Antonio dan anak buahnya.

"Jangan ada yang berani bergerak atau kami tembak di tempat!" ucap salah satu polisi, berhasil membuat Antonio melotot, terkejut dan tak berkutik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status